Bab 1
Menyambut Festival Budaya
6
Jumat akhir pekan.
Aku datang ke tempat yang tidak biasa aku kunjungi untuk bertemu dengan seorang siswa.
Setelah mengetuk pintu, Nagumo tampak terkejut sejenak ketika aku membuka pintu ruang OSIS.
Selain Nagumo, tidak ada siswa atau guru lain yang terlihat, dan tampaknya dia sendirian hari ini, seperti yang diberitahukan oleh Asahina.
Dia juga mungkin tidak menduga kedatanganku.
Tangan kirinya memegang ponsel, tampak seperti dia baru saja melihatnya beberapa saat yang lalu.
Seharusnya aku adalah pengunjung yang tidak diundang, tapi dia tidak mengusirku, melainkan meminta ku untuk masuk.
“Permisi.”
Ketika pintu yang menuju ke dalam ruangan ditutup, hanya ada kami berdua dalam keheningan.
“Aku menunggu karena Nazuna bersikeras meminta ku untuk meluangkan waktu, aku tak menyangka kaulah yang memintanya. Kau ada perlu dengan OSIS?”
“Tidak. Aku tidak punya urusan dengan OSIS. Aku datang untuk berbicara denganmu, Ketua OSIS Nagumo, secara pribadi.”
Kataku, kemudian dia bersandar di kursinya lagi dan meletakkan ponsel di tangannya di atas meja.
“Jika memang begitu, aku harus memujimu karena berani menunjukkan wajahmu di depanku. Benar, ‘kan? Ayanokōji.”
“Aku berasumsi bahwa kamu mengacu pada festival olahraga, tapi bukankah sakit merupakan hak yang sah yang diakui sebagai alasan untuk absen?”
“Jangan membuatku tertawa. Ada yang melihatmu di Keyaki Mall sehari setelah festival olahraga selesai.”
“Aku sembuh dalam sehari.”
“Ini adalah kebohongan yang jelas.”
“Bisa jadi itu benar.”
Itu adalah sedikit permainan kata-kata, tapi Nagumo tampaknya menyadari bahwa pengejaran lebih lanjut tidak ada gunanya.
“Benar atau bohong, itu tidak penting lagi. Pokoknya, bisa kau katakan alasanmu kesini?”
Sikap acuh tak acuhnya mungkin memang asli.
Dia ingin segera mengakhiri pembicaraan denganku dan pulang, ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan perasaan itu.
Tapi, sikap terang-terangannya itu juga merupakan bukti bahwa dia menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
“Bolehkah aku duduk? Kupikir ini akan sedikit lama.”
“Kau bilang kau punya urusan denganku sebagai ketua OSIS, bukan? Kalau begitu, itu juga berarti aku bisa menolak untuk berbicara denganmu, bukan?”
Sebagai ketua OSIS, Nagumo siap mendengarkan, bahkan kepada orang yang tidak disukainya.
Tetapi jika tidak demikian, sepertinya dia tidak ingin mendengarnya lebih dari ini.
Yah, itu wajar saja.
“Kalau kamu tidak mau mendengarkanku, aku akan pergi.”
Jika Nagumo sendiri bahkan tidak punya niat untuk berdialog denganku, maka apa boleh buat.
Tidak, itu tidak akan terjadi.
Kecuali ketertarikannya padaku benar-benar hilang, tapi aku melihat bahwa jauh di lubuk hatinya percikan itu masih ada.
Dengan kata lain, dia pasti tidak akan menolakku.
Dan karena aku bisa mengatakan itu, aku juga meluangkan waktuku yang berharga untuk pergi ke sini.
Setelah keheningan singkat, Nagumo menyuruhku untuk duduk.
Aku memindahkan kursiku agar kami bisa saling berhadapan, dan kemudian aku duduk.
“Maaf, tidak ada minuman.”
“Tidak masalah.”
Ia bisa melihat dari sikapku bahwa aku tidak datang ke sini untuk meminta maaf.
Dalam batinnya mungkin hanya ada rasa penasaran, untuk apa aku datang ke sini sekarang.
“Meski begitu, tidak pernah terpikir olehku Kelas A tahun ketiga akan mengadakan pra-pembukaan. Karena memublikasikan kreasimu itu biasanya akan dianggap sebagai kerugian.”
“Aku pun sudah dengar berita kalau ada entah kelas bodoh mana yang kreasinya dibiarkan terbongkar.”
“Itu sindirian yang menyakitkan. Oh iya, kudengar Ryūen juga pergi menemuimu, Ketua OSIS Nagumo.”
“Dia ingin bertaruh puluhan juta denganku dalam persaingan peringkat.”
“Dan kamu menolaknya, ya.”
“Pertarunganku denganmu telah berlalu dan seluruh kehidupan sekolahku sudah berakhir, inilah dead rubber. Dan akibatnya, festival budaya berubah menjadi sesuatu yang tidak penting lagi. Maka tidak perlu bagitu untuk repot-repot memberi perintah. Aku hanya membiarkan mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan sebagai kenangan hingga mereka lulus.”
(Tln: dead rubber/karet mati : pertandingan terakhir yang tidak penting)
Jadi dia telah berubah sikap untuk membuka semua jenis kreasi yang akan mereka tampilkan, dan menikmati festival budaya biasa seperti di sekolah mana pun.
Entah mereka mendapatkan peringkat pertama atau ke-12, soliditas Kelas A tahun ketiga masih tetap sama.
Mungkin Nagumo sudah tidak peduli lagi biarpun kelas B dan di bawahnya mengeluh.
“Tapi puluhan juta, ya? Itu tidak akan cukup bahkan jika dia mengumpulkannya dari kelas sih.”
Kelas Ryūen yang memiliki banyak pendapatan tapi juga banyak pengeluaran, jadi simpanannya pun tidak akan setebal itu.
“Dia bilang bahwa dia akan memberiku hak untuk mengeluarkan siswa mana pun yang kuinginkan, termasuk dirinya sendiri.”
Jadi dia memakai siswa itu sendiri sebagai jaminan untuk dana yang tidak bisa dia sediakan.
“Aku tahun lalu mungkin akan menerima tawaran itu. Meskipun beda angkatan, akan lebih menarik jika kami bertarung dengan pengusiran sebagai taruhannya.”
Nagumo menyatakan bahwa dia sudah kehilangan antusiasme dan minatnya di sekolah.
“Jika kalian ingin berkompetisi, silahkan saja. Kalian bebas melakukan apa pun yang kalian inginkan.”
“Aku memahami pendapat pribadimu. Tapi tidakkah ada banyak juga siswa yang kurang setuju?”
“Tidak ada yang bisa mengeluh kepadaku. Karena jika ada yang melakukan itu, status kelas A mereka tidak lagi dijamin. Mendekati hari H, aku, atau lebih tepatnya seolah-olah OSIS, akan memberikan usulan yang bagus. Sedikit bantuan untuk kelas yang sedang berjuang untuk menang.”
“Aku mengerti. Kamu sudah memikirkan banyak hal, ya.”
“Bagaimanapun juga, aku adalah Ketua OSIS.”
Setelah memberikan jawaban yang patut dicontoh, Nagumo menghela napas dan bertanya.
“Sekarang, aku akan mendengar keperluanmu.”
“Yang kuinginkan adalah berdialog denganmu, Ketua OSIS Nagumo. Itu saja.”
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Apa kau merasa sulit untuk mempercayainya? Aku juga sedikit terkejut dengan perilakuku sendiri. Sampai sekarang, aku selalu berusaha menjaga jarak dari Ketua OSIS Nagumo.”
Nagumo sendiri tahu betul akan hal itu.
Tapi, dia pasti tidak tahu sampai ke akarnya yaitu, mengapa demikian.
“Apa kau tahu alasannya?”
“Entahlah. Aku yakin itu bukan karena kau takut akan kemampuanku.”
“Tidak seperti Ketua OSIS sebelumnya Horikita Manabu, Ketua OSIS Nagumo menarik perhatian orang di sekitar. Itu agak terlalu menyilaukan untuk dihadapi oleh orang teduh sepertiku, itulah salah satu alasannya.”
(Tln: orang teduh = mereka yang mendistorsi kebenaran/berada dalam bayang-bayang)
“Jadi begitu. Tapi itu hanya kiasan, bukan?”
Nagumo dengan ringan menepis respek palsuku dan memintaku untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya di balik itu.
“Aku tidak tertarik.”
Kalau aku berterus terang dan hanya mengatakan perasaanku yang sebenarnya, maka tidak lebih dari itu.
Meskipun aku mengakui sejumlah kemampuan, tapi hanya itu.
Itu sebabnya kupikir aku tidak perlu terlibat dalam apa pun yang dilakukan Nagumo.
“Jika orang lain memberitahuku apa yang baru saja kau katakan, aku mungkin akan sedikit kesal juga.”
“Aku tidak bermaksud kasar———”
“Tak perlu meminta maaf. Kau bebas untuk merasa seperti itu. Karena akulah yang membuatmu mengutarakan pikiranmu.”
Kata Nagumo, dan dia dengan cepat menambahkan.
“Tapi tetap saja, jika pernyataan itu datangnya bukan darimu, aku akan membuatnya langsung berubah pikiran.”
Dia mungkin tidak akan ragu-ragu untuk memikat orang itu agar tertarik, suka atau tidak suka.
Dengan wewenang dan kekuatan Nagumo, itu bukanlah tugas yang sulit.
“Sebentar lagi masa jabatanmu sebagai ketua OSIS akan berakhir, Ketua OSIS Nagumo akan tetap berada di Kelas A dan lulus. Kupikir cukup begitu saja. Sampai beberapa hari yang lalu.”
“Jadi kamu sekarang berbeda?”
“Aku berubah pikiran. Aku merasa bahwa aku bisa menghadapimu secara langsung, dan itulah kenapa aku datang ke sini.”
Tidak perlu bertele-tele untuk pujian, kegembiraan atau kemarahan palsu.
Demi masa depan, lebih baik mengatakan apa yang ada di pikiranku.
Aku akan memberitahu Nagumo, yang sedang menungguku berbicara, alasan utama aku datang ke sini hari ini.
“Aku punya tawaran untukmu, Ketua OSIS Nagumo. Kali ini bisakah aku yang mengusulkan untuk bertarung denganmu?”
Mungkin tak pernah terlintas dalam pikiran Nagumo bahwa aku akan membuat pernyataan seperti itu.
“Aku tidak suka ini. Ini tidak seperti dirimu.”
Berubah pikiran, jawaban semacam itu tidak cukup untuk meyakinkan Nagumo.
“Aku tidak tahu kapan tepatnya kau berubah pikiran, tapi sudah terlambat. Kau lari dari kesempatan terakhir yang ku berikan padamu di festival olahraga. Jika aku boleh meminjam kata-katamu, aku tidak tertarik. Benar, ‘kan?”
“Ya. Aku tahu ini permintaan yang berlebihan.”
“Ya, benar sekali. Setelah melepaskan kesempatan berulang, dan sekarang kau memintaku untuk bertarung dengan alasan berubah pikiran, tidak mungkin aku dapat dengan mudah menyetujuinya.”
Nagumo tetap mempertahankan sikapnya dan terus menunjukkan ketidakpeduliannya.
“Sama halnya dengan apa yang kau sebutkan tadi tentang festival olahraga. Kau bilang kau sakit seharian, tapi aku menilai bahwa itu juga merupakan kebohongan yang jelas. Selain itu, jangan bilang kau sudah lupa dengan apa yang terjadi di pulau tak berpenghuni?”
“Kalau gitu, perlukah kita lakukan reka ulang yang sama dengan adegan waktu itu, tapi kali ini posisinya dibalik?”
Jika Nagumo memukul perutku satu kali di sini, aku setidaknya bisa membuatnya menjadi permintaan maaf sebagai sebuah tindakan.
Sayangnya, ia bukan orang yang akan puas dengan melakukan hal seperti itu.
“Jika kau pikir itu adalah satu pukulan yang sama, itu tidak lucu. Ada perbedaan besar dalam nilai antara kau dan aku.”
Tentu saja, tawaran tersebut bahkan tidak layak untuk didiskusikan. Jelas bahwa ada banyak perbedaan antara Ayanokōji Kiyotaka dan Nagumo Miyabi setidaknya di sekolah ini. Di satu sisi, aku adalah siswa biasa Kelas B tahun kedua, dan di sisi lain, dia adalah pemimpin Kelas A tahun ketiga dan ketua OSIS.
Jadi, ada [perbedaan status] yang bahkan tidak bisa dibandingkan.
“Yah, aku akan mengesampingkannya karena tidak ada gunanya membahas itu sekarang, tapi biarpun aku boleh menantangmu, kau tidak boleh menantangku. Kau mengerti, bukan?”
“Aku mengerti, tapi itu yang perlu dikesampingkan. Aku di sini di depanmu sekarang, dan kukatakan bahwa aku bersedia bertarung denganmu Ketua OSIS Nagumo. Apakah itu tidak cukup?”
Di depan serigala yang haus darah, aku dengan sengaja memotong ujung jariku hingga darahku menetes.
Akan tetapi, serigala di depanku tidak menggigitnya dengan mudah.
Alih-alih memprovokasiku tanpa pertahanan seperti yang telah dia lakukan selama ini, dia sangat waspada. Sebelumnya, ketika aku bahkan tidak menganggapnya sebagai musuh, dia sudah memasang taringnya di ujung jariku. Dia mungkin tidak menyadarinya, tapi justru itulah bukti bahwa Nagumo mengenaliku sebagai musuh.
“Kau benar-benar aneh ya. Kau sama sekali tidak menunjukkan rasa takut terhadapku. Tidak, bukan hanya padaku, tapi juga pada Horikita-senpai.”
Nagumo melihat ke luar jendela seolah mengingat waktu ketika Horikita Manabu ada di sana.
Keinginan awalnya adalah untuk melawan Manabu, bukan aku.
Meskipun tujuan itu tidak tercapai, kenyataannya juga tidak ada alternatif lain.
“———Kalau pun aku bertarung denganmu, apa yang akan kita pertandingkan? Semester kedua sudah berlalu, dan sekarang sudah hampir semester tiga. Kau mungkin sudah tahu, aku memberi kesempatan kepada teman-teman sekelasku untuk bersaing dalam penjualan di festival budaya. Tentu saja kau tidak bisa memintaku untuk menariknya kembali. Bukan hanya itu, bahkan jika kita menunggu ujian khusus berikutnya, tidak ada jaminan bahwa akan ada kompetisi di antara semua tahun ajaran.”
Serahkan saja pada keberuntungan dan menunggu untuk bersiap-siap bahwa masih akan ada pertempuran untuk semua tahun ajaran.
Bukan berarti bahwa hal semacam itu tidak mungkin, tapi itu tidak terlalu realistis.
“Terlebih lagi, ambil contoh pertarunganku dengan mantan Ketua OSIS, kau tahu betul bahwa sulit untuk bersaing serius dengan tahun ajaran yang berbeda, bukan?”
Tahun lalu, baik di festival olahraga maupun di kamp pelatihan, Nagumo bersikeras ingin bertanding dengan Horikita Manabu.
Ia memaksakan dengan harapan bisa membuatnya jelas hitam dan putih, tidak peduli seperti apa bentuknya, atau sekecil apa pertarungannya.
Namun, Manabu berhasil menghindari provokasi Nagumo dan tidak melakukan pertandingan yang melibatkan masalah yang lebih besar.
“Lebih dari apa pun. Betapa sulitnya hanya untuk melakukan penyesuaian. Bukan hanya tahun ini. Tahun lalu juga, karena kamu, pertandinganku dengan Horikita-senpai tidak terjadi.”
Dalam hal itu, aku selalu tidak menyenangkan bagi Nagumo.
“Tolong dengarkan apa yang akan aku katakan dan pertimbangkan apakah pertarungan itu bisa diwujudkan.”
Seusai kukatakan itu, Nagumo bersandar kembali di kursinya lebih dalam untuk sedikit memperbaiki postur tubuhnya.
Karena banyaknya ujian khusus yang diberikan oleh sekolah tidak diketahui, beberapa pola harus disiapkan.
Karena seperti apa pun bentuk ujiannya nanti, akan ada jalan untuk mewujudkan pertarungan itu.
Ketika aku selesai mengatakan semuanya, Nagumo tetap diam dan tampak sedang berpikir.
“Aku tak tahu apakah pertandingan sempurna 100% bisa dicapai, tapi kupikir itu mungkin bisa diwujudkan.”
“Kurasa juga begitu. Tapi apa kau sungguh berpikir bahwa rencanamu bisa diterapkan?”
“Seharusnya hal ini sudah terlihat oleh Ketua OSIS Nagumo. Kau mengamatinya dari samping setiap hari, bukan? Maka tidak mungkin kamu tidak mengetahui detailnya.”
(Tln: Mengamati‘nya’ di sana adalah cewek)
“Begitu ya. Aku berniat mempengaruhimu pada saat itu, tapi bukannya terpengaruh, kau malah mencoba menggunakannya untuk melawanku.”
“Maukah kau menerima tawaranku? Atau tidak?”
Mungkin aku sudah berbicara panjang lebar.
Namun, upaya melalui percakapan ini diperlukan dalam negosiasiku dengan Nagumo.
“Aku mau saja menerimanya...”
Aku menerima respon positif, tapi kata-kata itu juga memiliki makna lain.
“Tapi, apa tujuanmu yang sebenarnya?”
“Apakah kau tidak percaya? Kalau aku hanya ingin bertanding denganmu, Ketua OSIS Nagumo.”
“Aku tidak percaya.”
Dia membalasku tanpa jeda karena dia yakin akan kecurigaannya.
Aku sedikit senang, tapi aku dengan sengaja menunggu kata-kata Nagumo selanjutnya.
“Langsung saja ke intinya. Apakah aku menerima tawaran itu atau tidak, aku akan memikirkannya setelah itu.”
Setelah persiapannya sudah selesai, aku tidak akan ragu-ragu untuk mengangkat topik utama lainnya.
“Aku punya permintaan untuk Ketua OSIS Nagumo.”
Aku menjelaskan permintaan tersebut, serta detail dari kejadian apa yang akan terjadi.
Setelah mendengar hal itu, Nagumo duduk kembali lebih dalam di kursi ketua OSIS yang telah dia duduki selama setahun terakhir.
“Aku mengerti maksudmu. Tapi, itu bukan alasan kenapa kamu ingin bertanding denganku, bukan? Kau tidak punya pilihan lain selain meminta pertandingan denganku untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Benar, ‘kan?”
“Setengah benar, setengahnya salah. Aku memang ingin bertanding denganmu karena aku sendiri sudah mengubah pandanganku tentang Ketua OSIS Nagumo. Tapi, separuhnya aku juga merasa bahwa itu merepotkan.”
“Kau pria yang jujur ya.”
“Itulah sebabnya, aku ingin kamu menerima apa yang baru saja ku katakan dengan premis tadi.
“Dasar kurang ajar. Sudah meminta pertandingan mau minta lebih, tidak tahu malu juga ada batasnya.”
“Aku tidak menyangkalnya.”
“Tak hanya itu, apa kau kira aku akan bermain-main denganmu?”
“Jika kau menolak, ya sudah. Aku tidak akan pernah melawanmu lagi, Ketua OSIS Nagumo. Bahkan jika kau mencoba melibatkan teman sekelasku atau seseorang yang seangkatan denganku atau menyandera seseorang, aku akan benar-benar mengabaikannya.”
“Aku tidak yakin. Jika itu orang acak, kau mungkin akan membiarkannya mati, tapi jika itu Karuizawa Kei?”
Di sini, Nagumo menyebut nama Kei untuk mempengaruhiku.
“Aku tidak peduli.”
Senyuman Nagumo menghilang saat aku langsung menjawab tanpa ragu-ragu.
“Kau ingin membuatku berpikir bahwa itu tidak akan berhasil dengan mengatakannya secara langsung... atau sepertinya tidak juga.”
“Aku bukan Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa. Entah itu Kei atau teman-teman sekelasku, aku tidak bisa melindungi semua orang 24 jam sehari, 365 hari setahun. Karena ketua OSIS yang memiliki kekuasaan paling besar di sekolah ini dan bisa mengendalikan sejumlah besar siswa bisa mengeluarkan seseorang dari sekolah tanpa sepengawasanku.”
Tentu saja ada risiko melakukan sejumlah upaya dan kompensasi yang lumayan, tapi itu bukan urusanku.
“Siapa pun yang kau hilangkan, aku tidak akan pernah bergeming lagi.”
Ini bukan alat tawar-menawar.
Karena ini tekad asliku, senyum Nagumo secara alami juga menghilang.
“Jadi jika aku ingin bermain denganmu, aku harus menerima tawaran ini, ya.”
“Tentu saja, kau bebas untuk mengabaikannya dan lulus dengan bangga.”
“Tapi bukankah kau akan kesulitan kalau aku tidak membantumu?”
“Aku sudah memiliki rencana lain.”
Ya, sama sekali tidak perlu repot-repot membawa hal ini ke Nagumo.
Tapi setengah dari alasan yang ku sebutkan tadi.
Perasaan ingin bertarung dengan Nagumo adalah alasan aku ingin melakukan diskusi ini.
Balasan Nagumo berikutnya akan menentukan segalanya.
Inilah saat-saat penjurian terakhir tentang apakah pertandingan antara aku dan Nagumo akan terjadi atau tidak.
“Oke. Aku akan menerima bujukanmu itu, Ayanokōji. Toh kelulusanku dari Kelas A tidak bisa diganggu gugat. Bukan ide yang buruk untuk mengakhirnya dengan bersenang-senang denganmu.”
Sedikit pun dia tidak berpikir bahwa dirinya akan kalah, dia bahkan tidak bisa membayangkannya.
Kepercayaan diri yang luar biasa dari seorang pria yang bangga akan kemenangan beruntunnya.
“Terima kasih.”
“Tapi, apa kau beneran yakin dengan itu? Jika kita melakukan apa yang kau minta, maka———tidak peduli bagaimana hasilnya, itu akan menyakiti orang-orang di sekitar.”
“Tentu saja. Karena bagaimanapun juga, Ketua OSIS Nagumo akan terlibat.”
Nagumo bereaksi kuat terhadap kata-kata itu.
“...Kau...”
Sebagai kata pengantar kepergianku, Ketua OSIS Nagumo berdiri dan mendekatiku.
“Paham tidak maksudku?”
“Meskipun dari jauh, aku telah mengamatimu, Ketua OSIS Nagumo. Aku punya gambaran tentang apa yang akan kulakukan setelah itu.”
Meskipun dia bilang bahwa dia sudah tidak berniat untuk bertarung denganku, pria ini selalu mengincarku.
Kuasumsikan bahwa dia akan mengambil tindakan ketika belum terlambat.
“Jadi ini bukan hanya tentang Karuizawa, tapi Honami pun juga tidak terkecuali?”
“Seperti yang kukatakan, tidak peduli siapa pun itu sama saja. Entah itu kau ingin membuat Kei dikeluarkan dari sekolah, atau bermain-main dengan Ichinose, atau melakukan sesuatu pada Horikita atau siapapun. Akan lebih bijaksana jika kau tidak berpikir bahwa kau bisa mempengaruhiku dengan itu.”
Mendengus tertawa, Nagumo segera beralih ke ekspresi serius.
“Aku tarik kembali pernyataanku tentang bermain-main. Kau adalah satu-satunya orang yang diakui oleh Horikita-senpai. Aku sekarang yakin akan hal itu.”
“Itu bagus. Kalau begitu, aku permisi.”
“Oi.”
“Apa ada lagi?”
“Kuakui kau memiliki poker face sejati. Aku pun tahu bahwa kau melakukan negosiasi berani untuk menarikku keluar. Jadi, biarkan aku mendengar perasaanmu yang sebenarnya sekali saja. Seandainya aku serius ingin mengeluarkan Karuizawa, apakah kau akan berdiam diri saja?”
“Kei, atau siapa pun itu, aku tidak menginginkan adanya kursi kosong yang ditinggalkan oleh teman sekelasku. Aku ingin mencegahnya sebisa mungkin.”
“Itu bukan jawaban. Jawaban itu tadi adalah tentang kurangnya orang di kelas. Yang ingin kukatakan adalah, kau tidak merasa cemas tentang hilangnya Karuizawa, hilangnya seseorang yang istimewa bagimu.”
Aku menoleh ke belakang.
Biasanya, jawabannya di sini sudah jelas.
[Aku hanya menggertak agar kamu tidak menyadari perasaanku yang sebenarnya]
Hanya membuat pernyataan semacam itu.
Akan tetapi, aku merasa bahwa itu bukan jawaban terbaik untuk Nagumo.
“Jika menghilang, maka dia hanya akan menghilang. Tidak lebih dan tidak kurang. Sebaliknya, ini membuat pembersihan menjadi lebih mudah dan lebih membantu.”
“...Kau benar-benar sudah gila.”
Untuk pertama kalinya, Nagumo kesal, atau lebih tepatnya menggumamkan pendapatnya tentang sesuatu yang tidak dia mengerti.
“Aku akan menghubungimu lagi nanti.”
Aku meninggalkan ruang OSIS, menutup pintu pelan-pelan, dan mulai berjalan.
Nagumo menggambarkanku sebagai orang yang sudah gila, tapi itu tidak benar.
Menurut pandanganku, mereka yang terbawa emosi sementara yang berujung pada pembambilan keputusan yang buruk, adalah orang gila yang salah.
Mau orang itu orang asing, kekasih, atau anggota keluarga itu sama saja.
Ketika tiba saatnya mereka gagal dan dikeluarkan, itulah akhir dari perjalanan mereka.
Prioritas pertama adalah melindungi diri sendiri.
Itu adalah [solusi] yang tak tergoyahkan.
asli dah gua benar" suka ni LN semoga bisa masuk resmi ke indo
ReplyDeleteanjirr bang dingin gk segan segan, emng yg lain cuma alat smpai kei :' enth cuman bluffing atau bneran
ReplyDeleteGila sih Ayanokouji. Bener bener ga terikat apapun siapapun.
ReplyDeleteKenak psikologisnya wkwm
ReplyDeleteWkwkwkwk.. Baru awal udah 'deep' banget
ReplyDelete