-->

Cari Blog Ini

Love Comedy in The Dark Vol 1 Episode 3 (4)

Episode 3 (4)



Aku sudah sering mengatakannya, tapi aku adalah orang introvert.

Aku tidak menonjol di kelas, aku pendek, aku tidak berpenampilan menarik, bahkan saat aku pergi ke salon, aku hanya bisa berkata [tolong potong rapi saja], dan aku tidak punya teman. Kastaku jelas berada di bagian bawah.

Tetapi bukan berarti aku tidak bisa belajar. Malahan, lebih cepat menghitung dari atas.

(Tln: Artinya peringkatnya disekolah bagus)

Dengan kata lain, aku adalah siswa teladan. Meskipun aku mengutuk bahwa sekolah itu sampah, tapi aku tidak punya pilihan selain pergi ke sekolah karena aku tidak punya tempat lain untuk pergi, dan aku dengan enggan mendengarkan pelajaran karena aku tak punya hal lain untuk dilakukan. Aku mendengarkan pelajaran di kelas hanya karena aku tak ingin ditandai oleh guru, tapi kemampuan akademisku cukup baik. Jika kamu adalah introvert yang tidak punya banyak masalah perilaku dan mendapatkan nilai ujian yang bagus, maka kamu adalah siswa yang baik untuk sekolah.

Diriku yang kumaksud itu membolos hari ini.

Aku diajak membolos. Diancam oleh Yanki.

“Oi sialan, Jirō, kamu!”

Kata Yanki sambil menggerakan tuas game dengan serius.

“Mainnya lebih serius, sialan. Aku bisa mati tahu.”

“Eh. Aku sudah serius kok.”

“Jangan membalasku, sialan. ...Uwa, hei, keluarkan bomnya, bomnya! Tadi itu harusnya menjadi tugasmu!”

“Eh, tidak, mana bisa aku.”

Mungkin sekitar awal pelajaran jam ketiga di sekolah.

Kami berada di dalam arcade.

Kami sedang main permainan tembak-tembakan di dalam arcade. Permainan rentetan peluru yang jadul.

Dengan si Yanki. Kitamura Tōru duduk di sebelahku, mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga wajahnya nyaris menempel pada CRT dan dia berteriak dengan berisik.

(Tln: CRT ‘cathode-ray tube’ = layar tabung)

Biasa disebut permainan coop dua orang.

“Oi Jirō. Bos berikutnya akan keluar. Kamu serang dari sebelah kiri.”

“Eh? Bukannya aku dari sebelah kanan?”

“Di stage ini lebih mudah menyerang dari sebelah kiri. Sini cepat jangan buang-buang waktu, ayo buruan——ah, tuh kan, lihat akibatnya! Bosnya sudah keluar!”

“Tidak, soalnya musuh kecilnya nembakin aku terus, buat ngindar saja sudah banget——”

“Ah, mou, baka! Kalau begitu aku menyerang dari sebelah kiri! Kamu di sebelah kanan saja! Fokus!”

“Aduhduduh, gawat, aduhduduh.”

Aku, putus asa.

Aku nyaris tidak bisa mengikuti permainan rentetan peluru yang tidak kukasai. Aku harus benar-benar fokus sampai otakku terbakar, atau aku akan segera mati. Jika aku mati, Yanki akan sangat marah. Tanganku harus bergerak sebelum aku sempat berpikir, dengan kata lain aku harus masuk ke dalam zone. Fokus, fokus, pikirkan saja tentang lintasan rentetan tembakan,

“Ap————!?”

Dokan. (Boom)

Game Over.

“Aah, mou~!

Yanki memegangi kepalanya.

Kemudian dia memasukan koin-koin lagi.

“Eh. Masih mau main lagi?”

“Sampai kita menang, sialan. Selanjutnya jangan sampai meleset ya brengsek.”

Dan permainan tanpa kenal menyerah oleh Yanki dimulai lagi.

Sudah seperti ini sejak tadi.

Arcade yang sepi tempat aku dibawa setelah bolos sekolah. Isinya kebanyakan mesin-mesin jadul, dengan harga per satu permainan juga murah. Sepi pengunjung karena masih sebelum jam makan siang.

“Oi, tolol, keluarkan bomnya, bomnya! Kita dalam bahaya!”

“Eh, tapi jumlah bomnya kan terbatas”.

“Aku juga tahu itu, kamu mengejekku ya? Gak ada gunanya kamu simpan kalau kamu mati?”

“Tapi bomnya harus dipakai di waktu yang tepat. ....Ah, disana ada peluru.”

“Wa, awas——aah, mouu! Malah mati! Sekali lagi!”

“Anu, aku mau nanya keluar topik.”

“Apa sih?”

“Soal uang, aku gak perlu ikut membayar gak papa nih?”

“Haa? Kau kan biasanya yang bayarin aku roti dan jus.”

“Ah, um. Yah.”

“Maka sudah sewajarnya aku yang membayar di sini. ...Oi, tembakannya datang! Bom, bom!”

“Eh, tapi sayang banget kalau bomnya dipakai di sini——”

“Aaa! Tuh lihat kita mati lagi! Kan sudah kubilang bom, bom!”

Kita mati bukan karena bom, tapi karena kamu cerewet.

Aku hendak meluruskan, tapi kutahan. Selain itu, ini dekat sekali. Wajar saja sih karena kami berjejer dalam satu mesin, tapi bahu dan dadanya mengenai tubuhku. Gangguin orang main.

Dan ia berniat untuk main sampai kami benar-benar menyelesaikannya. Jika dia ingin main serius, bukannya akan lebih cepat kalau kami membuat semacam strategi. Inilah sebabnya kenapa aku tidak menyukai tipe cewek Yanki. Mereka mudah sekali marah dan lupa akan apa yang terpenting. Mereka tidak mengambil solusi terbaik, karena bagi mereka yang penting seru saja. Tapi bukan berarti bahwa tidak ada Yanki yang pintar di luar sana.

“Jirō, coba kamu tahan sendirian sebentar. Aku mau pergi menukar uang.”

Yanki berdiri.

Dia masih ingin main. Dan di momen yang sangat sulit. Jangan tinggalkan aku sendirian di sini.

“Kalau sampai mati, kau akan menjadi pesuruhku seumur hidupmu.”

Dasar iblis.

Inilah sebabnya tipe cewek Yanki tuh——ah, gawat, mati aku. Serius susah banget ini, wow wow wow.


Akhirnya tamat juga.

Entah mengapa, aku sedikit bersemangat dan tanpa sadar melakukan tos dengannya, lalu setelah itu dia mengajakku ke toko hamburger.

“Oi, Jirō, kau!”

Dia mengeluh ketika aku memesan.

“Pesananmu sedikit banget.”

“Eh. Benarkah?”

“Hanya pesan satu hamburger biasa dan sebotol sōkenbicha, emangnya kamu gadis yang sedang diet? Makanlah lebih banyak.”

(Tln: Sōkenbicha itu teh campuran jepang dari merek coca-cola)

“Eh, tapi aku tidak terlalu suka makan. Selain itu, masih ada sisa bekal ku.”

“Bekalmu nanti saja. Jangan lupa dimakan bekal dari ibumu. Hamburger yang akan kamu makan ini untuk camilan. Makanlah yang banyak. Makan dan tambah besar.”

“Tidak, yang benar saja. Aku bukan anak SMP yang sedang tumbuh.”

“Kamu kan masih siswa SMA. Kalau kamu makan, kamu akan tambah besar dan lebih tinggi.”

“Tapi aku gak bawa uang.”

“Berisiklah, banyak alasan banget sih kamu. Sudah diam dan makan saja. Di sini biar aku juga yang bayarin. ——Ee, permisi, saya tambah tiga burger besar ini lagi. Kentang goreng ini juga. Dan ganti sōkenbicha dengan milkshake.”

Don.

Don.

Don.

Banyak sekali makanan diletakkan di atas meja kecil.

Eh, serius? Aku harus makan ini? Semuanya?

“Aku akan makan setengahnya.”

Tidak, tapi ini masih cukup banyak.

Barangkali jumlah kalori ini senilai dengan satu hari untuk orang dewasa, atau bahkan mungkin lebih.

“Agar tumbuh besar, tentu saja kamu harus mengonsumsi kalori, kamu bodoh, ya?”

Mengatakan itu Kitamura Tōru menggigit hamburger besar. Dia makan dengan sangat lahap. Yanki ini kurus tapi makannya banyak.

Aku tidak punya pilihan selain mengambil burgernya juga. Daging dan keju dobel. Hanya satu gigitan saja sudah cukup untuk mengisi penuh perutku.

“...Jadi?”

Setelah menyantap bagiannya dalam waktu singkat, Kitamura Tōru berkata.

“Siapa sih? Wanita itu.”

“Eh? Apa itu?”

“Dia loh, murid pindahan itu. Yang nempel padamu.”

“Ah dia. Maksudmu Yumiri.”

“Jadi kamu sudah akrab dengannya sampai manggil pakai nama depannya. Apa yang terjadi oi? Sejak kapan kamu berhubungan dengan gadis itu? Emangnya kamu punya waktu untuk itu?”

“Waktu... ada sih. Pada dasarnya aku nganggur.”

“Lewat aplikasi kencan?”

“Aku tidak pernah nyoba begituan.”

“Kena rayu, ya? Atau ditembak? Atau kalian satu bimbel?”

“Tidak. Bukan.”

“Apakah kalian serius berpacaran?”

“Hmm... bagaimana ya.”

“Jawab yang jelas, kamu sialan.”

“Tidak, sulit menjelaskannya.”

Sebaliknya, bagaimana aku menjelaskannya?

Jika kujelaskan dengan serius, aku mungkin akan ditinju, dan lagipula, aku juga tidak terlalu mengenal Amagami Yumiri. Malahan aku tidak mengenalnya. Aku hampir tidak tahu apa-apa tentang dia.

“Kayaknya hanya main-main. Hubungan kalian.”

Kitamura Tōru tidak berhenti mengejarnya.

Bahkan sambil menyentuh burgerku,

“Dengan kata itu ya? Artinya kalian tidak secara resmi berpacaran?”

“Yah... kurasa begitu? Mungkin.”

“Janji untuk menikah pun tidak ada?”

“Tidak ada. Tidak akan pernah.”

“Kalau begitu, dia adalah penguntit.”

Dia sedikit paham.

Tapi aku mengerti. Penguntit ya. Mungkin itu lebih pas.

Lagipula, aku bertemu dengannya dalam mimpi, dia muncul setiap malam, dan juga menyerangku berulang kali. Terlebih lagi, dia bahkan muncul dalam kehidupan nyata dan menyatakan dirinya sebagai kekasihku. Jika kita hanya menelusuri permukaannya saja, itu tidak lebih dari seorang penguntit.

“Kalau kamu dalam masalah, bilang saja padaku.”

Eh?

“Kubilang, bilang saja padaku jika wanita itu melakukan sesuatu padamu. Aku akan melindungimu.”

Hm??

Apa maksudnya???

“Dia sudah mengambil pesuruhku, ngerti? Aku tidak bisa terus diremehkan, bukan? Kalau wanita itu sampai menyentuhmu lagi, aku akan menghajarnya.”

Dengan wajah menakutkan, Kitamura Tōru menegaskan.

Aku punya perasaan aneh. Aku tidak tahu apa itu, tapi tampaknya dikotomi semacam itu telah terbentuk di dalam diri Yanki. Apa pun itu, ini merepotkan. Dalam arti bahwa ia semauanya sendiri tanpa menghiraukan niatku.


Kemudian aku diajak ke sebuah department store.

Aku diajak berkeliling ke sejumlah toko pakaian. Kitamura Tōru mencoba sejumlah atasan dan rok, dan mengoceh kalau dia tidak suka ini dan tidak suka itu.

Tiba-tiba dia bertanya, “Kamu suka wanita berdada besar tidak?”. Ketika aku menjawab, “Ti-ti-ti-tidak, sama sekali tidak kok.” dia mendecakkan lidahnya, “Tch...” lalu dia berkata, “Pria itu mudah ditebak ya.”, dan sejak saat itu dan seterusnya, dia mencoba semua jenis pakaian yang menonjolkan area payudara.

Dan setelah itu, kami ke batting centre. Kitamura Tōru memukul banyak home run. Sedangkan aku, yah, bisa ditebak. Olahraga itu melelahkan. Bukan karena aku tidak pandai berolahraga.

Namun demikian, ada yang menggal untukku.

Apa Kitamura Tōru itu orangnya seperti ini?

Tidak, yah, ada kalanya dia seperti ini. Rasanya aku tidak perlu mengatakannya sendiri dan kemudian menyangkalnya sendiri. Tapi, ya. Aku masih merasa aneh.

Ini seperti calpis. Apabila bakteri asam laktat dan konsentrat gula itu dicampur dengan segelas air atau secangkir penuh air, maka itu sama-sama disebut Calpis. Tapi rasanya benar-benar berbeda, ‘kan? Bisa dikatakan ini seperti itu.

Sementara aku memikirkan hal ini, malam pun tiba.

“Oi, Jirō.

Ketika aku meresa akhirnya aku akan bebas.

Kitamura Tōru menyatakan.

“Ayo kita pergi ke rumahmu, sialan. Sekarang juga. Kamu tidak keberatana, ‘kan, oi?”


Tidak, tentu saja keberatanlah, oi.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment