Bab 3
Liburan Setiap Orang
1
Pada akhirnya. Untuk mencari tempat makan siang, aku pergi ke buritan lantai lima di mana ada lebih sedikit orang. Ini adalah tempat di mana aku berbicara dengan Himeno tadi malam, dan aku sudah memastikan bahwa ini adalah tempat di mana biasanya tidak banyak orang masuki.
Selama beberapa menit berikutnya, aku lupa tujuan awal ku dan menatap ombak kasar yang diciptakan oleh kapal yang bergerak.
Kemudian, orang yang tidak terduga mendekat.
“Apakah kau makan siang sendirian di sini?”
“Sakayanagi, ya. Apa kau kebetulan datang ke sini?”
Kalau tidak salah, dia seharusnya berada di lantai yang sama dengan Nanase beberapa waktu yang lalu.
“Ini hanya kebetulan. Inginnya aku mengatakan itu, tapi aku mengejarku, Ayanokouji-kun.”
Dia mengejarku? Tetapi kaki Sakayanagi terlalu lemah sehingga dia seharusnya tidak bisa mengimbangi kecepatan berjalanku.
Meski begitu, tidak ada tanda-tanda bahwa dia memiliki seseorang yang mengikutinya di depannya.
“Ini deduksi sederhana. Kau muncul di deck haluan sebelumnya untuk makan siang, tapi menyerah ketika kau melihat banyaknya orang yang ada di sana, ‘kan? Dengan makanan ringan di tanganmu dan keinginanmu untuk melihat pemandangan laut, seharusnya tidak terlalu sulit untuk memprediksi di mana kau akan makan kok.”
Itu berarti dia sudah sepenuhnya membaca pola perilakuku dan telah tiba di sini.
“Ayanokouji-kun, kamu juga ingin makan sambil melihat pemandangan, ‘kan?”
“Tidak seperti di haluan, pemandangannya bukan yang terbaik, tapi tidak setiap hari aku bisa melihat laut seperti ini.”
Tidak ada jaminan bahwa akan ada lagi ujian di pulau tak berpenghuni sekitar waktu ini tahun depan.
Ada perjalanan sekolah lain yang direncanakan untuk acara tahun kedua, tapi detailnya tidak diketahui.
Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk melihat laut.
“Seperti lautan ini, aku yakin kau akan melihat banyak pemandangan yang belum pernah kau lihat sebelumnya di masa depan. Dalam hal itu, kupikir kau sudah membuat pilihan yang tepat untuk memilih sekolah ini, Ayanokouji-kun.”
“Ya, kurasa begitu. Tapi aku hanya pernah melihat laut sekali sebelum aku mendaftar di sekolah ini.”
Sakayanagi tampak tak percaya dan sedikit terkejut. Tidak, mungkin bisa dimengerti jika dia terkejut. Fatanya, aku tidak pernah keluar dari fasilitas sampai aku berusia 14 tahun, yang merupakan tahun ketigaku di SMP.
Kalau dia tahu tentang garis besar White Room, itu harus menjadi pemahaman umum.
Aku hanya melihat pemandangan itu sekali, ketika aku memiliki kesempatan untuk keluar sebentar setelah aku dipindahkan dari fasilitas. Aku tidak bersentuhan langsung dengan air laut, tapi aku berjalan di sepanjang jalan setapak dengan pemandangan laut.
Tapi, aku tidak terkesan dengan laut yang ku lihat untuk pertama kalinya.
Tanpa emosi, aku hanya berjalan-jalan di dunia luar.
“Apa kau tahu tentang [Sharin no Shita]?”
(Tln : Sharin no Shita = Di Bawah Roda)
“Itu novel karya Hermann Hesse, ‘kan?”
Di antara novel-novel yang dia tulis, itu adalah salah satu karya paling terkenal di Jepang.
“Hans, protagonis dari cerita itu, adalah seorang jenius yang berbakat. Dia melanjutkan ke sekolah elit dan diharapkan memiliki masa depan yang cerah, tapi setelah hidup hanya untuk belajar, dia akhirnya mulai memiliki keraguan. Dan kemudian, setelah berusaha untuk memenuhi harapan, dia pun frustasi dan mengalami kemerosotan.”
Akhir protagonis Hans Giebenrath tragis, dan pada akhirnya dia jatuh ke sungai dan mati.
“Ada apa dengan itu?”
“Aku tidak berpikir dia jenius. Karena jenius sejati tidak akan pernah frustasi. Apalagi memilih kematian sebagai hasil akhirnya adalah puncak dari kebodohan.”
Sakayanagi tampaknya sudah menafsirkan kematiannya sebagai bunuh diri, bukan kecelakaan.
“Apa kau ingat yang kukatakan sebelumnya tentang, [Orang-orang bisa mengerti akan kehangatan dengan saling menyentuh. Itu adalah hal yang sangat berharga. Dan kehangatan kulit manusia sama sekali bukanlah hal yang buruk]?”
“Kau memang pernah mengatakan sesuatu seperti itu.”
Seingatku di akhir semester ketiga tahun pertama, tepat setelah ujian khusus.
“Penulis Sharin no Shita, Hesse juga menderita dan frustrasi, sama seperti Hans, sang protagonis. Namun, dia mengatakan bahwa kehadiran keluarganya adalah alasan dia bisa menatap masa ke depan tanpa mengakhiri hidupnya.”
Karena sepertinya si penulis, Hesse, dan protagonis buku itu, Hans, memiliki latar belakang yang sangat mirip.
Dapat dilihat bahwa cerita tersebut merupakan proyeksi dari dirinya sendiri.
Di saat Sakayanagi menatap laut, embusan angin kencang bertiup sesaat.
“Ah———”
Aku melihat topinya terangkat dalam sekejap dan segera mengulurkan tangan untuk menangkapnya.
“Tto... hati-hati.”
Kalau reaksiku untuk meraihnya sedikit terlambat, topinya akan terhempas ke laut.
“Terima kasih.”
“Memakainya di deck itu berbahaya, loh.”
“Fufu, ya, kau benar. Tapi ini adalah ciri khasku.”
Sakayanagi memegang topinya di tangannya dan mendekapnya erat-erat di dadanya seolah-olah itu berharga baginya.
“Sekarang, tiba-tiba aku teringat sesuatu yang telah lama kurindukan.”
“Sesuatu yang kau rindukan?”
“Tidak, itu bukan sesuatu yang besar. Hanya saja aku juga memiliki sedikit kenangan indah tentang laut.”
Meskipun lautan terlihat sama, masing-masing dari kami memiliki kenangan yang berbeda tentangnya.
“Ngomong-ngomong, aku belum bertanya kenapa kau mengejarku.”
“Apakah itu mengganggumu jika aku mengejarmu tanpa alasan?”
Aku bertanya-tanya konten seperti apa yang akan dia katakan, tapi dia mengatakan sesuatu yang tidak ku pikirkan.
“Tanpa alasan, ya?”
“Aku hanya ingin bicara denganmu kok, Ayanokouji-kun. Aku bisa saja memanggilmu di tempat tadi, tapi kau tidak ingin terlalu menunjukan dirimu yang berbicara denganku, ‘kan?”
Terima kasih atas keprihatiannya.
Tetapi, aku bukan pembicara yang baik, jadi aku tidak punya topik khusus yang bisa ku bicarakan dengan Sakayanagi.
“Apa kau keberatan jika aku membuat satu obrolan ringan denganmu?”
“Tidak. Bolehkah aku mendengarkan sambil makan?”
“Silahkan, jangan pedulikan aku. Dengarkan saja apa yang kukatakan, dan itu sudah cukup.”
Aku mengambil salah satu onigiri dari tak plastik dan membuka bungkusnya dengan tangan.
“Kemarin, Ichinose-san mendatangku.”
“Ichinose datang ke tempatmu?”
“Ya.”
Mengingat kejadian kemarin, Sakayanagi angkat bicara sambil mengingatnya kembali.
Semangat min
ReplyDeleteSankyuu Min
ReplyDeleteLanjutkan terus
Thanks min
ReplyDeleteMakasih atas translate an nya min
ReplyDeleteYang full dah ada ya min?
ReplyDeleteHmm...Jadi gitu gunanya ss sakayanagi yang diupload kemarin.
ReplyDeleteThanks min.
Lanjutannya kapan min?
ReplyDelete#selaluditunggu🙏
arisu x ayano
ReplyDelete