〇Waktu Yang Mengalir
2
Meninggalkan ruang OSIS, Aku berjalan ke pintu depan sekolah.
Kiriyama adalah orang yang mencoba menggulingkan Nagumo. Dia mendukung Manabu, dan bahkan membuat kontak dengan ku, yang merupakan siswa tahun pertama, untuk merencanakan rencananya. Mungkin dia merasakan tanda-tanda dari Horikita, yang merupakan adik perempuan Manabu, ingin bergabung dengan OSIS, jadi dia mencoba mengambil tindakan ketika dia hampir menyerah.
Tapi, sejauh yang bisa ku lihat hari ini, pertarungan antara Nagumo dan Kiriyama telah diselesaikan.
Aku merasa bahwa ada perbedaan sedemikian rupa sehingga tidak bisa lagi ditutupi.
Yah, jika Kiriyama belum menyerah, suatu hari dia akan melakukan sesuatu.
“Baiklah sekarang.”
Aku sendiri sudah tidak ingin menggunakan kepala ku lagi hari ini.
Jadi mari kita langsung pulang, dan habisakan sisa hari ini perlahan.
Aku mengeluarkan ponsel, dan memeriksa waktu.
[Hei, kalau kau tidak punya rencana khsusus... Bolehkah Aku main ke kamarmu?]
Aku tidak menyadarinya ketika Aku melihat pembicaraan di ruang OSIS, rupanya Aku mendapat pesan dari Kei.
Sudah lebih dari 30 menit sejak dikirim, tapi pesan itu tidak dibatalkan, dan tidak ada lagi teks mengikutinya, jadi ada kemungkinan kalau dia masih menunggu balasan.
Karena Aku tidak punya rencana khusus setelah ini, Aku memutuskan untuk membalasnya mulai sekarang.
Meskipun kami berpacaran, kami belum menunjukkannya pada publik.
Hanya ada tempat yang sangat terbatas dimana kami berdua bisa sendirian tanpa diketahui oleh orang lain.
Bahkan asrama itu tidak telalu aman.
Sebaliknya, jika kami pernah terlihat berdua disana, itu akan menjadi pukulan yang menentukan.
Bila itu terjadi, kami hanya harus mencari solusinya bersama.
[Apa kau mau pergi ke kamarku?] Begitu Aku membalasnya, pesan itu menunjukan sudah dibaca dalam satu detik.
Apakah dia kebetulan sedang melihat ponselnya, atau dia sedang menunggu balasan dariku hingga sekarang?
[Mau!] Balasan singkat darinya.
[Apa Aku boleh pergi sekarang!?]
Pesan seperti itu muncul mengikuti pesan sebelumnya. Aku katakan padanya kalau Aku akan pulang sekarang, jadi dia bisa datang kapan pun dia mau setelah 20 menit. Dan kemudian Aku minta dia untuk datang ke kamar ku seperti biasa.
Bahkan jika seseorang berada di lantai yang sama, Kei seharusnya bisa mengatasinya sampai batas tertentu.
Sekitar 10 menit dibutuhkan untuk kembali ke asrama. Aku membiarkan pintu terbuka, ketika Aku membersihkan ruangan dengan ringan untuk menghabiskan waktu, Aku mendengar tiga kali ketukan keras.
Aku dan Kei telah memutuskan beberapa sinyal untuk pertemuan rahasia. Biasanya kami menggunakan bell untuk berinteraksi, tapi dalam keadaan darurat Aku meminta dia untuk mengetuk tiga kali. Itu karena asrama penuh dengan siswa, ada kalanya untuk tidak membuka dan menutup pintu dengan lambat. Itu kesepakatannya.
Dan dalam situasi yang sangat mendesak dan berbahaya, Aku mengakui kalau dia bisa masuk tanpa sinyal dariku.
“Aku masuk!”
Dengan panik, Kei menjawab begitu saat dia menyelinap masuk.
Kemudia dia mendorong pintu dengan paksa untuk menutupnya, dia menarik napas untuk menenangkan diri.
“Aku melihat lift berhenti di lantai 4, jadi Aku panik~!”
Dia meletakkan tangannya di dada, mungkin karena detak jantungnya meningkat.
Sulit untuk melewati koridor, jadi wajar kalau dia panik.
“Tidak mungkin untuk merahasiakannya selamanya, kan.”
“Aku tahu itu, tapi...”
Aku menaruh sepatu Kei di lemari sepatu.
Kemudian untuk berjaga-jaga selain mengunci pintu, Aku juga mengaitkannya dengan kunci berbentuk U.
Dengan cara ini, jika seseorang datang berkunjung, Aku bisa membuatnya kembali tanpa membiarkannya masuk.
Tapi, agak tidak wajar untuk menggunakan rantai pengunci berbentuk U lebih awal.
Awalnya, Aku tidak berniat melakukannya sejauh ini, tapi Aku sudah membuat preseden dari Amasawa.
(Tln: preseden : hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh)
Itu lebih baik daripada dengan ceroboh membiarkan seseorang masuk, dan melihat ku sendirian bersama Kei.
Bahkan jika diminta tentang sesuatu yang mendesak, yang harus Aku lakukan adalah bersiap-siap untuk keluar.
Aku tinggal memintanya untuk menunggu diluar karena ruangannya berantakan, jadi Aku akan segera keluar begitu selesai bersiap-siap.
Setelah Aku pergi dengan pengunjung itu, Kei bisa diam-diam meninggalkan ruangan.
“Hah, Aku lega...”
Mengatakan itu Kei duduk di tempat tidur, dan mengelus dadanya.
“Itu bagus.”
Terutama di sore hari, itu penuh dengan siswa yang sedang pulang.
Tapi, mengundang seseorang di tengah malam malah lebih berisiko. Ini karena meskipun jumlah orang yang keluar dan masuk berkurang, akan ada masalah besar ketika mereka mengetahui kalau Aku membawa seorang gadis ke kamar ku di tengah malam.
Itulah sebabnya di siang hari pada hari libur dan di malam hari di hari kerja, agar Aku bisa memberikan penjelasan lebih baik jika ketahuan.
Bahkan jika hubungan kami ketahuan, itu hanya akan menjadi tindakan yang masuk akal.
“Mau minum sesuatu?”
Ketika Aku berbicara dengan Kei yang sudah kembali tenang, dia bergegas dari ruang tamu ke dapur.
“Biar Aku saja yang bikin”
“Kenapa, tumben-tumbenan? Biasanya kau tidak akan melakukan ini.”
“Kau akan kesulitan dengan tangan kirimu yang terluka itu. Kalau hanya merebus air Aku juga bisa.”
Tampaknya dia menawarkan itu karena mengkhawatirkan cedera ku.
“Kalau begitu Aku akan menyerahkannya padamu...”
“Oke. Aku sih mau minum teh, kalau Kiyotaka mau minum apa?”
“Mmm... Buatkan saja yang sama dengan Kei.”
Aku bermaksud mencocokannya agar membuat pekerjaannya sedikit lebih ringan, tapi sepertinya berefek sebaliknya karena wajahnya tampak tidak puas.
“Apa kau tidak percaya padaku?”
“...Oke ok. Kalau begitu buatkan Aku kopi.”
“Serahkan padaku. Kalau tidak salah ada di rak ini, ‘kan?”
Mengatakan itu, Kei membuka lemari dapur.
Kemudian apa karena dia memperhatikan tatapanku, Aku disuruh untuk menunggu di ruang tamu.
Akan menjengkelkan jika sampai dia marah, jadi Aku memutuskan untuk menonton TV dan menunggu dengan patuh.
“Oh iya. Aku piki Aku akan membicarakannya ketika kita bertemu, tapi Kiyotaka punya tanggung jawab yang cukup besar, tahu?”
Ketika Aku mengambil remote TV, Aku mendengar kata seperti itu dari dapur.
“Ada apa mendadak.”
“Karena kau mendapat nilai sempurna dalam matematika, jadi lebih sulit untuk mengatakan kalau kita berpacaran.”
Ku pikir tentang apa, ternyata tentang itu.
Memang benar, jika Kei mengatakan sesuatu tentang kami pada tahap ini, sangat mungkin bahwa dia akan mendapatkan banyak perhatian.
“Jika kita mengatakan di depan umum kalau kita sekarang berpacaran, entah apa yang akan terjadi...”
“Maka situasi yang sama ini akan berlanjut untuk sementara waktu.”
“Yah apa boleh buat... Rasanya tidak menyenangkan, Aku seperti berpacaran demi status.”
“Apakah itu hal yang buruk untuk berpacaran demi status?”
“Yah, Aku tidak mengatakan itu hal yang buruk...”
“Misalnya, berpacaran dengan gadis cantik adalah status bagi anak laki-laki, ‘kan? Bukankah agak kasar jika meminta orang lain untuk tidak menginginkannya?”
Tentu saja ada berbagai selera dalam penampilan, dan tidak ada hal yang mutlak.
Tapi meski begitu, yang ku tahu adalah bahwa itu sesuatu yang luas dan umum.
Aku memberikan pendapat yang sedikit negatif tentang tujuan status, tapi tidak ada jawaban. Ketika Aku bertanya-tanya bagaimana dia akan menyanggahnya, dia perlahan menunjukan wajahnya padaku.
“A, apa Aku cantik?”
Rupanya, dia tidak memikirkan keberatan.
Dia sepertinya hanya mengambil bagian tentang berpacaran dengan gadis cantik.
“Apa kau piki Aku akan berpacaran dengan seseorang yang tidak cantik?”
Kei menaikan bibirnya dengan aneh, melarikan diri dari tatapanku yang telah disesuaikan.
Air dalam panci mulai mendidih dan mengeluarkan suara.
Yang membuat seseorang cantik, bukan hanya tentang penampilannya. Kepribadian, bentuk tubuh, suara, gerak tubuh, garis keturunan dan pendidikan. Berbagai faktor itu akan membuat munculnya perasaan cinta.
“A... Aku juga, Aku juga berpikir kalau Kiyotaka itu sangat keren.”
Aku tidak meminta jawaban yang sama, tapi Kei tetap mengatakan itu dan kembali ke dapur.
Mengubah saluran TV tanpa makna yang berarti, sambil mendengarkan suara air dituangkan ke dalam cangkir setelah air itu mendidih sepenuhnya.
Tak lama kemudian, Kei kembali, dan menaruh secangkir kopi di atas meja dengan wajah bangga. Kei sebelumnya bilang kalau dia ingin minum teh, tapi untuk beberapa alasan minuman itu berubah menjadi cafe au lait.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Kami menyebarkan buku pelajaran tahun pertama kami di atas meja.
Kemudian kami menyiapkan buku catatan dan pena, untuk menciptakan situasi di mana kami sedang belajar.
Bahkan jika suatu kejadian yang tidak terduga terjadi, kami bisa membuat alasan kalau kami sedang belajar.
Jika memungkinkan, Aku tidak ingin hal itu terjadi.
Mulai dari memasuki ruangan sampai di sini, semuanya adalah langkah pertahanan berdasarkan kunjungan dari Amasawa.
Setelah itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal sepele.
Dimulai dengan apa yang kami temui di sekolah hari ini, dan tentang apa yang kami lakukan beberapa hari yang lalu.
Siapa yang kami temui selama Golden Week, dan TV apa yang kami tonton?
Kami menghabiskan waktu dengan melihat foto-foto yang diambil oleh Kei.
Berbagai macam topik panjang dan pendek. Terkadang kami menggantinya dengan cepat.
Bagaikan seperti membuang-buang waktu kelihatannya. Tapi itu bukan hal yang buruk.
Entah bagaimana, Aku mulai memahami apa itu cinta sedikit demi sedikit.
Kemudian di dalam kencan ruangan itu, terkadang Kei tertawa, marah, dan menunjukkan berbagai macam ekspresi.
Akhirnya setelah berbagai topik dicerna dan jumlah pembicaraan berkurang secara alami, obrolan santai berhenti dan saat keheningan mulai meningkat. Jelas mood di dalam ruangan itu sudah mulai berubah.
Satu sama lain dari kami mulai merasakan sesuatu.
Kami mulai menyadari sesuatu.
Tidak, bukan sesuatu.
Aku sudah tahu apa itu.
Perasaan ingin saling menyentuh satu sama lain mulai tumbuh.
Akan tetapi tidak ada yang mengatakannya.
Hanya melalui mata kami saling berkomunikasi.
Tapi tidak mudah untuk mengambil satu langkah itu.
Tidak peduli seberapa banyak kau membaca pikiran pihak lain, pikirkan juga risiko apa yang akan kau hadapi.
Aku pikir kedua belah pihak seharusnya menuju ke arah yang sama, tapi Aku mempertimbangkan kemungkinan tidak seperti itu.
Jika sampai ditolak, perasaan negatif akan menyembur seperti geyser.
Meski begitu——
Aku akan mengejar mata Kei saat dia mencoba melarikan diri.
Boleh, ‘kan? Tapi... Perasaan seperti itu saling bertabrakan.
Pada akhirnya, seolah sudah menyerah, Kei berhenti melarikan diri.
Seiring waktu yang membeku, semakin Aku merasakan perasaan itu mengalir perlahan di tubuhku...
Kami menutup jarak diantara tubuh kami, dan wajah kami.
Kemudian jarak diantara kami mulai mendekat hingga nafas kami bisa terasa di kulit kami satu sama lain.
Aroma campuran kopi dan susu tercium dari mulut Kei.
Dalam dua detik, tidak, dalam satu detik, bibir kami akan saling bersentuhan.
——Ping pong
Yang tanpa ampun menghentikan waktu kami berdua adalah suara bell pintu.
Bibir yang tidak saling bersentuhan, meninggalkan jarak yang sangat tipis.
Kesadaran yang hendak terbang tiba-tiba dibawa kembali ke kenyataan.
“Ah, eh, pintunya...?”
Dalam keadaan panik, Kei mejauhkan diri dariku dan pipinya menjadi merah, tapi Aku tidak ada waktu untuk melihatnya dengan seksama. Benar. Karena itu pengunjung dari pintu depan, bukan dari lobi.
Interphone juga dengan jelas menunjukan pemberitahuan bahwa panggilan itu dari pintu depan. Tidak seperti lobi, pintu depan tidak terpasang kamera, jadi tidak mungkin mengetahui secara sepihak siapa yang datang berkunjung. Aku bisa menggunakan ketidakhadiran ku, tapi jika Kei terlihat memasuki ruangan, itu akan menjadi langkah buruk.
Di sini lebih baik untuk mencari tahu siapa itu dan ada perlu apa datang ke sini.
“Tunggulah di sini.”
“U, un.”
Kei mengangguk dengan ekspresi yang sedikit tegang. Mempertimbangkan pertukaran terakhir dengan Amasawa, sepatu Kei sudah dimasukan ke dalam lemari sepatu, jadi sekilas akan tampak kalau hanya ada Aku ruangan ini.
Namun, cara ini tidak selalu menguntungkan.
Ini adalah cara terbaik untuk berbicara di pintu depan, tapi jika pengunjung itu tiba-tiba meminta izin untuk masuk, ini akan menjadi cara yang mencurigakan. Itu karena membawa seorang gadis ke dalam ruangan sampai repot-repot menyembunyikan sepatunya, skema semacam itu jelas akan terungkap.
Untuk berjaga-jaga, Aku melakukan tindakan yang tepat dengan memasang kunci berbentuk U di pintu depan.
Dengan begini, keberadaan sepatu tidak dapat dikonfirmasi bahkan jika pengunjung itu mencoba mengintip ke dalam, dan dia bisa dengan mudah untuk masuk ke dalam.
Aku bisa meluangkan waktu dengan membuat alasan kenapa Aku mengunncinya kepada orang lain.
Kemudian Aku katakan kalau bisa pergi nanti atau Aku akan pergi ke kamar orang tersebut.
Tapi siapa yang datang mengunjungi kamarku secara langsung.
Horikita? Atau anak laki-laki? Dengan memikirkan prediksi semacam itu, Aku memeriksa siapa pengunjung itu dari lubang intip.
Hal pertama yang terlihat adalah rambutnya yang berwarna merah,
[Se~enpai.]
Lalu suara yang manis itu terdengar.
Seolah-olah dia tahu kalau Aku sedang melihatnya melalui lubang intip.
[Ini aku,]
Suara yang datang dari pintu itu, seperti yakin bahwa Aku ada di ruangan ini.
Seorang gadis dengan pakaian santai itu tersenyum.
Kedua tangannya kosong, tampak seperti dia tidak membawa apa-apa.
Aku melepas kunci, dan perlahan membuka pintu.
Sejak akhir April, Aku tidak pernah sekali pun terlibat dengan Amasawa Ichika, seorang siswa dari Kelas A tahun pertama.
Dapat dikatakan bahwa ini kemunculan yang tidak terduga karena tidak ada kontak dari pihak lain.
Karena sekarang Aku tahu bahwa dia terlibat dalam Housen dengan mengambil pisau yang sama dari kamar ku untuk Housen, Aku pikir Amasawa akan menjaga jarak.
Tapi, Amasawa yang muncul di hadapanku lagi, tidak menunjukkan rasa bersalah.
Apa mungkin dia pikir Aku belum tahu mengenai keterlibatannya?
Tidak, ketika rencana Hosen dimulai, keterlibatan Amasawa sudah terungkap.
“Bagaimana kau bisa masuk ke asrama?”
“Ada senpai lain yang kebetulan pulang, jadi Aku masuk bersamanya. Aku pikir Aku akan mengejutkanmu.”
Interphone lobi akan memberitahu siapa yang datang berkunjung.
Apa dia menggunakan siswa lain untuk menghindarinya?
“Lalu?”
“Aku ingin tahu apakah cedera tanganmu baik-baik saja. Aku khawatir jadi Aku datang untuk melihat mu.”
Aku ingin tahu apakah Amasawa yang cerdas tidak berpikir kalau Aku tidak menyadari keterlibatannya.
Sebaliknya, itu adalah sikap yang mengisyaratkan keterlibatannya.
Amasawa dengan gerakan lembut, menyentuh kunci berbentuk U dengan jari telunjuk tangan kanannya.
“Ini, bisakah kau melepasnya?”
Tersenyum seperti setan kecil, tatapan matanya mengkonfirmasi sepatu yang ada di pintu depan.
Apakah dia memprediksi bahwa seseorang telah datang setelah melihat kunci berbentuk U, atau...
“Ini sudah sore, kenapa tidak besok saja? Akan menjadi masalah jika Aku membawa masuk kohai ke kamar tanpa urusan tertentu.”
Jika dia datang hanya untuk melihat keadaan ku, dia seharusnya pulang setelah mendengar itu.
Tapi, Amasawa tidak mencoba untuk bergerak dari sana.
Membawa jari tangan kirinya ke bibirnya, dan melakukan gerakan seperti yang dia pikirkan.
“Sepertinya Senpai sendirian, jadi kenapa tidak membuatkanku makanan.”
Entah untuk bisa masuk, Amasawa mengubah arah pembicaraan.
“Aku punya hak untuk dibuatkan. Tentang berpasangan dengan Sudo-senpai, kau tidak melupakannya, ‘kan?”
Aku bisa memprediksi kalau dia akan menggunakan cara itu untuk bisa masuk dengan paksa.
Jika demikian, Aku hanya perlu bergerak mengikutinya.
“Maaf, tapi Aku kehabisan bahan makanan sekarang. Tidak ada apa pun di lemari es.”
“Ee, jadi begitu? Senpai harusnya mengisinya dengan benar.”
Amasawa mengeluh dan menunjukan wajah yang seolah dia dalam kesulitan sekaligus tidak dalam kesulitan.
“Jika kau bersikeras harus hari ini, biarkan Aku bersiap dan kita bisa pergi belanja bersama?”
Meskipun kencan dengan Kei sudah selesai, Aku tidak bisa membiarkan masalah tambahan.
Aku tidak ingin memberikan informasi bahwa Aku sering mengundanya ke kamar ku hanya karena mereka pernah bertemu sekali.
“Begitu ya, jadi tidak ada makanan~. Sayang sekali~.”
Amasawa tertawa tampak sedikit terhibur.
“Tolong jangan tutup pintunya?”
Mengatakan itu, Amasawa menghilang dari pandangan ku sekali.
Kemudian—, dengan tangan kirinya, dia mengangkat sebuah kantong plastik, yang tampaknya sudah diletakkan di lantai koridor, dan menunjukkannya melalui celah. Ketika Aku melihat melalui lubang intip pintu, Aku mengkonfirmasi bahwa tangannya kosong. Bahkan jika dia meletakkannya di kakinya, itu akan sulit untuk melihatnya melalu lubang intip.
Sepertinya dia meletakkan kantong plastik berisi bahan makanan itu di tempat yang tidak bisa ku lihat.
Dia benar-benar sudah tahu alasan apa yang akan Aku gunakan untuk melarikan diri.
Alasan ku untuk menolaknya masuk ke dalam karena kekuarangan makanan sudah dimatikan.
Aku tahu kalau Amasawa memiliki pemikiran yang tajam, tapi ini lebih dari yang Aku bayangkan.
Jika sudah begini, apakah Aku akan mengakui kebohongan ku dan mencari cara lain?
Mengatakan kalau Aku hanya merasa tidak enak hari ini, jadi Aku berbohong agar bisa menolaknya.
Meskipun Aku sudah melakukan sejumlah langkah yang ku ambil dari pengalaman ku dengan Amasawa, orang pertama yang mengetesnya adalah Amasawa.
Tapi, apakah itu bisa meyakinkan Amasawa atau tidak itu masalah lain.
Aku akan lebih percaya diri untuk mengatakannya jika itu adalah siswa lain, tapi Amasawa tahu tentang hubungan ku dan Kei.
“Apakah kau berbohong karena kau tidak ingin Aku masuk ku ke kamar mu?”
Dalam keheningan yang kurang dari satu detik, Amasawa menyingkirnya untuk mencegahku melarikan diri.
Jadi ini bukan kebetulan bahwa Amasawa saat ini mengunjungi ku hari ini.
“Senpai tidak sedang sendirian, kan?”
“Kenapa menurutmu begitu?”
Ternyata benar, dia bergerak begitu yakin kalau Kei sedang mengunjungi kamarku.
Sepertinya dia mengawasinya dari suatu tempat.
“Karena Aku melihatnya. Dari sejak Karuizawa-senpai kembali ke asrama.”
Amasawa menyuarakan fakta itu untuk membuktikannya. Setelah diam-diam mengkonfirmasi bahwa Kei telah masuk ke kamar ku, mungkin dia pergi untuk membeli bahan makanan. Sepertinya dia telah mengambil risiko melewati kunci otomatis lobi dua kali.
“Sampai menyembunyikan sepatu pacar mu agar dia terlihat tidak ada di dalam, apa kalian melakukan sesuatu yang tidak senonoh?”
“Kami belum memberi tahu siapa pun tentang hubungan kami. Aku menyembunyikannya hanya untuk berjaga-jaga.”
“Ah, akhirnya kau mengakuinya? Yah, Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu yang ingin menyembunyikannya, tapi karena Aku sudah tahu hubungan kalian bukankah tidak perlu berbohong pada ku?”
Sepertinya dia tidak puas dengan fakta bahwa Aku telah menyembunyikan itu darinya, dan dia menunjukan wajah yang sedikit kurang senang.
“Untuk sekarang, Aku akan merahasiakannya dengan niat baik... Tapi haruskah Aku membongkarnya?”
Amasawa sudah menyelidiki fakta bahwa kami tidak berpacaran secara terbuka.
Kalau tidak, itu tidak akan dapat digunakan sebagai alat negosiasi.
Dengan kata lain, percakapan ini hanyalah formalitas.
Jika Aku menolaknya di sini, Amasawa mungkin akan benar-benar membongkarnya.
Itu bukan ide yang baik untuk masa depan Kei jika hubungan kami terbongkar oleh Amasawa.
Pada akhirya, lebih baik mengungkapkan hubungan kami bahwa kami berpacaran secara spontan dari kami sendiri. Tidak ada yang bisa dilakukan selain berpikir begitu. Aku mengakui kekalahan ku pada pertahanan yang tidak menguntungkan ini.
“Tunggu sebentar, Aku akan bukakan kuncinya.”
“Oke.”
Amasawa menjawab dengan patuh. Begitu Aku menutup pintu, Aku mengirim tatapan bahwa ini akan baik-baik saja pada Kei yang tampak cemas. Jika dia sudah sejauh ini dengan berani, kita juga akan menghadapinya langsung dari depan. Melepaskan kunci berbentuk U dan Aku biarkan Amasawa masuk.
Amasawa tersenyum lebar, begitu dia mencocokan pandangan dengan Kei yang hanya menunjukan wajahnya.
Di sisi lain, Kei berdiri di sana dengan ekspresi yang seolah sedang menggigit serangga pahit.
“Ini tidak baik. Bagi pasangan muda untuk berduaan mengunci diri di dalam ruangan.”
Amasawa yang baru masuk menjadi antusias, mengatakan itu sambil melepaskan sepatunya.
“Kenapa tidak baik. Ada banyak pasangan yang berpacaran di luar sana.”
“Yah~, itu benar juga. Tapi Aku merasakan sesuatu yang tidak senonoh ketika melihat kalian berdua.”
Aku ingin mengatakan pendapat ku padanya, tapi mengingat suasana ingin berciuman sebelumnya Aku tidak bisa marah pada apa yang Amasawa katakan.
Begitu dia masuk ke ruang tamu, dia memperhatikan tempat tidur.
“Pakaian tidak berantakan. Dan sepertinya ranjang juga tidak berantakan, jadi kalian tidak melakukan apa-apa.”
“Te, tentu saja kan! Lagi pula, kenapa kau tiba-tiba datang ke sini!”
Berkat kedatangan Amasawa, Kei yang sebelumnya lembut menjadi sangat marah.
Kemarahan ini mungkin mencakup sedikit rasa frustrasi.
Dia mungkin mendengar bahwa Amasawa akan membongkar hubungan kami, jika sampai dia kesal.
“Aku yakin, kalian melakukan pergaulan bebas... misalnya melakukan sesuatu yang mesum, ku pikir.”
Itu adalah percakapan yang agak vulgar, tapi Amasawa tetap mengatakan itu untuk melangkah lebih jauh.
Dan ini bukan untuk ku, tapi untuk Kei.
Terlepas dari dirinya sendiri, Megumi tidak tersipu tetapi dia satu langkah lagi.
Tidak lagi memiliki kata-kata, wajah Kei menjadi lebih merah dari sebelumnya.
Wajahnya yang terdistorsi terlihat seperti mengatakan, orang ini bicara apa sih.
Amasawa menyelidiki situasi kami selama ini, dan untuk memeriksanya dia melihat wajah Kei setiap saat.
Dia mengumpulkan informasi dari Kei setelah mengerti bahwa dia tidak dapat mendapatkannya dari ku.
Aku tidak bisa membebani Kei lagi, jadi Aku menyela dan berkata.
“Itu dilarang oleh peraturan sekolah.”
Aku meresponnya dengan tenang, tujuannya adalah untuk menenangkan hati Kei yang terganggu.
Tapi, Amasawa tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur setelah mendengar kata-kata ku.
“Pelanggaran peraturan sekolah itu hanyalah hiasan. Ada banyak pasangan di sekolah yang saling menggoda dengan terang-terangan. Jika kau pergi ke toserba, kau akan menemukan alat kontrasepsi. Faktanya Aku benar-benar mencoba membelinya, dan karyawan itu pura-pura tidak melihatnya. Yah, dengan segala sesuatu yang dilarang, anak muda akan menghindarinya... Jika kau sampai hamil, itu akan menjadi masalah besar, kan?”
Mengatakan itu, Amasawa mengeluarkan alat kontrasepsi dari kantong plastik dengan tangan kirinya dan meletakkannya di atas meja.
Sepertinya itu sebagai pembuktian kalau dia benar-benar membelinya, dengan menunjukannya.
Memang benar, jika produk semacam itu tidak ada, maka akhir dari pergaulan bebas adalah jalan kehamilan.
Meskipun sekolah melarangnya secara publik, tapi jika mereka ingin melakukannya, pastikan melakukannya secara diam-diam dan mereka harus menggunakan alat kontrasepsi.
Kei benar-benar sudah kehilangan kata-kata, disaat matanya bergantian memandang diantara Amasawa, Aku, dan alat kontrasepsi.
“Ini, ini hadiah dariku... Bukan deng, ini adalah permintaan maaf ku untuk kasus yang sebelumnya.”
“Aku tidak ingat kau melakukan sesuatu yang salah sampai harus meminta maaf.”
“Pura-pura tidak tahu. Cedera di tanganmu itu, kau tahu kalau Aku terlibat, kan? Karena Aku sudah bekerja sama dengan Housen-kun.”
Dia mengatakannya tanpa rasa takut.
Dia memilih mengakuinya, dari pada dipaksa untuk mengakuinya.
“Ap, Apa itu benar?”
Kei yang mendengarkannya terkejut.
Sekarang, Aku ingin Kei menahan diri dari membuat pernyataan yang tidak perlu.
Dengan satu pernyataan terkejut itu, bisa memberikan informasi kepada pihak lain.
Dia bisa menentukan seberapa banyak konten yang Aku bicarakan dengan Kei dan dengan siapa saja Aku sudah membicarakannya.
“Ayanokouji-senpai, Aku khawatir kau sudah salah paham tentang ku.”
“Salah paham?”
“Kalau Aku bukanlah musuh Ayanokouji-senpai.”
“Karena Aku sudah menyadarinya, tapi Aku katakan padamu, itu adalah kata-kata yang tidak bisa dipercaya.”
“Benarkah? Apa karena Aku sudah memberi saran pada Housen-kun?”
Jika Amasawa tidak melakukan kontak denganku, kejadian kali ini mungkin akan berbeda.
Itu akan berakhir sebagai bom bunuh diri karena terlalu lemah bagi Housen untuk menyalahkan cedera nya akibat dari perbuatan ku.
Tidak, tampaknya Housen sendiri memikirkan sesuatu yang lain, tapi bagaimanapun tidak diragukan lagi bahwa Amasawa terlibat dalam masalah ini yang menyebabkan rencaannya pantas dan layak untuk dijalankan.
“Aku bisa menebak apa yang dipikirkan senpai saat ini. Aku merevisi rencana yang Housen-kun pikirkan untuk mengeluarkan Ayanokouji-senpai, sehingga kemungkinan untuk senpai dikeluarkan dari sekolah meningkat. Orang seperti itu bukan musuh, jangan membuatku tertawa. Kurang lebih seperti itu, kan? Evaluasi terhadapku itu, Aku pikir terlalu naif.”
“Aku tidak ingat penah menyebutmu naif. Aku punya evaluasi yang cukup bagus tentangmu.”
“Benarkah. Aku tidak merasa begitu.”
Meskipun Kei tercengang, dia kembali tenang setelah mendengar percakapan ku dengan Amasawa.
“Tu, tunggu sebentar. Kau bilang kalau kau mencoba mengeluarkan Kiyotaka dari sekolah... Apa maksudmu?”
Aku sudah memberi tahu Kei tentang tangan kiri ku yang terluka, tapi Aku tidak memberitahunya secara mendetail.
“Hee.”
Melihat reaksi Kei yang kebingungan, Amasawa tersenyum dengan penuh minat.
“Jadi Ayanokouji-senpai belum memberitahukan itu pada pacarnya. Bagaimana dengan hadiah dua puluh juta?”
“Itu, soal apa itu? Dua puluh juta?”
Aku yakin dia mengatakannya dengan sengaja dan menggunakannya untuk mengeksplorasi hubungan ku dengan Kei.
“Untuk lebih jelasnya, senpai bisa menanyakannya pada pacarmu nanti. Ya kan, senpai?”
Setelah dia mengatakan itu, Aku tidak punya pilihan lain selain menjelaskannya pada Kei setelah ini.
“Aku dan Housen-kun mencoba memaksa Ayanokouji-senpai dikeluarkan dari sekolah dengan menggunakan pisau——fakta itu disadari oleh senpai adalah ketika kita pergi berbelanja bersama, kan?”
Aku mulai merubah pikiranku setelah mendengarkan Amasawa hingga sekarang.
“Peralatan dapur, yang seharusnya pertama kali ku lihat di sekolah ini. Tapi, Aku tidak ragu untuk memilih pisau. Dan kemudian, kau memeriksanya pada karyawan dan menemukan bahwa ada seseorang yang mencoba membeli pisau yang sama. Karena itulah, kau bisa segera menilai bahwa kau bisa mencegah Housen-kun melukai dirinya sendiri... Benar kan?”
Jawaban yang Aku dapatkan itu adalah karena jejak yang ditinggalkan oleh Amasawa.
Tapi, itu adalah jejak yang sengaja ditinggalkan tanpa menghapusnya.
Aku mendapatkan jawaban yang tepat, dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah rencana Housen.
Memang benar, jika Amasawa memainkan peran dengan sempurna, situasinya mungkin akan berubah.
“Kau benar-benar perhatian.”
“Aku merasa kasihan karena tiba-tiba kepala senpai dilabeli harga dan dipaksa keluar dari sekolah tanpa tahu harus berbuat apa.”
Aku ingin tahu apakah siswa SMA tahun pertama akan berpikir sampai sejauh itu, Aku meragukannya.
Amasawa Ichika
Jika Aku mempertimbangkan cara berpikirnya, Aku bisa menerima kalau dia adalah siswa White Room.
Tapi, jika benar begitu, ini seperti memberi tahu seseorang tentang siapa mereka sebenarnya. Apa untungnya dari memberi identitas dia yang sebenarnya di sini sekarang?
Atau apakah dia mengembangkan bakatnya di tempat yang tidak terkait dengan White Room seperti Sakayanagi?
Yang mana pun itu, peringkat Amasawa sebagai orang yang harus Aku waspadai telah meningkat.
“Aa.. Aku haus nih. Enak kali kalau bisa minum kopi.”
Seolah menginginkan sesuatu, Amasawa meminta minum dengan suara yang seperti kucing dibelai.
Melihat sikap dan suaranya itu, Kei menunjukan rasa jijiknya tanpa tanpa berusaha menyembunyikannya.
“Bisa kau buatkan kopi untuk Amasawa.”
“Ee, Aku!?”
“Kalau tidak mau biar Aku saja yang buatkan. Dan kau bisa bicara dengan Amasawa.”
“...Aku akan buatkan. '
Tampaknya Kei memilih mana yang lebih baik, antaran membuatkannya minum atau berbicara dengannya.
Aizawa berdiri menuju ke belakang Kei yang berada di dapur dan memesan.
“Tolong, kasih gula dan susu.”
“Ih! Iya iya!”
Untuk Kei yang menerima pesanan itu dan menggelembungkan pipinya, Amasawa berkata.
“Karena kau membenciku, tolong jangan masukkan air kotor atau sampah didalamnya, ya?”
“Aku tidak akan melakukan hal semcam itu!”
Dengan berani membuat lawan bicaranya marah, Amasawa tertawa senang.
Dia memang iblis kecil... Tidak, dia adalah iblis yang sudah tidak kecil.
Setelah Kei menghilang dari pandangan untuk sementara waktu, tinggal kami berdua diruang tamu. Amasawa melihat buku pelajaran dan buku catatan yang diletakan di atas meja.
“Ini rasanya, perlengkapan belajar yang tidak biasa.”
“Untuk kamu yang sudah banyak mengambil keputusan, sepertinya memang terlihat seperti itu”
Tidak ada gunanya mencoba menutupi semua yang Aku lakukan karena dia meragukan semuanya sejak awal.
“Bentar, ini? Apa perjanjian yang diadopsi oleh Majelis Umum UNESCO pada tahun 1972?”
Ketika Amasawa melihat soalnya, dia memegang pencil mekanik dengan tangan kirinya dan menuliskan [Perjanjian Warisan Dunia] di buku catatan dengan tulisan yang cantik.
“Jawabannya benar, benar~!”
Amasawa menjawabnya sendiri dan memuji dirinya sendiri.
“Hei, jangan menulis di buku catatanku tanpa izin!”
Kei, yang khawatir dengan situasinya, menunjukan wajahnya, dan memperingatkan Amasawa yang menulis tanpa izin di buku catatannya.
“Tidak apa-apa kan, sedikit saja.”
“Tidak boleh!”
Kei menarik kembali wajahnya yang marah.
“Pacar senpai itu... sepertinya mudah marah ya.”
Dia membisikan itu ke telingaku, tapi akan menjadi masalah jika Kei melihat keadaan ini.
Untungnya keadaan itu tidak terlihat oleh Kei, dan Kei kembali tanpa menyembunyikan ketidaksenangannya dengan membawa secangkir kopi. Dengan tambahan gula dan susu.
“Si, silahkan!”
“Terima kasih banyak~, Karuizawa se~enpai.”
Tenzawa tersenyum dengan menyeringai.
Tapi, tanpa mencoba minum kopi itu, dia malah berdiri.
“Kalau begitu, karena Aku sudah memberimu permintaan maaf ku, Aku akan pulang saja. Terserah mau senpai apakan bahan makanannnya.”
Mengatakan kalau itu adalah tujuannya, Amasawa berbalik memunggungi kami.
“Ha? Apa-apaan itu, kenapa kau tidak meminumnya!? Kau sudah menyuruh ku membuatnya!?”
“Aku sih tidak masalah berlama-lama di sini, tapi apa kau tidak masalah dengan itu?”
“...Itu, itu sih... Aku ingin kau segera pulang.”
“Benar, kan? Jadi Aku akan pulang.”
Tampaknya dia minta dibuatkan kpi hanya untuk mengerjai Kei.
Apakah ini yang dimaksud dengan tidak tahu apa-apa itu menakutkan.
Dengan cepat dia berdiri dan pergi seperti angin.
Begitu Amasawa pergi, ruangan menjadi hening kembali.
Tapi di mana perginya suasana manis sebelumnya, sekarang suasananya sangat berat.
“Kiyotaka, apa-apaan anak itu tadi!”
“Itu Aku juga ingin tahu.”
“...Argh, Aku sangat marah!”
Meskipun Kei merasa sangat jengkel, tidak ada gunanya membicarakan tentang Amasawa selamanya.
Dia sendiri ingin mengubah topik dan mengubah arah pembicaraan.
“Jelaskan padaku, apa itu hadiah dua puluh juta? Apa itu ada kaitannya dengan cedera Kiyotaka?”
Aku diam bukan karena ingin merahasiakannya.
Itu karena Aku tidak ingin Kei khawatir tentang hal ini dengan sia-sia.
Tapi situasinya sekarang mengharuskan ku untuk mengatakannya.
Aku memutuskan untuk memberi tahu Kei seperti apa situasinya saat ini.
Credit
Youzitsu LN 2nd Year Vol 2 Chapter 2 terjemahan Indonesia oleh Luckser Rayne