Bab 5
Festival Olahraga Kedua
6
Festival olahraga sekarang sudah memasuki tahap akhir. Gimnasium dipenuhi dengan kegembiraan yang aneh karena final kompetisi tim telah dimulai di sana-sini.
“Sebentar lagi kita akan bertanding, Sudō-kun. Kau sudah siap?”
Sudō dan Onodera, yang telah berpartisipasi dalam banyak kompetisi pasangan sebagai duo di festival olahraga ini, telah melaju ke final tenis ganda campuran sebagai perlombaan ke-10 mereka.
“...Ya.”
Onodera melanjutkan, merasa agak tidak nyaman dengan jawaban yang agak lesu itu.
“Tapi tetap saja, tidakkah menurutmu kita menjadi duo yang hebat? Sejauh ini, kita sudah menang 4 kali dari 4 pertandingan dalam kompetisi berpasangan. Aku yakin semua orang di kelas akan terkejut.”
Dalam 2 pertandingan hingga saat ini, ada 1 pertandingan melawan pasangan dari tahun ajaran yang sama dan 1 pertandingan melawan siswa tahun ketiga, tapi pasangan Sudō-Onodera menang tanpa kesulitan, dan mereka sekarang sudah memenangkan 5 pertandingan tim berturut-turut.
Selain itu, Sudō sudah menang 9 kali berturut-turut, jika ditambah kompetisi individu. Dia juga sedang mengusahakan 10 kemenangan beruntunnya.
Di sisi lain, Onodera juga tetap mempertahankan posisinya di klasemen, meski tidak semua 9 kompetisi dia menjadi juara pertama.
Meski dia mengiyakan kata-kata Onodera, tatapan Sudō tertuju pada hal lain.
“Kamu penasaran dengan siswa tahun pertama itu? Kamu sudah lama memperhatikannya, ‘kan?”
“Eh?”
“Hōsen... ‘kan? Dia terlalu besar untuk ukuran siswa tahun pertama, dan dia memiliki aura yang hebat. Tapi gimana bilangnya ya, rasanya tidak hanya itu yang kamu perhatikan. Apa ada sesuatu?”
“Tidak ada apa-apa kok. Jangan khawatir.”
Pasangan Hōsen yang bermain di depan mereka menang telak, dan lawan mereka untuk final telah diputuskan. Onodera memandangi profil Sudō yang menatap Hōsen disaat mereka sedang berbicara.
Sampai sekarang, dia sudah menghadapi kompetisi tanpa memikirkan apa pun, tapi jelas pikirannya sedang gundah.
Tidak hanya hari ini, mereka sering bersama hampir sepanjang waktu selama persiapan festival olahraga ini. Dari latihan hingga makan siang dan perjalanan pagi ke sekolah, mereka memiliki banyak pertemuan dan latihan.
Oleh karena itu, dia juga sudah belajar mengenali perubahan ekspresi wajah Sudō.
Meskipun dia sangat atletis, dia memiliki beberapa kekurangan.
Dia memiliki kepribadian yang gampang ditebak dan mudah terbawa suasana. Dan kepribadian yang emosional.
Hal ini terkadang menyebabkan hambatan ketika mereka bekerja sama.
“Pertandingan final akan dimulai sekarang. Silakan bersiap-siap.”
Saat mereka sedang duduk untuk mengistirahatkan tubuh mereka, salah satu anggota staf mendekati mereka.
“Kalau begitu, ayo kita teruskan momentum dengan kemenangan cepat.”
Berpura-pura tenang, Onodera juga mengosongkan pikirannya saat Sudō mengatakan itu padanya.
Bahkan jika ada sesuatu yang terjadi dengan Hōsen, asalkan itu tidak merepotkan.
“Okee.”
Sudō dan Onodera, yang seakan mengingatkan dirinya sendiri, mengambil raket mereka.
Satu per satu, teman sekelas mereka mulai muncul di gimnasium untuk menyemangati Sudō dan Onodera.
Mungkin karena orang dewasa juga tertarik dengan pertandingan final, orang-orang yang hendak pergi tidak jadi.
“Suasananya seperti diturnamen, ya?”
“Ya. Ini ketegangan yang menyenangkan dan membangkitkan semangat.”
Tak perlu khawatir akan keduanya menyusut, yang kuat di pentas besar, termasuk kompetisi antarklub.
Pada saat itu, raungan tawa meletus dari sisi lain lapangan.
Tetapi....
“Aku tidak pernah menyangka akan bermain di final melawanmu. Sudō-paisen!”
“Hōsen.”
Atmosfir berubah ketika Hōsen bicara dengan Sudō di seberang net.
“Kau tidak berpikir kau bisa mengalahkanku dalam tenis, ‘kan? Aku akan menghancurkanmu, jadi nantikan itu.”
Ganda dengan waktu pertandingan terbatas dimulai. 4 poin dalam 1 set, pertandingan 3 set dengan 2 set lebih dulu pemenang. Hak untuk servis memakai aturan khusus untuk pertandingan berdurasi pendek di mana hak untuk servis diganti ke pihak yang menerima poin, bukan 1 set diganti. Tidak perlu mengubah penyervis di dalam tim, dan siapa pun dapat mengulang servis.
Pertandingan dimulai dengan serangan gencar dari Hōsen. Servis kuat dari Hōsen yang besar didorong dan dengan mudah mengenai lapangan. Di sisi lain, servis Sudō sangat lemah, dan itu dikembalikan satu demi satu ke lapangan dalam, lalu dalam waktu kurang dari 1 menit, mereka tertinggal 3 (40) ke 0 (Love).
“Tidak mungkin... cepat sekali.... Dia pasti sangat berpengalaman, bukan?”
Bisa dimaklumi jika Onodera panik, bola dari Hōsen menghantam lapangan dengan kecepatan yang membuatnya merasa takut.
“Ada apa, Sudō? Kalau hanya segitu sih, kau bukan tandinganku.”
“Berengsek!”
Ketika kepalan tangan yang menggenggam raket diremas dengan kuat, dia mengangkatnya dan mencoba membantingnya ke tanah.
“Sudō-kun, jangan.”
“!”
“Sadar tidak sih kalau kamu itu selalu gagal waktu kamu marah?”
“Ta-Tapi kan!”
Sudō tiba-tiba stres karena tidak ada lagi target pelampiasan kekesalannya. Hōsen, yang menyaksikan adegan itu dari seberang net, mencibir.
“Aku tidak bisa omong besar karena aku tidak bisa mengembalikannya, tapi kau jelas tidak bergerak sebaik yang kamu lakukan di pertandingan terakhir, tahu?”
Dia berkomentar bahwa gerakannya melambat karena dia terlalu sibuk dengan Hōsen di depannya.
“Sekarang aku tidak bisa menyerahkan servisnya padamu, Sudō-kun.”
Dengan bola di tangan, Onodera menginstruksikan Sudō untuk bertahan dan melepaskan servisnya.
Dia memukul bola tajam, yang sulit dipercaya untuk seorang gadis tanpa pengalaman tenis, tapi saat Hōsen dengan cepat menutup jarak, dia menunjukkan teknik yang indah, memegang raket seperti jari-jarinya sendiri.
Sudō mengulurkan tangannya, tapi dia hanya bisa mengenai bola di tepi raket, dan tim tahun pertama mengambil set pertama tanpa membiarkan 1 poin pun dicetak.
“Sudah kuduga kau tidak ada apa-apanya, Sudō. Kau mirip seperti pecundang.”
Dibandingkan dengan Hōsen, yang benar-benar menikmati permainan, gadis pasangannya tidak bisa menyembunyikan ekspresi ketakutannya. Hōsen menangani hampir semua pertandingan sendirian, dan itu praktis pertarungan dua lawan satu.
Di set kedua yang harus dimenangkan, serangan sepihak Hōsen diperkirakan akan berlanjut, tapi ternyata berubah secara mengejutkan.
Bola yang dipukul Hōsen tidak sekencang seperti sebelumnya, Onodera beradaptasi dan menyerang balik ke depan.
Tepat ketika dia mengira Hōsen mungkin mulai lelah. Lengan Hōsen terayun lebar.
Smash itu secepat dan sekuat peluru. Bola meluncur lurus ke arah Onodera, yang menjaga bagian depan, seolah membidiknya. Luka gores di pipinya membuat Onodera terlihat kesakitan.
Terkejut dan ketakutan, Onodera tanpa sengaja menjatuhkan raketnya ke lantai.
“Bajingan, kau melakukannya dengan sengaja, ‘kan!”
“Ha? Membidik di dekat tubuh lawan dalam tenis itu hal yang wajar, ‘kan? Jika kau menjatuhkan bola terlalu jauh, bola itu akan dikembalikan kepadamu. Itu saja kau tidak tahu? Kau banyak bacot hanya karena 1 bola.”
“Anjing!”
Hōsen dengan bangga menegaskan kewajarannya. Onodera buru-buru mengambil raketnya.
“Jangan khawatir. Ini hanya tergores sedikit... selain itu, seperti yang dia katakan, bukankah tenis seharusnya tentang membidik didekat lawan dan mengembalikan bola?”
“Itu kata-kata yang ditunjukan buat pemain tenis asli. Ini festival olahraga, ingat?”
Sudō mengeluh dengan frustrasi.
Sudō kembali melakukan servis, tapi yang pertama keluar lapangan.
Yang kedua, dia ambil aman dan mengincar bagian dalam, yang dengan mudah dikembalikan oleh Hōsen.
Kecepatannya tidak terlalu kencang, dan Onodera, yang berhasil mengejar, mengembalikan pukulan itu. Setelah 2 atau 3 reli, Onodera kembali maju ke depan dan menyerang balik.
Hōsen menutup jarak dan mengayunkan tangannya ke bawah untuk memantulkan bola kembali.
“Kya!?”
Onodera tidak bisa mengayunkan raketnya dan menegang pada fastball keras yang telah membuatnya takut sebelumnya. Bola meluncur menyambar di sisinya. Sudō membalas dan memukulnya kembali ke lapangan lawan, tapi dari sana tembakan tanpa henti Hōsen hanya mengarah ke sekitar Onodera. Hōsen tampaknya bermain-main dalam kompetitif ini.
Kemudian, set ini berjalan dengan tim Sudō 3 (40) poin dan tim Hōsen 2 (30) poin.
Onodera sudah berusaha keras, tapi dia terguncang karena bola mendekati wajahnya sekali lagi, kaki kirinya terpelintir dan jatuh di tempat.
“Onodera!”
Sudō membalas kembali untuk menutupi Onodera yang tidak bisa bangun dan mengembalikan bolanya ke Hōsen.
Tembakan Sudō jatuh di batas lapangan, dan tim Sudō merebut set kedua.
Tapi itu tak membuatnya senang, dan Sudō menjadi lebih marah.
“Bisa kau hentikan! Apa kau bahkan tidak bisa bermain adil!”
“Berapa kali aku harus memberitahumu? Itu salah gadis payahmu, ‘kan? Dasar omong kosong.”
“Jangan, Sudō-kun. Kamu mengulanginya lagi.”
Onodera tidak bisa bangun dan menenangkan Sudō saat dia masih tersungkur di tempat.
“Aku tahu itu, tapi kan! Ini tidak bisa di terima!”
“Memang, wasit pun curiga. Tapi sentimen Sudō-kun juga mengganggu, kau tahu, ‘kan?”
Jelas bahwa Hōsen sudah selesai dengan tenis dan mengubah kebijakannya untuk menyiksa Sudō daripada menang.
Tujuannya pasti untuk menanamkan rasa takut pada Onodera dan bahkan menyebabkan cedera dengan satu kesalahan.
“Pokoknya, tetaplah tenang, Sudō-kun.”
Onodera menegurnya dengan lembut namun tegas, meskipun dia kesakitan.
Sudō yang emosi masih tidak tahan dan menatap tajam ke arah Hōsen, tapi melihat Onodera mengerutkan kening kesakitan, ia ingat apa yang seharusnya menjadi prioritasnya.
Onodera segera dirawat karena cedera pergelangan kakinya yang terkilir.
“Sayang sekali. Aku kalah 1 set. Tapi bagi kalian, itu berarti akan ada 1 set lagi. Mungkin itu akan menjadi neraka buat kalian.”
Hōsen menguap dan memandang mereka sebentar, lalu menoleh ke rekannya, siswa tahun pertama.
“Bajingan itu... dia sengaja kalah hanya untuk bisa menyiksa kita sampai menit terakhir...”
Sudō melihat kaki kiri Onodera dan berkata dengan prihatin.
“Apa kau baik-baik saja?”
“Yah, lumayan. Tapi aku sangat menyedihkan. Aku menghindari bola karena takut, dan akibatnya, aku jatuh dan kakiku terkilir.”
Dia menertawakan dirinya sendiri dan dengan ringan mengetuk kakinya yang diplester.
“Itu bisa dimengerti. Dia membuatku kesal setengah mati, tapi dia sangat atletis.”
Sudō juga takut dengan lob berkekuatan tinggi yang dia lakukan dengan tubuhnya yang luar biasa. Kecuali jika kau pemain tenis berpengalaman atau anggota klub, kau tidak bisa segera menghapus rasa takut itu.
“Sebenarnya aku... memiliki penilaian yang cukup tinggi tentangmu sejak awal masuk sekolah loh, Sudō-kun.”
“Ha? Ada apa tiba-tiba? Terima saja perawatannya dengan tenang?”
“Tidak apa-apa sih. Berkah terluka. Itu berarti kamu sudah diberi sedikit waktu untuk menenangkan diri.”
“Kau sungguh tegar, ya.... Jadi, kamu menilai tinggi diriku yang dulu toh.”
“Ya. Tapi kamu juga orang nomor satu yang tidak ingin aku dekati. Sifatmu kasar sih.”
“Ugh...”
“Orang-orang di sekitar menyalahkanmu karena perilaku burukmu dan ketidakmampuanmu untuk belajar, tapi aku mendukung orang-orang yang bekerja keras dalam kegiatan klub. Sudō-kun, kamu sangat berbakat dan kamu juga sudah berusaha keras, bukan?”
“Kau tidak mengerti.”
“Aku ngerti kok. Kadang-kadang ketika aku pulang telat dari kegiatan klub, aku melewati gimnasium. Setiap kali aku mengintip untuk melihat apakah masih ada yang berlatih, Sudō-kun selalu tinggal sampai akhir sendirian dan terus berlatih. Kamu juga membereskannya dengan benar, dan serius melakukannya.”
“Ko-Kok kamu lihat aku lakuin itu sih. ...Bikin malu.”
“Tapi———aku tahu, Sudō-kun tidak akan pernah benar-benar dihargai jika terus seperti ini.”
“...Ha?”
“Kau marah untukku. Aku tidak membenci fakta itu, tapi itu tetap tidak mengubah fakta bahwa kamu memiliki kepribadian yang terlalu mudah marah. Jika kamu terus seperti ini, suatu saat kamu akan berada dalam masalah yang lebih besar dari selama ini.”
“...Itu...”
“Lebih baik kamu segera menghilangkan kebiasaan marahmu.”
“A-Aku tahu itu, tapi...”
“Bahkan dalam olahraga, bukankah kita membuat lebih banyak kesalahan di saat kita frustrasi?”
“Yah... kau benar. Tingkat keberhasilan lemparan misalnya, mungkin turun drastis...”
“Aku pun sama. Ketika aku frustrasi, aku mencoba memperbaiki waktuku dalam keputusasaan, tapi aku malah lebih lambat dari biasanya, dan tidak banyak hal baik yang bisa didapat.”
“Jadi kamu pun sama ya, Onodera.”
“Ketika aku kalah dalam pertandingan penting, aku sangat frustrasi dan kecewa hingga aku lupa berganti pakaian dan mengamuk di loker... aku melukai tanganku. Dan seingatku setelah itu yang ada aku kesusahan.”
Dia menjulurkan lidahnya sedikit seolah-olah dia bernostalgia dan malu dengan dirinya yang dulu.
“A~ah, saat itu aku menyadari bahwa tidak ada gunanya marah, dan itu hanya akan kembali kepadaku.”
“Bagaimana kau mengatasi agar kau tidak marah?”
“Yah itu, karena Senpaiku mengajariku sihir.”
“Si-Sihir?”
“Ya. Aku akan mengajarkanmu juga, Sudō-kun. Sihir untuk menekan amarah.”
“Ba-Bagaimana caranya?”
“Puncak kemarahan sebenarnya sangat singkat, paling lama beberapa detik. Jadi ketika aku merasa ingin berteriak, aku berteriak sekali dalam hati, lalu ambil napas dalam-dalam dan menghitung sampai sepuluh.”
“Dengan kata lain... maksudmu, menunggu sekitar 10 detik setelah marah? Itu saja?”
“Yup. Aku pikir itu saja akan membuat perbedaan, tahu, jadi cobalah.”
“...Jadi begitu.”
Meski setengah yakin, Sudō mengingat apa yang ia katakan barusan seolah-olah telah terukir di benaknya.
“Aku ingin satu tim denganmu karena aku mengakui kemampuanmu, Sudō-kun. Jangan mengecewakanku.”
“Onodera...”
Dengan luka yang dirawat, Onodera memeriksa kondisinya dan berdiri.
“Aku baik-baik saja. Menangis atau tertawa, 1 set ini akan menjadi penentunya. Jika kita jatuh, kita kalah. Tapi jika kita bangkit, kita akan menang.”
“———Ya.”
Set ketiga dimulai. Hōsen tanpa henti terus mengincar Onodera, yang gerakannya telah melambat karena cedera pada kaki kirinya. Bahkan jika itu terlalu jauh atau membuatnya kehilangan poin sendiri, dia tidak berhenti bergerak sama sekali.
Tim Sudō memimpin 3 (40) berbanding 1 (15).
Pertandingan akan berakhir jika bolanya jatuh, tapi Hōsen kembali melemparkan fastball keras ke Onodera.
Kali ini dia tidak bisa menghindarinya dan bolanya langsung mengenai lengan kanan atasnya. Onodera berjongkok kesakitan di tempat.
“Ini bukan lagi pertandingan... bajinga———!”
Dia mengingat kata-kata sihir yang Onodera ajarkan padanya sebelumnya, bahkan saat darahnya mendidih karena marah. Sambil memelototi Hōsen, yang berulang kali terus memprovokasinya, dia meneriakan kemarahannya dalam pikirannya sendiri.
10 detik untuk marah. Tahan saja selama 10 detik.
Dia menghitung angka 1, 2, 3, mengambil napas dalam-dalam dan menenangkan emosinya.
8... 9... 10.... Cacian yang harusnya ditujukan pada Hōsen ditarik ke belakang tenggorokannya.
Tentu saja rasa frustrasinya belum hilang semua, tapi dia berhasil melihat situasinya dengan tenang dan objektif. Tatapan curiga para wasit. Tatapan Onodera. Pertandingan yang harus dimenangkan. Waktu yang tersisa. Jika dia menerjang Hōsen lagi di sini, dia secara alami akan dihentikan.
“Onodera, apa kau percaya pada kekuatanku?”
“...Tentu saja. Aku bermain denganmu karena aku percaya padamu.”
Setelah mengatur napas, Sudō melemparkan bola ke udara dan melakukan servis terbaiknya hari ini. Hōsen yang tidak boleh gagal juga, mengembalikan bola seolah menerima tantangannya, dan dari sanalah, reli antara Sudō dan Hōsen dimulai. Kedua pemain tidak mundur dan terus membalas pukulan kuat, tetapi Sudō, yang tidak melewatkan pengembalian mudah dari Hōsen setelah kehilangan kesabarannya, melakukan smash ke lapangan lawan.
“Woooooooooh!!”
Mencengkeram raketnya, Sudō mengeluarkan teriakan yang bergema di seluruh gimnasium.
“Berhasil, kita berhasil!”
Walaupun sangat unggul, Hōsen yang meremehkan lawannya sampai akhir pertandingan, sangat frustrasi karena kalah dalam set ini hingga dia membanting raketnya ke tanah dan mematahkannya menjadi dua.
“Kita menang, Onodera! Berkat dirimu!”
Sudō berlari menuju Onodera dengan girang dan memeluknya dengan penuh semangat untuk berbagi kegembiraannya.
“AAA, AAp!?”
Onodera panik karena untuk sesaat tidak mengerti apa yang sudah terjadi.
“Tunggu, sakit, sakit loh, Sudō-kun!”
Sudō mendapatkan kembali ketenangannya saat lengannya yang tebal semakin kencang dan Onodera mengeluarkan suara kesakitan.
“Ma-Maaf maaf!”
Mungkin ia senang telah mengendalikan amarahnya hingga manang, Sudō tersenyum dengan senyum terbaiknya hari ini.
“Selamat atas kemenangan penuhmu, Sudō-kun.”
“Ya. Terima kasih ya, Onodera, Jika bukan karena bantuanmu, kita pasti akan kalah dalam pertandingan ini.”
“Itu tidak benar. Yang ada, aku malah menghambatmu...”
“Bukan berarti berkah kau terluka, tapi ketika kamu terluka dan aku kehilangan kesabaran, kupikir aku akan kalah satu kali. Dan kaulah yang menyadarkanku.”
“Begitu, ya. Maka kita... mitra yang baik, kurasa.”
“Ya. Mudah sekalii bekerja sama denganmu, dan aku bisa mengandalkanmu. Terbaik emang, Onodera. Ah, kuharap Suzune melihat keberhasilan kita saat ini di suatu tempat.”
Ada lebih banyak tamu dan siswa, jadi dia tidak bisa segera menemukan Horikita.
“Suzune... ya?”
“Ha? Dimana? Dimana dia!?”
“Aah tidak, um, maaf, aku salah orang.”
(Tln: Bebal bucin)
“Sial. Begitu ya, mungkin dia ada di lapangan...”
“Sepulang dari kegiatan klub lain kali, ayo kita pergi makan bareng?”
“Eh? Ya, aku sih oke-oke saja. Yang lebih penting, bantu aku nyari Suzune. Dimana sih Suzune~?”
“Ahahaha. Ogah banget.”
“Oi, Sudō. Jangan senang dulu kau hanya karena menang dari permainan seperti ini, oke? Kau tahu kalau aku bermain serius, kau akan kalah, bukan?”
Meskipun pertandingan telah usai, Hōsen mendekat tampak tidak puas.
“Aku mau main di belakang setelah ini, pinjamin aku wajahmu.”
“Hei, kamu———”
Sudō dengan tenang menahan Onodera, yang hendak menghadapi permusuhan Hōsen.
“Aku ada masalah dengan orang ini beberapa waktu lalu. Yah, apa boleh buat jika dia memusuhiku.”
“Ta-Tapi!”
Memahami keinginan Onodera untuk melindunginya dari masalah, Sudō tertawa.
Kemudian dia menoleh ke arah Hōsen.
“Maaf, tapi aku tidak akan termakan provokasimu.”
“Ha? Mau termakan kek atau tidak. Mulai sekarang, kau adalah karung tinjuku.”
“Sudah kubilang aku tidak tertarik.”
Mendengar penolakan Sudō, Hōsen menekan bahu Sudō dan menghantamkan tinju kanannya yang terkepal ke perutnya. Sudō jatuh berlutut karena pukulan keras yang tidak dia ayunkan.
“Sudō-kun!”
Tetapi, Sudō menahan Onodera dengan tangannya dan perlahan berdiri.
Guru berlari menghampirinya, tapi Sudō menjawab bahwa tidak ada yang dilakukan padanya dan membuatnya mundur.
“Aw. Ah... aku sudah tahu kalau kau petarung yang kuat. Aku tidak bisa mengeluh karena aku juga salah waktu itu. Tapi, kalau kau berbuat lebih dari ini, aku akan minta Sensei ikut campur.”
“Dasar menyedihkan, ha? Kau yang menghadapiku dulu masih lebih baik dari ini, kau tahu?”
“Mungkin. Onodera, ayo pergi.”
“Y-Ya.”
“Pria yang membosankan. Jangan pernah terlibat denganku lagi.”
Kata-kata jangan terlibat malah membuat Sudō merasa agak lega.
Selama dia tidak mulai lebih dulu, masalahnya tidak akan menyebar lebih jauh.
Dia telah belajar bahwa hanya dengan tidak menyerah pada amarah akan membuat segalanya menjadi jauh lebih baik.
“Kurasa aku juga harus berterima kasih pada Hōsen. Melihat dia bertingkah seperti itu, aku menyadari betapa bodohnya aku sebenarnya. Sulit diungkapkan dengan kata-kata... tapi ketika aku mencoba metode yang kau ajarkan padaku, seperti ada sesuatu yang jatuh. Kenapa coba selama ini aku semarah itu? Kurasa ini seperti kutukan telah dicabut dariku.”
Sudō bersyukur atas 10 kemenangan berturut-turut yang diraihnya, tapi dia juga memiliki rasa syukur yang sama besarnya pada festival olahraga ini dan Onodera.
Ohh.. so sweet banget Onodera ~
ReplyDeleteSemoga Sudou cepat sadar, daripada ngejar Horikita yg gk jelas sexual identity nya, udah ada cewek yg jauh lebih baik buat dia.
I think Onodera has a crush on Sudo.
ReplyDelete