Bab 3
Meski Begitu, Mau Tak Mau
1
Setelah berbelanja di Keyaki Mall, aku kembali ke asrama dan mendapati Ibuki-san sedang menatap pintu masuk di sebelah lift.
Aku mengabaikannya dan menekan tombol lift, dan dia tiba-tiba mulai marah.
“Jangan abaikan aku!”
Dia mendekatiku dengan air liurnya yang hampir terbang ke wajahku.
Aku bertanya-tanya apa yang dia inginkan padahal pertarungan panjang penentuan akan segera dimulai.
Aku merasa dia akan mengikutiku ke dalam lift.
Aku terpaksa berhenti dan melihat pintu lift terbuka untuk menyambutku masuk.
“Abaikan? Apa kau ada perlu denganku?”
“Ini! Apa maksudmu dengan kalimat ini? Katakan padaku jawabannya.”
Sambil memelototiku, dia menyodorkan layar ponselnya ke depannku.
Cahaya yang menyilaukan menyinari bola mataku, tapi aku hanya bisa melihat cahaya putih.
“Kamu bodoh, ya? Ini terlalu dekat untuk kulihat, bisakah kamu geser sedikit lebih jauh?”
“Hadeh! Nih lihat!”
Dia benar-benar hanya menggesernya sedikit, tapi aku bisa membaca sebagian dan langsung memahami apa yang dikatakannya.
“Itu adalah kalimat yang ditulis dengan baik dan mengesankan, ya. Pasti ditulis oleh orang yang cerdas.”
“Jangan memuji dirimu sendiri! Lagian, apanya yang cerdas dengan ini?”
“Mungkin kau akan mengerti jika kau membacanya dengan keras.”
“Ha? [Jika kamu dikeluarkan dari sekolah di mana aku tidak ada hubungannya dengan itu, maka tentu saja kamu kalah dariku. Jangan jadi sebodoh itu, ya] ...nih apanya yang cerdas coba? Enggak, lupakan soal itu, katakan saja padaku apa maksudnya!”
“Kamu tidak mengerti setelah membaca ini?”
“Sama sekali tidak. Aku sudah memikirkannya selama seminggu ini, tapi aku tidak bisa memahaminya. Jadi apa?”
Dia menyilangkan tangannya sambil mengendus.
Aku tidak pernah menduga dia tidak bisa menerima saran sederhana sebagai saran....
Tidak, aku lebih suka berpikir bahwa itu berpotensi efektif.
“Tidak ada gunanya bertanya sekarang. Sepertinya kamu tidak punya masalah juga.”
“Ha? Apanya? Jelaskan padaku dengan cara yang lebih mudah dipahami.”
Dia juga benar-benar tidak peka, ya.
Aku ingin tahu apakah semua yang dia memiliki hanyalah saraf motorik dan naluri bertarung saja....
“Aku telah memberimu rencana rahasia agar kamu tidak dikeluarkan. Kamu tampaknya tidak disukai oleh teman-teman sekelasmu dan bisa dalam bahaya jika isu yang berkaitan dengan pengusiran diberikan. Kalau aku memotivasimu seperti ini, kamu akan mencoba untuk tetap di sekolah bahkan jika kamu tidak mau, ‘kan?”
“Jangan bilang... kau mengkhawatirkanku?”
Dia mundur dengan ekspresi terkejut, bukan terkejut, tapi ekspresi jijik yang tulus.
“Jangan menafsirkannya sembarangan. Aku hanya masih membutuhkan kerja samamu. Aku tidak ingin kekurangan tenaga, dan selain itu, bahkan jika kamu dikeluarkan dalam ujian khusus terakhir, kelas Ryūen-kun hanya akan mendapat 100 poin, bukan kerusakan yang kamu tinggalkan. Kalaupun kamu tetap akan pergi, akan lebih menguntungkan jika kamu menghilang dalam ujian yang ada penaltinya.”
Bahkan setelah kujelaskan, dia tidak terlihat puas, bahkan tidak satu milimeter pun.
“Boleh aku lewat, aku mau pulang.”
Saat aku meliriknya sedang marah dalam diam dan memberiku jalan, aku menekan tombol lift lagi.
Kemudian, ketika aku masuk ke dalam, aku perhatikan Ibuki-san tidak ikut masuk.
“Kamu tidak pulang?”
“Aku tidak mau masuk lift bareng kamu.”
“Dasar anak kecil. Bukankah pernah beberapa kali terjadi secara tidak sengaja?”
“Sekarang aku sedang tidak mau masuk.”
“Oh. Kalau begitu terserah kamu.”
Menekan tombol tutup, aku menuju ke lantai tempat Kushida-san tinggal.
Dari sini, aku harus bertahan sampai dia membukakan pintu untukku.
Di dalam lift yang sedang naik, aku bertanya-tanya apakah aku akan benar-benar membuat terobosan.
Kalau aku tidak melakukan sesuatu yang berbeda, bukankah akan sama saja? Jika demikian, maka apa yang akan kulakukan hanyalah buang-buang waktu. Aku tiba di lantai tujuanku dan pintu terbuka.
Tapi aku tidak bisa mengambil langkah untuk keluar, dan aku kaku di tempat.
Bagaimana, bagaimana agar aku bisa berdialog dengan Kushida-san....
Hanya waktu yang berlalu dan lift ditutup.
Sebelum aku menekan tombol buka, lift bergerak dan mulai turun ke bawah.
“Astaga, payah sekali.”
Dengan pikiran-pikiran yang kacau ini, jangan pikir aku bisa membujuk Kushida-san bahkan jika aku bisa menemuinya. Aku merasa tidak enak karena menyia-nyiakan kata-kata hangat dari Chabashira-sensei.
Lift langsung kembali ke lantai pertama.
Saat pintu terbuka, Ibuki-san yang sedang menatap ponselnya, maju selangkah tanpa menyadariku.
Kemudian dia merasakan kehadiran seseorang di dalam lift, mendongak, melihatku dan bersuara kecil.
“Ke-Kenapa kamu ada di sini!?”
Dia benar, bisa dimengerti jika dia terkejut melihatku di sini.
“Tidak mau masuk?”
“Kan sudah kubilang aku tidak mau masuk!? Apa kau mengejekku?”
Sambil menggelengkan kepala, aku mengulurkan tangan untuk menekan tombol tutup lagi.
Di sana, aku melihat Ibuki-san yang membuang muka, dan merasakan sesuatu mengganjal di hatiku.
Tepat sebelum aku menyentuh tombol tutup, aku menggesernya ke tombol buka dan menatapnya.
Dia menatapku curiga ketika lift tidak menutup untuk waktu yang lama.
Terobosan itu mungkin terletak di tempat yang tak terduga.
Mungkin ini sudah waktunya untuk mempraktikkan nasihat dari Chabashira-sensei....
“Ada apa?”
“....Kebetulan, aku ingin kamu membantuku.”
“Ha?”
Ini adalah taruhan yang cukup berisiko, tapi ini bisa menjadi bahan untuk memecahkan kebuntuan.
Terobosan yang tak terlihat, dan yang akan memecahkannya mungkin adalah penyergapan yang tak terduga.
Aku tahu ini sembrono, tapi untuk saat ini aku hanya perlu mencoba segala cara.
“Masuklah.”
“Berapa kali aku harus bilang kalau aku tidak mau masuk?”
“Sudahlah masuk saja.”
“...Kenapa sih?”
Aku menekan tombol tutup setelah memastikan bahwa Ibuki-san yang kesal telah naik.
“Ada sesuatu yang aku ingin bicarakan denganmu.”
“Haaaaaa? Kau minta aku? Yang benar saja, tidak mungkin aku mau.”
“Bukannya kamu sudah masuk lift.”
“Kamu yang nyuruh aku masuk.”
“Kalau begitu, tidak ada salahnya bicara denganku, ‘kan?”
“Lah, itu tidak masuk akal.”
“Ini juga tidak buruk untukmu. Jadi, ini soal———”
“Jangan mulai bicara sendiri. Diajak bicara olehmu saja sudah cukup buruk, tahu?”
Saat kami melakukan percakapan ini, kami tiba di lantai tempat kamar Kushida-san berada.
Aku keluar lebih dulu dan melihat kembali Ibuki-san yang masih berada di dalam lift.
“Keluarlah. Aku tak tahu di mana pasang mata dan telinga berada di sini, untuk jaga-jaga.”
“Bodo amat. Aku mau pulang. Aku enggak ngerti.”
Dia menekan tombol tutup dan mencoba pergi, tapi pintu lift tidak menutup.
“Sepertinya lift juga mau kamu keluar.”
“Kamunya nekan tombol dari luar, jadinya gak mau nutup!”
“Ngomong-ngomong, apa ada sesuatu yang kamu suka? Atau sesuatu yang kamu hargai?”
“...Emang apa hubungannya?”
“Sudahlah jawab saja.”
“———Nu.”
“Nu?”
“Tidak, aa... apa ya. Aku tidak bisa memikirkan apa pun, tapi mungkin stroberi.”
“Tidak kusangka kamu akan menyebutkan sesuatu yang manis... sudah cukup, lupakan apa yang baru saja ku katakan.”
“Kau sendiri yang tanya, apaan sih! Lepaskan saja tanganmu dari tombolnya.”
Saat Ibuki-san menjadi semakin tidak senang, aku memutuskan untuk masuk ke topik utama.
Aku menyadari bahwa akan lebih baik baginya jika aku segera membagikan ceritanya dan memberitahukan tujuanku.
“Aku akan menemui Kushida-san sekarang.”
“Terus? Temui saja dia sendiri apa susahnya sih?”
Dia menekan tombol tutup berulang kali, tapi tentu saja itu tidak ada gunanya.
“Tidak semudah itu. Dia belum terlihat sekali pun dalam seminggu terakhir ini dan sudah absen sekolah. Aku sudah mengunjungi asrama, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda dia akan keluar. Aku ingin kamu mengeluarkannya dari kamarnya. Apa kamu mengerti?”
“Ha? Tunggu, kenapa aku harus melakukan itu?”
“Ini juga disebut membantu orang, loh.”
“Bodo amat. Aku saja tidak mau membantu kelasku sendiri, kenapa aku harus membantu kelasmu?”
Aku sudah memperkirakan bahwa tidak mungkin Ibuki-san akan langsung menerima permintaanku.
Tapi lain cerita jika ada untungnya.
Karena lift dibiarkan terbuka sepanjang waktu, bunyi bip peringatan mulai berbunyi.
“Oke. Kalau begitu aku akan memberimu hadiah keberhasilan.”
“Gak butuh. Kalau kau mengira aku termotivasi oleh uang, kamu salah besar.”
“Ya, aku yakin begitu. Tapi hadiah keberhasilan dari ku seharusnya sesuatu yang sangat kamu inginkan.”
“...Kayaknya tidak deh yang seperti itu.”
Hati Ibuki-san tidak mudah untuk digerakkan. Tapi jika aku menawarinya dengan hal tertentu, pikirannya akan berubah 180 derajat.
“Di festival olahraga, kamu bisa melakukan pra-registrasi hingga 5 kompeti pilihanmu. Kamu bebas untuk berpartisipasi dalam kompetisi apa pun dan dalam grup apa pun. Tujuan utamanya adalah untuk digunakan sebagai ukuran untuk menyelesaikan perlombaan yang diperlukan atau untuk menghindari lawan yang kuat... tapi di sisi lain, ini juga sistem yang memungkinkanmu untuk melawan lawan yang kamu incar.”
Setelah aku menjelaskan semua itu, mata Ibuki-san, yang tidak termotivasi mulai menyala.
“Aku tahu kamu sedang menunggu tanpa mendaftar untuk melawanku, bukan? Tapi, sayangnya aku tidak akan memutuskan sampai menit terakhir. Tergantung pada situasinya, ada kemungkinan besar aku akan bergerak untuk slot terakhir. Yang berarti kau tidak akan pernah mendapatkan kesempatan bertarung denganku bahkan jika kamu terus menunggu.”
“...Jadi jika aku membantumu, kamu akan bertarung denganku?”
“Ya. Aku akan memberimu satu pertarungan dalam kompetisi pilihanmu. Tentu saja, aku sama sekali tidak akan menahan diri demi kelasku, jadi kamu tidak akan mendapat poin apa pun. Tapi itu jika kamu mau.”
“Hah. Itu menarik. Tapi aku tak puas hanya dengan satu pertarungan. Setidaknya 3 pertarungan. Jika kamu mau bertarung denganku dalam format 2 kali menang dan 1 kali kalah, aku akan membantumu.”
“Tiga? Itu serakah...”
Aku pura-pura memikirkannya saat terdengar bunyi peringatan.
“Itu tidak bisa ditawar.”
Aku pikir juga begitu. Aku setuju bahwa tidak ada gunanya memutuskan siapa yang menang atau kalah hanya dalam satu kompetisi.
Di sisi lain, jika kami bertarung 2 atau 4 putaran, ada kemungkinan seri. Aku sudah menduga dari awal bahwa pertarungan akan diputuskan dalam 3 putaran, tapi jika aku menawarkannya sejak awal, dia mungkin akan meminta 5 putaran.
Jika kamu puas dengan 3 putaran, maka itu sesuai rencana.
“...Oke. Aku akan mengikuti kompetisi yang sama denganmu untuk 3 putaran. Dengan itu kamu setuju?”
“Setuju. Jangan dibatalin sesudahnya.”
Mengatakan itu dia keluar dari lift.
Ketika aku melepaskan tanganku dari tombol, lift perlahan mulai menutup pintunya.
“Tentu saja. Tapi———kau harus membantuku sampai aku menyelesaikan masalah ini.”
“Katakan saja dengan jelas apa tujuanmu.”
“Kushida-san harus datang ke sekolah mulai hari Senin. Itu saja.”
“Kedengarannya mudah, sih. Lagian, apa salahnya dengan Kushida absen? Siapa pun juga pasti pernah sakit setidaknya sekali.”
Chabashira-sensei berkata bahwa tidak ada yang namanya rahasia tentang Kushida-san.
Tapi, penting untuk dicatat bahwa ini bukan sesuatu yang harus diberitahukan secara tidak perlu.
Mengikuti saran itu, aku memutuskan untuk menceritakan semuanya.
Jika Ibuki-san adalah tipe siswa yang blak-blakan kepada orang-orang di sekitarnya, itu hanya karena aku tidak memiliki mata untuk melihatnya.
Aku butuh jalan keluar sekarang, bahkan jika itu berarti mendorong diriku lebih keras.
Aku menceritakan tentang Kushida-san. Tentu saja, aku tidak menyembunyikan apa pun.
Ibuki-san pasti tahu kehidupan seperti apa yang dia jalani selama ini. Tapi, aku akan menjelaskan setiap detail dari sifat aslinya, cara berpikirnya, dan situasinya saat ini.
Saat aku bercerita, Ibuki-san mendengarkan sambil melihat kemana-mana seperti tidak tertarik.
Biasanya, aku tidak akan senang dengan sikapnya yang seperti itu, tapi anehnya, aku merasa tertolong oleh sikapnya itu. Setelah aku selesai mengatakan yang sebenarnya tentang kenapa dia absen dari sekolah, Ibuki-san menghela nafas kecewa.
“Omong kosong.”
Tanpa menunjukkan minat yang kuat pada sifat aslinya, dia dengan acuh mengungkapkan pemikirannya tentang fakta itu.
“Kamu tidak terkejut, ya. Apa kamu tahu sesuatu?”
“Tidak ada. Aku hanya tidak percaya pada orang baik yang lurus. Begitu pula dengan Kushida, Hirata, dan Ichinose. Sudah menjadi aturan bahwa mereka yang berpura-pura menjadi orang baik selalu lebih buruk di belakang layar.”
“Itu cara berpikir yang menarik.”
Mungkin ada beberapa bagian secara mengejutkan tepat sasaran.
“Lalu, apa kau memiliki pendapat yang sangat tinggi tentang Ryūen-kun? Dia berpura-pura... tidak, dia juga bukan orang baik di belakang layar.”
“Aku lebih membencinya. Selain itu, aku baru-baru ini juga mulai membenci orang yang tampaknya tidak berbahaya seperti Ayanokōji. Bikin kesal.”
Sampai segitunya, di sisi lain, aku ingin tahu apakah ada orang di luar sana yang bisa disukai Ibuki-san?
“Yah, aku tidak keberatan menarik orang seperti itu. Malah aku ingin bertanya padanya, bagaimana rasanya pura-pura menjadi orang baik selama ini dan ketahuan?”
Kalau dia berlebihan, aku harus menghentikannya, tapi kurasa aku perlu belajar untuk menjadi sedikit lebih pemaksa seperti itu.
“Aku hanya perlu menyeret keluar Kushida yang mengurung diri, bukan?”
“Ya.”
Tampak cukup percaya diri, Ibuki-san berjalan ringan ke depan kamar Kushida-san.
“Kamu mau melakukannya sendirian?”
“Diam dan lihat saja.”
Kalau begitu tunjukan upayamu.
Berjalan ke depan kamar Kushida-san, Ibuki-san tiba-tiba memegangi perutnya dan berjongkok di tempat.
“...Ah, sakit, sakit sakit sakit!”
Lalu dia mengeluarkan jeritan yang menggema di koridor.
Untuk sesaat aku tidak mengerti apa yang dia lakukan dan menatap pemandangan itu dengan linglung.
“Ti~tiba-tiba sakit perut... ga-gawat, aku tidak akan sampai kamarku tepat waktu...!
Eh... sakit perut? Jangan bilang itu ide yang kamu pikirkan?
Membuatnya membuka pintu untuk meminjamkan toilet?
Selain ide klise itu, aktingnya sangat buruk....
Pertama-tama, ini bukan lantai tempat kamar Ibuki-san berada.
Kalaupun lantainya sama, pasti akan lebih cepat lari ke kamarnya.
“To-Toilet, aku pinjam toiletnya!”
Dia menekan bel kamar Kushida-san dengan cepat dan memanggilnya.
Upaya seperti itu berlanjut selama sekitar 10 detik, tapi tidak ada tanda-tanda Kushida-san keluar dari dalam.
Itu adalah masalah sebelum aku ada hubungannya dengan yang satu ini....
Kesalahan dalam memilih orang yang jelas hampir membuatku menggaruk-garuk kepala.
Aktingnya berlanjut selama beberapa puluh detik. Ibuki-san berdiri dan kembali ke sini dengan wajah datar.
“Mungkin dia tidak ada di kamarnya?”
“Aku yakin dia ada di kamarnya.”
“Benarkah? Kalau dia tidak terjebak dengan akting itu, Kushida bukan orang sembarangan.”
“Ka-Kau benar.”
Karena dia tampaknya serius mengatakan itu, jadi sebaiknya aku tidak membahas ini.
Aku menyuruhnya untuk mengikutiku dengan tenang dan membuka kotak dengan meteran listrik yang terpasang di kamar Kushida-san.
“Kamu lihat piringan di sini, ‘kan? Jika kecepatan piringan ini lambat, kemungkinan besar dia tidak ada di kamar. Tapi jika dia di kamar dan menggunakan TV atau komputer, piringan ini akan berputar lebih cepat.”
Sekarang, piringan ini berputar sedikit lebih cepat.
“Sekarang kamu tahu kemungkinan besar dia ada di kamarnya, ‘kan?”
“...Kamu tahu hal-hal tentang menjadi pencuri, ya.”
“Aku belajar banyak soal itu akhir pekan lalu sambil menunggunya. Jangan disalahgunakan, loh.”
Gak bakal lah, katanya, menatapku dengan dingin.
“Apa kamu sudah memikirkan ide lain? Kalau tidak ada, mungkin langsung saja aku batalin…”
“Caranya yang salah.”
“Eh?”
“Ini pertaruhan, tapi tidak masalah, ‘kan? Aku akan menarik keluar Kushida dengan paksa.”
Meskipun aku merasa dia perlu memberikan dasar pemikirannya, aku memutuskan untuk menyerahkannya sekali lagi setelah melihat betapa bertekadnya dia.
Aku agak menjauh, kemudian dia melangkah ke depan pintu lagi untuk———
“Hei, Kushida. Aku sudah dengar banyak tentangmu. Kudengar kamu serigala berbulu domba selama ini, tapi ketahuan waktu ujian?”
(Tln: Kiasan serigala berbulu domba = menyembunyikan sifat aslinya)
Ketika aku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan, dia mulai menghinanya.
Otakku menyuruhku untuk menghentikannya untuk sesaat, tapi tidak ada gunanya melakukan itu.
Karena bahkan jika aku mengentikannya sekarang, itu pasti sudah sampai ke telinganya.
“Rasaiin tuh. Bagaimana rasanya jatuh setelah dulu pernah jadi orang paling populer? Ah, di peringkat orang baik, kayaknya Ichinose lebih tinggi. Bagaimana rasanya jatuh setelah pernah jadi nomor dua?”
Teknik menghasutnya jauh lebih baik daripada akting kakunya barusan.
Alasan kenapa aku sangat tersinggung, mungkin karena Ibuki-san mengatakan itu.
(Tln: Lol)
Tapi tidak ada suara balasan. Kurasa perlakuan kasar juga percuma....
Ibuki-san di pintu tidak mengubah ekspresinya dan tidak berhenti berbicara.
“Tunjukkan padaku wajah jelekmu.”
Dia membenturkan jari-jari kaki kanannya ke pintu dengan cukup kuat.
“Aku stres karena Horikita barusan, dan aku hanya ingin menyingkirkannya.”
Niat Ibuki-san yang sebenarnya bukanlah untuk menyelamatkan Kushida-san sedikit pun.
Dia melampiasakan itu ke Kushida-san yang mungkin ada di balik pintu.
“Menendang pintu kamar seseorang mungkin tidak terlalu buruk. Aku bisa sedikit mengerti perasaan Ryūen.”
Tendangannya yang berulang kali sepertinya demi dirinya sendiri sekarang.
Setelah beberapa tendangan, aku mendengar suara dari dalam ruangan.
Namun demikian, saat dia hendak menendangnya lagi, pintu kamar tiba-tiba terbuka.
“———Bisakah kau berhenti menggangguku, Ibuki-san?”
Kushida-san muncul dengan pakaian kasualnya.
Aku tidak pernah mengira kalau Kushida-san akan tergerak dengan cara Ibuki-san yang kasar ini....
Aku sedikit terkejut, bertanya-tanya semua upayaku selama seminggu terakhir itu untuk apa.
“Keluar juga. Sudah kuduga kamu tipe orang seperti itu.”
Setelah mengetahui lebih banyak tentang karakter Kushida-san, mungkin ada bagian dari dirinya yang Ibuki-san pahami.
“Bisakah kamu hentikan kesalahpahaman yang menyebalkan itu?”
“Hee? Jadi begitu rasanya? Itu jauh lebih kusukai daripada dirimu yang serigala berbulu domba.”
“Aku tidak pernah menyukaimu sekali pun. Sama juga dengan Horikita-san di sana.”
Melihatnya memanggilku dengan san, menunjukkan bahwa dia dalam kondisi mental yang tenang.
Karena tidak ada gunanya bersembunyi, aku pergi ke depan kamar Kushida-san tanpa ragu-ragu.
“Jika kamu tidak keberatan, bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku sudah lelah menunggumu begitu lama.”
“Yah, mau menutupnya juga gak ada gunanya.”
Dia tidak bisa menutup pintunya karena satu kaki Ibuki-san tertancap kuat di celah di antara pintu.
Kushida-san yang telah melihat ke bawah pada kaki yang dimasukkan, menginjaknya sekeras-kerasnya.
“Au!!”
Dia terus menginjaknya dengan kuat, tapi Ibuki-san juga tidak mau menarik kakinya.
“Beneran gak bisa ditutup, ya.”
“Bisa kau———berhenti!”
Saat aku hendak membuka paksa pintu dan masuk, dia segera mundur dan menyapa kami dengan wajah datar.
“Silahkan masuk. Ini mungkin pertama dan terakhir kalinya kamu kesini, jadi luangkan waktumu.”
Itu adalah pernyataan tersirat, tapi kurasa aku siap untuk itu.
Tidak sulit bagi Kushida-san untuk menyusahkan kelas dengan mempertahankan kondisi ini selamanya. Dia pasti mengundang kami karena dia memutuskan sesuatu.
Ini adalah kesempatan pertama dan terakhir———kurasa. Dengan melihat sekilas orang bisa tahu bahwa kamar Kushida-san bersih. Aku mendapat kesan bahwa dia lebih menyukai kebersihan daripada aku.
“H-Hee. Yah yah, ini cukup rapi.”
Kata Ibuki-san, melihat sekeliling ruangan dengan kekaguman dan keterkejutan.
Kushida-san melihat sikapnya.
“Kamarmu terlihat berantakan dan pakaian kotor berserakan di mana-mana, ‘kan, Ibuki-san?”
“Ugh... pe-pernah lihat saja tidak, tahu apa kamu?”
Jelas sekali bahwa tebakannya benar....
“Duduklah. Aku tidak akan menawarkan minuman atau makanan ringan, tapi tidak apa-apa kan?”
“Ya, tidak usah.”
Diminta untuk duduk, kami saling memandang sejenak dan kemudian duduk saling berjauhan.
Kushida-san duduk di seberang, membuat situasi dua banding satu di antara meja.
“Jadi sepertinya kamu membuat keributan di depan kamarku sepanjang waktu, apa tujuanmu?”
“Kamu sudah tahu, ‘kan? Sudah seminggu kamu tidak masuk sekolah. Itulah kenapa aku menemuimu.”
“Haa.”
Dengan jawaban singkat, Kushida-san melanjutkan.
“Kau pikir aku akan pergi ke sekolah setelah apa yang terjadi? Aku tidak akan terkejut, tapi kamu memberi tahu anak ini soal aku, ‘kan? Itu juga termasuk sindiran, ‘kan?”
“Bukan seperti itu. Dia tidak akan sembarangan membicarakannya dengan orang lain.”
“Hee? Jadi kamu mempercayainya?”
“Tidak. Dia hanya tidak punya banyak orang untuk diajak bicara.”
“Oi.”
Dia membanting tinjunya ke meja dan memelototiku, tapi aku mengabaikannya. Karena itu fakta.
“Bahkan jika itu benar, kamu tidak memikirkan perasaan orang lain. Aku jadi terluka.”
“Memangnya kau punya hak untuk mengatakan itu?”
“Kalaupun tidak, itu bukan alasan bagi Horikita-san untuk tidak perlu memikirkan perasaanku, ‘kan?”
Pertukaran kata yang tajam dengan cepat diulang.
“Mari kita lanjutkan pembicaraan. Aku tahu kalau aku masih kurang pengalaman. Tapi kamulah yang pertama kali memulai permusuhan. Iya, ‘kan?”
Kushida-san hanyalah teman sekelas.
Tapi dia selalu menatapku sebagai seseorang yang harus dikeluarkan.
“Aku tak akan menyangkal itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menahannya.”
“Lalu apa yang harus kulakukan? Berkaca kembali sekarang, aku tidak punya jawaban yang jelas.”
“Aku bisa mengerti. Aku sudah memikirkan hal yang sama beberapa kali. Dan aku menemukan 1 kesimpulan. Bukankah seharusnya kamu keluar dari sekolah dengan sukarela untukku, yang tidak tahan dengan kehadiranmu, Horikita-san?”
“Tolong jangan katakan yang tidak-tidak. Itu bukan kesimpulan, itu hanya retrorika.”
“Retrorika, ya. Tapi retrorika itu satu-satunya solusi, loh.”
Meskipun dia menjawab pertanyaanku, itu bukanlah dialog yang bersahabat.
Namun, mungkin juga benar bahwa itu adalah niat Kushida-san yang sebenarnya.
Mata Ibuki, yang pada awalnya kurang lebih mau mendengarkan pembicaraan, berangsur-angsur mati.
“Kuharap kamu bisa membiarkan semuanya berlalu dan membantuku.”
“Aku tahu kalau kamu akan meminta itu, tapi jangan membuatku tertawa.”
“Memangnya kamu punya kemampuan dan layak untuk itu?”
“Tentu saja.”
Tanpa sedikit pun kerendahan hati, dia langsung menjawab.
“Sangat sadar diri sekali...”
Kushida-san menambahkan tanpa mengoreksi kata-kata yang digumamkan Ibuki-san.
“Iya tah? Menurutku sih tidak.”
“Menurutku juga tidak. Kemampuanmu itu tidak ada hebatnya menurutku. Kalau mau, kau bisa mencobanya di sini.”
Mengtakan itu dia mengepalkan tinjunya.
“Kamu bahkan lebih bodoh dari yang ku kira, Ibuki-san. Kemampuan yang dimaksud bukan soal itu. Lihat saja OAA. Kemampuanmu di sekolah ini adalah kualitas nilaimu. Aku pikir perbedaan antara aku dan kamu lebih dari yang kamu kira, Ibuki-san?”
Ibuki-san yang kesal mengeluarkan ponselnya dan memeriksa OAA.
Dan setelah membandingkannya dengan kekuatan keseluruhan miliknya, dia menjadi pucat dan diam-diam menutup ponselnya.
“Aku ingin kau menggunakan kemampuan tinggimu untuk kelas. Jika kamu terus absen dari sekolah tanpa izin, pada akhirnya kamu akan kehilangan kursimu.”
“Sudah hilang sih. Yah, itu benar. Bagi Horikita-san, kamu menentang pengusiranku karena kamu siap untuk dimusuhi, bukan? Jadi jika aku tidak berguna, kamulah yang dalam masalah. Aku bisa mengerti kenapa kamu ingin berusaha keras untuk membujukku seperti ini.”
Kushida-san pasti sudah tahu situasi kelas dengan baik.
“Aku sudah kalah. Aku sudah tidak memiliki tempat lagi. Tapi, alasan aku tetap patuh sampai akhir dalam ujian khusus suara bulat itu adalah untuk memberikan sedikit kerusakan padamu. Kalau aku terus absen, sekolah akan menghukum kelas yang menyebabkan siswa membolos, ‘kan? Dan pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab atas hukuman itu adalah kamu.”
Memang, jika Kushida-san terus absen, kelas akan terus menderita kerusakan berkelanjutan seperti terus-menerus terkena racun. Meskipun ada kemungkinan bahwa strategi bolos pada akhirnya akan menemui jalan buntu dalam ujian khusus, Kushida-san akan berhasil membalas dendam.
“Tidak ada untungnya bagimu.”
“Sudah terlambat kali. Aku tidak akan kehilangan apa-apa lagi, jadi bukankah normal untuk mencoba menyeretmu bersamaku?”
“Ha? Itu tidak normal. Jangan besar kepala kamu hanya karena angka di OAA-mu sedikit lebih baik.”
“Aku mengundangmu hanya untuk bersenang-senang, tapi kurasa itu keputusan tepat. Kamu lucu loh, Ibuki-san. Kalau hanya aku dan Horikita-san, ini akan menjadi percakapan yang membosankan. Memang, aku mungkin salah mengungkapkannya sebagai normal. Sesuatu yang normal bagiku pasti tidak normal, ‘kan?”
“Jadi kamu mengakui kalau kamu orang yang tidak normal?”
“Aku tidak akan puas kecuali aku menjadi nomor 1. Aku tidak bisa mentolerir apa pun yang tidak sesuai denganku.”
“Menjijikkan.”
“Mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa mengubah cara berpikir seperti itu. Aku terlahir dengan itu.”
Dia tidak peduli mau itu disebut pelampiasan atau penolakan.
Kushida-sa bahkan lebih menakutkan dari biasanya, saat dia menenangkan pikirannya seolah tercerahkan.
Dia jauh lebih tangguh daripada saat dia berteriak dan mengungkapkan kelemahannya.
“Aku akan terus absen sampai sekolah melakukan sesuatu untuk memaksaku.”
Kushida-san menyatakan bahwa dia akan terus menyerang dengan resiko seperti itu.
Dia yang seperti tak terkalahkan bertanya dengan acuh tak acuh.
“Jadi bagaimana?”
“Tidak ada yang berubah, aku hanya harus terus berbicara denganmu seperti ini.”
“Tidak ada rencana, ya. Kamu sangat berbeda dari Ayanokōji-kun.”
Saat menyebut nama Ayanokōji-kun, telinga Ibuki-san berkedut.
“Kupikir aku mengambil keuntungan darinya, tapi dia tidak panik sama sekali. Sebaliknya, dia membuat rencana untuk menggunakannya. Menurutku dia adalah orang yang tidak boleh dijadikan musuh.”
“Orang itu———kau benar. Dia mungkin memiliki kemampuan memprediksi berbagai hal di masa depan. Baru belakangan ini aku disadarkan akan hal ini.”
“Kalau begitu sama sepertiku.”
“Ya.”
Setelah itu, ada sedikit keheningan.
“Kau juga cukup bodoh ya, Horikita-san. Padahal akan lebih mudah jika kamu membuangku.”
“Aku mungkin bodoh. Intuisi yang tidak berdasar. Keyakinan yang tidak berdasar. Tidak heran itu diterima seperti itu. Tapi tidak ada keraguan bahwa kamu adalah siswa yang berbakat. Meskipun ada unsur bahaya yang disebabkan oleh hasratmu padaku dan Ayanokōji-kun yang tentang masa lalumu, Itu tidak mengubah reputasi yang membuatmu berkontribusi pada kelas setidaknya selama satu setengah tahun.”
Dia terus mencapai hasil yang cukup untuk dibanggakan tanpa perlu malu.
“Jika menyusahkan kelas benar-benar prioritas utamamu, mungkin hanya dengan terus absen seperti ini bisa membalaskan dendammu. Maksudku, apakah itu yang kamu inginkan?”
“Apa yang kau coba katakan?”
“Aku bertanya apakah kamu puas hanya dengan itu.”
“Tentu aku puaslah. Karena aku tidak menginginkan yang lebih dari itu sekarang. Tidak peduli berapa banyak kata yang kamu coba untuk membujukku, itu tidak akan berhasil, aku tidak akan menganggukan kepala.”
(Tln: Hmm... ini kata-kata, mirip sama kata-kata Kei. Bedanya konotasi)
Membujuk. Mendengar kata-kata itu, aku merasa seperti ada tulang kecil yang tersangkut di tenggorokanku.
Aku memang ingin Kushida-san datang ke sekolah.
Itu karena aku ingin membuktikan bahwa pilihan ku tidak salah.
Kushida-san yang ada tepat di depanku, tahu lebih baik dari apapun.
Tapi itu untuk diriku sendiri. Ini bukanlah jawaban yang terbaik untuk Kushida-san.
“Aku mungkin keliru.”
“Apa maksudmu?”
“Kupikir aku di sini untuk [membujuk] mu. Tapi, itu tidak benar. Ini pada akhirnya untuk diriku sendiri dan untuk kelas. Aku tidak mempertimbangkan perasaanmu.”
“Loh? Sekarang kamu mau nangis karena kasihan padaku?”
“Aku hanya sadar bahwa membawamu ke sekolah yang tidak ingin kau datangi adalah sebuah kesalahan.”
“Kalau begitu kita selesai bicara. Jika aku menjadi beban, kamu juga otomatis akan jatuh, Horikita-san. Aku akan senang melihatmu menderita menjalani kehidupan sekolah tanpa aku untuk waktu yang lama.”
“Jangan khawatirkan aku. Tapi, pada saat yang sama kamu juga akan menderita.”
“Aku akan menderita? Apa itu?”
“Karena kamu masih memiliki tempat untuk kembali, dan kamu akan kehilangannya.”
“Kau jadi seenaknya bicara. Sudah kubilang tidak ada tempat untukku kembali.”
Semakin aku berpikir tentang dia, semakin aku memikirkannya, satu perasaan muncul.
“Melihatmu membuatku frustasi.”
“...Ha?”
“Tak ada yang bisa kuperbuat meskipun aku sudah mencoba mendekatimu, karena kamu masih anak-anak. Intinya adalah kamu hanya membuat pilihan yang salah di setiap kesempatan. Ini tak akan terjadi jika kamu tidak mencoba menyingkirkan diriku yang tidak membicarakan rahasiamu dan tidak tahu banyak tentan itu. Begitu juga dengan Ayanokōji-kun.”
“Kan aku sudah bilang. Aku tidak tahan.”
“Begitulah anak-anak. Kamu memberontak karena kamu tidak tahan... bukankah itu sama dengan anak-anak?”
Ibuki-san mendengarkan dalam diam yang pertama bereaksi mendengar kata-kata itu.
Dia berseru dan mulai tertawa.
Kushida-san menunjukkan sikap jengkel karena baginya itu menjengkelkan.
“Kalau hanya itu ditahan saja. Kamu ini sudah SMA, loh? Kamu hanya perlu jalan ke kelas dan kamu bahkan tidak bisa melakukannya. Jangan berbaring di tanah terus-terusan dan menjadi anak manja, berdiri saja dan berjalanlah sendiri.”
“Ha———berani kau mengatakannya, Horikita-san. Tapi, aku adalah gadis malang yang terluka. Jika aku pergi ke sekolah sekarang, aku akan dianggap beban oleh teman-teman sekelasku, dan semuanya tidak akan sama seperti dulu lagi. Kejam sekali kamu mencoba membawaku ke tempat yang sesulit itu. Itu sama sekali tidak mencoba mendekatiku.”
“Aku tidak dalam posisi untuk mengomentari orang lain, tapi kamu terlihat sangat buruk sekarang.”
“......”
“Kelas sudah tahu latar belakangmu. Kau tidak bisa memperbaikinya lagi. Jadi kau membuat masalah. Kamu tampak seperti anak kecil ketika kamu menangis dan berteriak di kelas, tapi kamu nyatanya memang seorang anak kecil. Bukan, kamu itu bayi. Aku merasa seperti sedang berurusan dengan bayi.”
“Jangan mengejekku!”
Dia mengangkat tangannya dan mengayunkannya tanpa ampun ke pipiku.
Dia meraih lengannya dengan tenang dan menangkapnya dengan kuat.
“Tingkahmu-lah yang membutku ingin mengejekmu. Kamu menyusahkanku dan teman-teman sekelas hanya untuk kesenangannya sendiri, menjadikan hal seperti itu sebagai prioritas utama tidak lebih dari seorang bayi.”
“Jadi hanya aku yang harus memiliki pengalaman pahit, menahan itu, lalu bekerja sama denganmu dan anak-anak di kelas gitu?”
“Jangan salah menafsirkannya. Oke? Kau memiliki kekuatan yang solid. Maka, gunakanlah itu untuk [dirimu sendiri] bukan untuk orang lain. Tidak usah pedulikan orang-orang di sekitarmu. Jika kamu bertindak untuk diri sendiri dan naik ke Kelas A untuk diri sendiri, tidak bisa disangkal bawah itu adalah [prestasi]mu. Dan kamu bisa menggunakan hak istimewa Kelas A untuk melakukan apa pun yang kamu inginkan. Jika kamu menginginkan hal yang sama, kali ini pergilah ke suatu tempat di mana tidak ada yang tahu tentang masa lalumu.”
Kata-kata selanjutnya dari Kushida-san, yang memelototiku, berhenti.
“Sisa kehidupan sekolahmu hanya satu setengah tahun. Seharusnya tidak terlalu sulit, ‘kan? Selama satu setengah tahun terakhir kau hanya menunjukkan wajah depan yang baik kepada teman-teman sekelas. Ini lebih mudah dari itu. Atau apakah kamu bahkan tidak bisa melakukan itu dengan kemampuanmu?”
Aku bisa merasakan tangan Kushida-san gemetar karena marah saat aku mencengkeramnya.
Tapi aku sampai pada kesimpulan lain.
“Aku datang ke sini hanya sekali ini saja. Sisanya adalah apa yang kau pikirkan. Jika kau masih berbalik melawanku setelah semua pembicaraan ini———maka aku tidak punya obat lagi untuk diberikan kepadamu. Tetaplah menjadi anak-anak seumur hidupmu.”
“Sementara aku berdiri diam, Horikita-san akan terus bergerak maju... itukah maksudmu?”
Tanpa perlu kujelaskan semuanya, Kushida-san pasti bisa melihat situasi saat ini.
“Kamu dikeluarkan. Aku akan lulus sebagai Kelas A dan mewujudkan impianku. Pasti ada perbedaan besar.”
Kushida-san yang harga dirinya tinggi memejamkan mata membayangkan masa depanku yang dia benci.
Kehidupan sekolah hanyalah sebagian kecil dari kehidupan yang panjang.
(Tln: Hmm.. Horikita menyadari hal ini lebih cepat daripada Chabashira)
“Kau benar-benar... berpikir aku punya kesempatan untuk kembali ke sekolah dari sini?”
“Itu terserah kamu. Putuskanlah, apakah kamu ingin menurunkan tinjumu atau tidak.”
Lengan yang masih berisi kekuatan. Seiring waktu, itu secara bertahap menghilang.
“Setidaknya aku akan mendengarkanmu. Katakan padaku strategi apa yang sedang kau pikirkan, Horikita-san.”
Setelah banyak kesulitan, aku tiba di situasi di mana Kushida-san mau mendengarkanku.
Tapi, aku tidak boleh mencoba memperbaiki hal-hal hanya untuk membuatnya merasa baik di sini.
Aku harus bicara dengannya dan meyakinkannya tentang rencanaku agar dirinya bisa bertahan.
Aku sampai pada jawaban yang ideal dengan merekonstruksi beberapa jawaban sementara yang ada di sini.
“Kau tidak akan lagi berpura-pura ramah dan pergi ke sekolah———”
“Tidaklah. Lagian, itu tidak mungkin, ‘kan? Teman-teman sekelasku sudah melihat sifat asliku, dan tidak ada yang bisa mengubah fakta itu apa pun yang terjadi, ‘kan?”
“Benar. Tapi dengan kata lain, ada kemungkinan kamu bisa berpura-pura ramah lagi pada mereka yang belum melihat sifat aslimu, ‘kan?”
Kushida-san membuat sedikit gerakan berpikir, tapi kemudian bergumam, Aku tidak yakin.
“Sampai saat ini, sangat sedikit orang yang mengetahui diriku yang sebenarnya, termasuk Horikita-san dan Ayanokōji-kun. Jadi belum ada keraguan untuk memperbaiki situasinya, tapi sekarang semakin banyak orang di kelas yang tahu, ‘kan? Bukan hanya ada orang pintar, tapi banyak siswa bodoh dan menyebalkan yang bercampur.”
Kushida-san ada benarnya. Tapi Ibuki-san bereaksi sebelum aku sempat bereaksi.
“Kamu nyindir!”
Ibuki-san bereaksi berlebihan pada bagian di mana dia mengatakan bodoh dan menyebalkan.
“Aku tidak mengacu padamu, jadi apa masalahnya?”
“Ibuki-san, jika kamu tidak bisa diam, kamu bisa pergi, loh?”
“Oh, gitu. Lalu aku akan pergi. Kau akan menepati janjimu, ‘kan?”
Saat dia hendak untuk berdiri, aku mengatakan padanya apa yang harus kukatakan, untuk berjaga-jaga.
“Tidak. Jika kamu pergi sekarang, aku akan menganggapnya sebagai pengabaian dan membatalkan kontraknya.”
“Haaaa? Jangan bercan... ah mou kalau begitu, aku akan diam, jadi cepat selesaikan.”
“Kontrak? Itu kata yang membuatku penasaran.”
“Aku hanya berjanji dengannya untuk bertarung di festival olahraga jika dia membantuku mengantarmu ke sekolah.”
Aku menyelesaikan penjelasan tambahanku tentang mengapa Ibuki-san ada di sini.
“Jadi itu yang terjadi. Aku bertanya-tanya kenapa harus Ibuki-san, tapi sekarang sudah terpecahkan.”
“Setidaknya berkat dia, aku bisa mengunjungi kamarmu, Kushida-san, jadi itu sangat berarti.”
Ibuki-san memiliki wajah dengan banyak hal untuk dikatakan, tapi dia menahannya.
Dia ingin beratung denganku bahkan jika harus bersabar, aku memuji semangatnya itu.
“Kembali ke topik, bolehkah aku mengartikannya bawah itu menyakitkan untuk terus berakting sementara sifat aslimu diketahui?”
“Ya, itu benar. Bahkan jika kau bisa melakukan yang terbaik untuk akting yang berarti, kau tidak bisa melakukannya untuk akting yang tidak berarti, bukan?”
Sampai saat ini, asalkan dia mengeluarkanku atau Ayanokōji-kun, arti dari melanjutkan aktingnya akan ada.
Namun, hampir tidak mungkin untuk mengeluarkan seluruh kelas. Di masa SMP, ketika Kushida-san berada dalam situasi yang sama, dia mengakhiri semuanya dengan menghancurkan kelas.
Jadi dia melakukan hal yang sama kali ini, itulah yang telah dia lakukan sejauh ini.
“Jika kau tidak menginginkannya, kau tidak perlu bergaul dengan teman-teman sekelas seperti dulu.”
“Hee?”
Sepertinya itu adalah balasan yang mengejutkan tidak hanya untuk Kushida-san di depanku, tapi juga untuk Ibuki-san, dan keduanya menunjukkan reaksi yang sama.
“Bahkan jika kau tutup mulut sampai batas tertentu, tidak ada jaminan mutlak. Maka tidak dapat dihindari bahwa kelas lain akan mulai berasumsi bahwa Kushida-san memiliki dua sisi, dan bahwa kamu adalah seorang siswa yang bermasalah.”
Tapi, itu berarti senjata Kushida-san akan kehilangan separuh keefektifannya.
Dia bisa belajar dan berolahraga, tapi dia bukan yang terbaik di keduanya. Dia hanya murid teladan.
Bahkan jika dia lebih unggul dari Sakura-san dalam hal kemampuan asalnya, dia tidak memiliki daya tarik di area lain.
“Diriku yang tidak dipercaya oleh siapa pun. Aku tidak berpikir orang akan terima denganku yang seperti itu. Benar, ‘kan?”
“Tentu tidak akan sama seperti sebelumnya. Tetapi, bisakah kita benar-benar mengatakan bahwa kamu telah kehilangan semua kredibilitas? Bagaimana menurutmu? Ibuki-san.”
“......”
“Ibuki-san, jawab aku.”
“Kau menyuruhku diam, bukan?”
“Aku mengizinkanmu untuk bicara.”
“Hadeh... menyuruhku diam lalu menyuruhku bicara, aku bukan bawahanmu atau sejenisnya, loh?”
“Kau tidak ingin bertarung? Jika benar, katakan saja langsung...”
“Aa mou!”
Menggaruk kepalanya, Ibuki-san menjawab.
“Kau hanya berakting seperti gadis yang baik terlalu lama, bukan? Aku tidak percaya pada orang yang benar-benar baik, aku malah berpikir dirimu yang dulu itu mencurigakan. Jika aku harus memilih siapa yang harus ku percayai, dirimu yang dulu atau dirimu yang sekarang, aku akan mengatakan bahwa dirimu yang sekarang mungkin lebih jujur.”
Dia mengungkapkan pikirannya dengan cepat. Aku pikir itu pasti terdengar terus terang bagi Kushida-san, karena tidak ada trik atau akal muslihat yang buruk.
“Ahahaha, itu jawaban yang menarik. Atau lebih tepatnya pemikiran yang tidak biasa. Tapi tidak semua orang berbeda seperti Ibuki-san. Sebaliknya, orang normal akan membenciku, bukan?”
“Memang benar dia tidak normal.”
“Oi!”
“Tapi setiap orang juga memiliki 2 sisi, entah lebih besar atau kecil. Kamu diakui oleh Ibuki-san karena niat sejatimu, yaitu bertindak untuk diri sendiri lebih dari apa pun. Karena niat sejatimu tidak akan pernah berubah.”
Ide untuk membuat orang mengubah niat sejatinya ini dari awal sudah salah.
“Dan selama kamu tidak mengubah cara bicara dan nada suaramu dengan orang lain seperti selama ini, sulit bagi siapa pun yang belum melihat sifat aslimu untuk membayangkan siapa dirimu yang sebenarnya. Tidak peduli berapa kali dijelaskan dengan kata-kata, orang tidak bisa mengerti kecuali mereka melihatnya secara langsung.”
“Apa maksudmu?”
“Misalnya, ya. Ichinose Honami-san. Dia seseorang yang bisa dikatakan sebagai orang baik, bahkan lebih dari Kushida-san, ‘kan? Tapi kenyataannya, dia benar-benar orang yang kejam, bermulut kotor yang menyukai kegagalan orang lain lebih dari apa pun, apakah kamu akan langsung mempercayainya jika aku mengatakan itu kepadamu?”
“...Mungkin sulit. Dia tampak seperti orang yang benar-benar baik.”
“Aku agak ragu sih.”
“Ini bukan soal Ichinose-san, tapi keberadaan orang baik itu sendiri, bukan?”
“Yah.... Tentu aku mungkin harus melihatnya secara langsung untuk mengetahuinya dengan pasti. Aku tidak memahami soal Kushida hanya dengan mendengarnya dari Horikita juga.”
“Iya, ‘kan? Setidaknya selama satu setengah tahun terakhir, Ichinose-san telah menjadi orang yang baik. Kita tidak akan percaya bahkan jika seseorang membuat pengungkapan rahasia seperti itu. Namun demikian, jika semua teman sekelasnya mengatakan bahwa Ichinose-san adalah orang seperti itu, kita tentu akan curiga. Tapi, kupikir image-nya masih belum sepenuhnya jelas, ‘kan?”
Ichinose-san adalah orang yang kejam dan berkata kasar. Siapa pun yang mengatakan demikian, kami tidak bisa sepenuhnya mempercayainya.
Bahkan jika kami waspada, kami tidak dapat mempercayainya kecuali kami melihat sisi itu.
“Mungkin memang benar bahwa kamu tidak akan tahu sampai kamu mengalaminya. Bahkan dalam seni bela diri, terkadang ketika suatu teknik dijelaskan secara lisan dan aku diperingatkan bahwa itu berbahaya, itu tidak terdengar benar sama sekali. Tapi itu benar-benar mengenaimu, kau bisa mengerti betapa hebatnya itu.”
“Membandingkannya dengan seni bela diri seperti darimu sekali ya, Ibuki-san.”
“Tapi selama masih ada keraguan, mereka tidak akan mempercayaiku sepenuhnya.”
“Di situlah kamu menunjukkan kemampuanmu. Kau harus membuatnya berhasil dengan caramu yang baru. Setidaknya kesan jarak dan keterampilan komunikasimu lebih baik daripada yang lain.”
Apakah dia bisa mendapatkan kepercayaan mereka setelah itu tidak diketahui pada tahap ini.
“Katakanlah itu oke untuk kelas lain, tapi bagaimana dengan teman sekelas? Aku yakin Shinohara-san, Wang-san, dan terutama Hasebe-san membenciku. Aku ingin tahu apakah dengan ini kita bisa bersatu?”
“Mungkin mustahil untuk semua orang. Tapi, itu bisa membuahkan hasil hanya dengan menjawab dengan kemampuanmu.”
Hanya dengan terus mencapai hasil yang lebih tinggi dari rata-rata, siswa yang hanya bisa mendapatkan nilai di bawah Kushida-san tidak akan bisa dengan mudah mengeluh.
“Jika pihak yang tidak dapat percaya muncul, aku akan membantumu.”
“...Apa kau pikir aku akan dengan naif mempercayai kata-kata manis seperti itu? Bukankah kau akan mengkhianatiku?”
“Kau boleh meragukanku. Aku akan mendengarkan keluhan kesalmu saat aku mengkhianatimu.”
Toh tidak ada yang perlu ditakuti bagi Kushida-san yang pernah tamat sekali pada titik ini.
Apakah akan berdiri lagi di sini atau tidak, itu semua tergantung pada keputusannya. Setelah keheningan terpanjang hari ini, Kushida-san memejamkan mata. Kemudian dia mulai menggumamkan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya. Akhirnya, dia membuka mata, seolah-olah dia telah sampai pada suatu kesimpulan.
“Oke. Aku akan berjuang selama satu setengah tahun hanya untuk diriku dan berkontribusi di kelas. Aku tidak akan bertarung untuk Horikita-san atau teman-teman sekelasku. Itu sudah cukup, ‘kan?”
“Aku tidak punya keluhan sama sekali. Yang harus kamu lakukan hanyalah menjawab hasil.”
Kushida-san berdiri, kali ini dia mengulurkan tangan kirinya, bukan tinjunya.
“Ini kebalikan dari yang waktu itu, ya.”
Kushida-san tidak menanggapi tangan yang kuulurkan.
“Sepertinya berjabat tangan dengan tangan kiri berarti permusuhan, loh.”
“...Betulkah? Tangan mana yang kuulurkan padamu waktu itu, ya.”
“Tangan kiri.”
Sepertinya dia ingat dengan jelas, dan Kushida-san langsung menjawab.
Jadi, wajar jika dia meminta jabat tangan dengan tangan kirinya.
Aku pun berdiri dan mengulurkan tangan kiriku sebagai balasan, dan kami berjabat tangan.
“Ini seperti peringatan bermusuhan, ya.”
“Tidakkah menurutmu itu lebih seperti kita?”
“Mungkin kau benar.”
Tangan yang diremas dengan kuat sebagai balasan juga kuremas.
“Oh ya. Ada satu hal yang ingin kulakukan untukmu, Horikita-san... boleh tidak?”
“Permintaan? Apa itu, ya.”
“Itu———”
Dia tersenyum dan perlahan mengulurkan tangannya ke arahku.
Tangan itu melampaui ketinggian tubuhku dan mendekat ke wajahku.
Dan ketika kupikir dia dengan lembut menyentuh kedua pipiku... aku merasakan sengatan listrik di kedua sisiku secara bersamaan.
Tak lama setelah itu aku menyadari bahwa rasa sakit itu karena pipiku dicubit sekuat yang dia bisa.
“Apa yam kmu lukukan...!?”
“Aku sangat membencimu, Horikita-san.”
Mengatakan itu, dia mencubit pipiku lebih kuat.
“Aku sudah frustrasi sejak kita bertemu hari ini, dan aku masih frustrasi sekarang karena kita berada dalam hubungan kerja sama. Pasti stres banget untuk berpikir bahwa ini akan terus berlanjut dari hari Senin. Jadi aku perlu melampiaskannya sedikit seperti ini.”
Kekuatan yang disalurkan bahkan lebih kuat dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
“Bi-Bisha kau huntikan?”
“Belum, belum. Segini saja belum cukup.”
Aku mau saja menerimanya kalau hanya sebentar, tapi Kushida-san yang sedang terbawa suasana, tidak berhenti menarik-narik pipiku.
Jika dia tidak berniat melepaskannya sama sekali, aku juga punya ide.
Dengan cara yang sama, aku merentangkan kedua tanganku dan mencubit pipi Kushida-san.
“uh?!”
“Mauka kau mehlephaskanku shekarag?”
Dia akan berhenti ketika dia tahu rasa sakitnya, itu maksudku, tapi....
“Afafafa, bishaka kau menyimphan leluconmu untu waja jelekmu itu?”
Tanpa mengalah, kukerahkan seluruh kekuatanku ke ujung jariku dan mencubit balik dengan semangat untuk mencabik-cabik.
Meski begitu, Kushida-san tidak mundur selangkah pun, tapi mencubitku dengan kekuatan yang tampaknya melebihi batasnya.
Karena sudah begini, ini adalah pertempuran kemauan dan keras kepala.
“...Terus lakukan itu sampai kalian berdua tercabik-cabik. Kalian kek orang bego, jadi aku pergi.”
Ibuki-san yang merupakan satu-satunya orang yang tenang, berkata begitu dan keluar dari pintu depan lebih dulu.
Pertempuran kemauan berlanjut selama 2 atau 3 menit, ketika rasa sakit mulai melumpuhkanku.
Menyadari bahwa kami memperlihatkan kebodohan satu sama lain, kami berdua sama-sama melepaskan tangan kami.
Melihat wajah Kushida-san menjadi merah padam, aku menyadari bahwa aku pasti terlihat sama.
“...Datanglah ke sekolah hari Senin.”
“Ngotot banget sih. Bisa tidak kamu pergi saja?”
Di dorong untuk pergi yang seperti setengah diusir, aku berjalan keluar dari kamarnya dan menuju koridor.
“Dasar...”
Mengelus pipiku yang sakit, aku melihat ke arah lift dan melihat Ibuki-san akan masuk ke dalam.
“Mungkinkah dia menungguku?”
Kataku sambil mulai berjalan, kemudian Ibuki-san menekan tombol lift sambil menjulurkan lidahnya.
“...Mungkin dia punya bakat untuk membuat orang lain kesal... ya.”
Tapi memang benar aku bisa bertemu Kushida-san berkat dia.
Kita harus membuatnya hitam putih seperti yang dia inginkan dalam festival olahraga.
Cringe af
ReplyDeleteAhahah, couldn't agree more wkwkwk
DeleteMengapa Orang banyak menghujat horikita karena Jalan pemikirannya ? Dari chapter ini aku bisa tau kalo horikita lebih memgandalkan intuisinya, ya horikita sendiri tidak mengerti mengapa ia mempertahankan kushida ? Ya begitulah intuisi sesuatu yg datang Tanpa penalaran rasional
ReplyDeleteBadut kok di dukung
Delete