-->

Cari Blog Ini

Love Comedy in The Dark Vol 1 Episode 4 (1)

Episode 4 (1)


Malam itu aku diajak pergi ke game center, toko hamburger, toserba, dan batting center.

Kitamura Tōru, cewek yanki yang mengajakku jalan-jalan, mengatakan hal yang tidak masuk akal.

Ayo kita pergi ke rumahmu, dia bilang.

“Eh? Serius?”

Tanpa sengaja aku membalasnya dengan ekspresi serius.

“Haah?”

Kitamura Tōru terlihat sangat menakutkan.

“Tentu saja aku seriuslah tolol. Emang ada masalah, sialan?”

Jelas ada-lah.

Emangnya kamu pikir tidak ada, apa?

Dia memaksaku bolos sekolah, mengajakku kesana kemari hampir sepanjang hari, dan kemudian dia mau mampir ke rumahku. Seorang maling pun akan sedikit lebih enggan, bukan?

Dalam batinku.

Dan yang benar-benar terucap oleh mulutku begini.

“Enggak. Enggak ada masalah.”

Habis aku takut banget sama yanki.

Namun aku tidak ingin dia datang ke rumahku, jadi aku buru-buru membujuknya. Sudah larut malam, kamu apa tidak pulang saja? Orang tuamu juga pasti khawatir, bukan?

Aku katakan itu padanya dengan nada pelan, lalu Kitamura Tōru mengendus dan,

“Pulang ke rumah juga yang ada di sana hanyalah orang tua toxic pecandu alkohol. Aku lebih suka pergi ke rumahmu.”

Meludahkan itu.

“Jika dibilang begitu, aku bingung menanggapinya, tapi tidak, biarpun begitu. Ini sangat mendadak, jadi aku belum menyiapkan apa pun...”

“Aku tidak menyuruhmu untuk bersikap ramah. Aku hanya ingin menghabiskan waktu.”

“Tapi rumahku sudah agak tua...”

“Rumahmu itu hunian megah bertulang rangka baja dengan 6 kamar tidur, bukan? Rumahku saja bangunan kayu berusia 50 tahun. Kau mengejekku ya sialan?”

“Dan kalau misalnya mak lampirku ada di rumah, bakal ribet urusannya...”

“Jangan mengatainya seperti tante-tante dari Osaka. Ibumu itu seorang wanita karier pekerja keras. Dia juga super cantik.”

(Tln: Gila sih ini MC. Hidupnya diberkahi banget tapi gak bersyukur sama sekali)

Tapi gimana ya, oh ya benar. Bolos sekolah di siang hari masih bisa dicari alasannya, tapi banyak risikonya di malam hari, dan jika sampai ketahuan bisa gawat, ‘kan? Maksudku, benar juga, kau kan belum ngubungin orang tuamu? Emang gak minta izin dulu? Kalau kamu ingin mengunjungi rumah orang lain di jam segini, kamu harus lakukan sesuatu dulu. Bukankah kau harus menyiapkan sesuatu seperti misalnya oleh-oleh? Nah, bukan karena aku menginginkannya sih. Ah, gawat ini, rumahku tidak dibersihkan sama sekali! Ibuku sibuk dengan kerjaannya, jadi jarang bersih-bersih, dan tentu saja kamarku penuh dengan sampah! Ada banyak hal yang tidak boleh dilihat, duh gawat nih, rumahku benar-benar tidak siap untuk menerima tamu!

Jadi bisakah kamu mampir lain kali saja? Lain kali saja sih? Anggap saja disini, sampai ketemu lagi lain kali. Tolong sih? Bisa sih?



Dan ternyata tidak bisa.

Dia menerobos masuk ke rumahku.

“——Ara!? Ara ara, wah wah!”

Terlebih lagi, mak lampir itu ada di rumah.

Sial, yang benar saja, parah banget. Biasanya jam segini kau kan masih kerja. Kenapa hanya hari ini kau sudah pulang? Lagi ngeledekin aku, ya?

“Lama tidak ketemu! Kamu Tōru-chan, bukan?”

“Usu. Lama tidak bertemu.”

“Wah, jadi cantik gini kamu, sungguh! Ah rasanya nostalgia! Bagaimana kabarmu? Sejak kapan ya kita terakhir bertemu?”

“Usu. Mungkin sejak SD.”

“Duh, sudah selama itu? Duh aduh, aku tidak ingin menjadi tua.”

“Usu.”

“Kudengar kamu satu sekolah dengan anakku, tapi tahu, ‘kan? Jirō kan seperti ini, jadi waktu aku tanya soal Tōru-chan, dia cuman jawab [Ya] atau [Oh]. Jadi gimana Jirō? Dia tidak merepotkanmu, ‘kan?”

“Usu. Tidak kok.”

“Ah! Maaf malah ngajak ngobrol sambil berdiri. Ayo masuk masuk, maaf kalau tempatnya kotor.”

“Usus. Permisi.”

Dia diizinkan masuk.

Yanki yang suka menyuruhku, tidak kusangka akan masuk ke rumahku.

“Ah mou, rasanya benar-benar nostalgia.”

Didorong oleh semangat Ibu, kami menuju ke ruang tamu.

Formasi dimana aku dan Kitamura Tōru duduk bersebelahan di atas sofa berbentuk L, dan Ibu duduk diagonal di sebelah kiri sambil tersenyum.

“Tōru-chan, kamu harus pindah karena berbagai alasan, ‘kan? Kamu berteman baik dengan Jirō, jadi aku merindukanmu waktu itu.”

“Usu.”

“Hei Jirō. Jangan putus kontak dengan teman masa kecilmu. Kamu harus lebih menghargai teman dekatmu sewaktu kamu masih kecil.”

“...Oh.”

“Malah [Oh] anak ini, sok-sok’an. Remaja laki-laki tu benar-benar sulit dimengerti ya. Mereka begitu misterius, aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Hei Tōru-chan, Jirō tu lagi fase memberontak.”

“Usu. Seperti apa itu?”

“Yah, misalnya ni ya, setiap kali Bibi masuk kamarnya, Jirō tuh langsung marah. Dia suka bangkong, dan malas merapikan kamarnya. Tapi di sisi lain, dia kayaknya gak punya barang seperti buku dewasa. Anak-anak jaman sekarang kau tahu, generasi smartphone, ‘kan? Mereka adalah digital native, atau mungkin tidak terlalu tertarik dengan buku kertas?”

Oi sialan, hentikan.

Jangan seenaknya mengumbar kehidupan pribadi putramu yang sensitif.

“Aku tahu kalau smartphone itu gak baik. Anak-anak jaman sekarang tuh ya, mereka bisa melakukan apapun dengan benda itu. Padahal Bibi sendiri tuh ya, ingin sekali mengalami kejadian seperti tidak sengaja nemuin buku dewasa yang disembunyikan anakku di bawah tempat tidur, lalu aku pura-pura tidak menyadarinya dan dengan lembut meletakkannya kembali.”

“Usu.”

“Tōru-chan, jangan kaku gitu sih. Dari tadi kamu cuman bilang [Usu] mulu. Dulu kamu tidak seperti ini, ‘kan? Santai saja, tidak perlu sungkan. Anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri.”

“Usu. Ah, baik.”

“Ah! Maaf, aku lupa nawarin minum. Jus mau, ‘kan? Ah sial, cuman ada jus sayuran di kulkas, mau tidak?”

“Usu. Tidak perlu repot-repot.”

“Bicara apa kamu ini, tentu saja tidak masalah buat ngerepotin Bibi. Mau makan malam sekalian, ‘kan? Aku belum masak apa-apa, jadi apa aku belikan pizza saja, ya? Atau kamu mau sushi? Lah kenapa ambil pusing, aku belikan saja keduanya. Toh mumpung bisa makan bareng.”

Jadi Ibuku memesan makanan pesan antar.

(Tln: GoFood)

Kitamura Tōru tidak menolak. Atau lebih tepatnya, dia aslinya ingin menolak, tapi begitu ada ajakan makan, pikirannya diambil alih oleh selera makannya. Yanki ini lemat terhadap traktiran.

Ngomong-ngomong pendapatku sama sekali tidak digubris. Aku tidak terlalu suka pesan antar. Aku lebih senang dengan keripik kentang atau cup ramen.

“Tōru-chan enak tidak?”

“Usu. Enak banget.”

“Makanlah yang banyak ya. Pesananku agak terlalu banyak soalnya.”

“Usu. Aku pasti akan menghabiskannya.”

“Ufufu, Tōru-chan itu makannya memang banyak ya, dari dulu. Selain itu meski makannya banyak, tubuhmu tetap ramping. Bikin iri banget.”

“Usu.”

“Loh Jirō, kamu juga makan yang banyak. Kamu harusnya masih bisa tumbuh lebih tinggi. Tubuh ayahmu besar dan Ibu juga tidak kecil, jadi secara genetik kamu harusnya bisa lebih tinggi.”

Berisik.

Itu bukan urusanmu, dasar mak lampir.

Bagaimana aku bisa memiliki selera makan di saat yanki yang suka menyuruhku masuk rumahku? Lagian, aku sudah makan banyak sekali hamburger. Perutku sakit.

“Duuh, anak ini lagi memberontak. Tōru-chan, maaf, tapi bisa kamu minta Jirō buat Aa? Dia tidak mau makan sama sekali, jadi coba kamu suapin dia.”

“Usu. ...Hm? Eh?”

Oi sialan, mak lampir.

Kau, apa yang kau bicarakan dalam situasi yang membingungkan ini?

“Ufufu! Canda kok bercanda! Duh Tōru-chan imut banget, mukamu memerah!”

“Usu. Tidak. Enggak kok.”

“Aku bercanda sih, tapi apa kamu benar-benar mau coba nyuapin?”

“U, tidak. Itu... serius?”

“Ya. Kalau Tōru-chan mau.”

Yanki menganggap serius omong kosong dari mak lampir itu.

Mungkin aku harus mengatakan sesuatu, tapi bicara baik-baik dengan mak lampir itu juga menjengkelkan, ini seperti ambivalen.

“U. A. U.”

Yanki membuka tutup mulutnya seperti ikan mas yang kekurangan oksigen. Wajahnya merah, seperti ikan mas. Jika ini adalah manga, matanya akan digambarkan berputar-putar.

“Ahaha! Moo! Asli dah Tōru-chan ini imut banget!”

Mak lampir sangat terhibur.

Sebaliknya, aku sangat tersiksa. Kumasukkan pizza dingin ke dalam mulutku dan kutelan dia bersama cola dengan paksa.

Aku berdoa, semoga waktu yang seperti neraka ini cepat berlalu. Atau kuharap ini hanya mimpi. Bagi diriku yang memiliki kemampuan untuk bermimpi sesuka hati, mungkin kalimat itu agak ironis.


Aku hampir menyerah dengan anggapan bahwa tak ada Tuhan atau Buddha di dunia ini, tapi ternyata hal itu tidak mustahil. Mak lampir telah menerima hukuman dari surga.

Tepatnya, mak lampir dapat telepon dari kantor.

Permintaan mendesak. Ia disuruh datang ke kantor sekarang.

“Luangkan waktumu ya! Tidak usah malu-malu!”

Setelah berdandan dengan terburu-buru, mak lampir mengenakan sepatu pump-nya.

“Kamu bebas memakai apa pun yang ada di rumah ini! Kalau mau menginap juga boleh! Jirō, jaga dia baik-baik! Ah, dan juga.”

Mak lampir berbisik ke telingaku,

“Yang katanya pacarmu di telepon tempo hari itu, bukan Tōru-chan, ‘kan? Ceritakan lebih banyak tentang dia nanti. Jangan sampai tidak.”

Dan dengan ini mak lampir itu pergi.

Goodbye, mak lampir. Bukannya aku tidak kasihan, tapi sukurin. Jangan pulang sampai pagi, karena kamu hanya akan mempersulit keadaan.

“...Puaah!”

Yanki menghembuskan napas berat.

“Aah, aku sangat gugup. Ibumu itu cantik, penuh semangat, dan terkesan memaksa, jadi aku sedikit takut.”

Masak sih?

Aku adalah anggota keluarga, jadi aku tidak begitu paham.

Jadi itu artinya lebih baik Ibuku ada di sini? Memang benar kalau Yanki seperti kucing pinjaman.

(Tln: seseorang yang tiba-tiba diam dan lemah lembut)

“Haaah. Nyalaiin TV ah.”

Yanki memencet remote TV tanpa izin.

Tidak hanya itu, dia juga merebahkan punggungnya di atas sofa. Jelas sekali itu posisi untuk bersantai.

Eh? Kau belum mau pulang?

“Aan? Kan aku sudah dibilang untuk meluangkan waktukku.”

Yah itu benar.

Tidak, tapi biasanya bukankah wajar untuk pulang sekarang? Mungkin juga sudah waktunya ibumu akan mulai khawatir,

“Berisiklah, itu bukan urusanmu. Sudahlah, kau juga bersantai saja. Kalau kau tidak bersantai, aku juga tidak bisa bersantai.”

Kalau aku tidak bisa bersantai, bukankah sebaiknya kamu pulang?

Pikirku begitu, tapi tidak kukatakan. Aku takut sama Yanki.

TV dinyalakan.

Sebuah variety show bincang-bincang di mana para komedian tamu memainkan peran utama. Cekcok heboh antara dua stand-up comedy pada tema tertentu. Bukan berarti tidak lucu, tapi itu tidak terdengar olehku. Sedikit aroma asam-manis tercium dari mangkuk-mangkuk sushi yang tertata rapi. Suasana hatiku pahit. Ada objek asing yang menyusup ke rumah yang sudah kukenal. Aku tidak bisa menikmati waktu ini.

“Um, kalau begitu, aku akan ke kamarku.”

“Aa? Kenapa? Kalau kamu tidak di sini, aku akan di sini sendirian.”

“Em, yah. Begitulah.”

“Masak seorang tamu sendirian di rumah orang lain. Aku tidak bisa menyentuh ini atau itu tanpa izin, malah lebih masuk akal jika kamu mengawasiku agar aku tidak melakukan apa pun tanpa izin.”

“Jika kamu pulang sekarang, aku merasa semuanya akan selesai.”

“Hei, bolehkah aku mandi?”

Eh?

Tidak, apa yang kau bicarakan?

“Aku bilang mandi. Aku keringetan di batting center.”

Ya, tentunya kamu akan berkeringat karena itu.

Kenapa di rumahku? Mandinya?

“Kan ibumu sudah bilang. Tidak usah malu-malu.”

Benar sih.

Tapi bukannya itu cuman basa basi ya? Normalnya apa orang akan mandi di saat seperti ini? Emang Yanki tidak malu ya.

“[Jirō, jaga dia baik-baik!], Bibi bilang begitu, ‘kan?”

Tidak, tidak.

Dia memang bilang begitu. Tapi bukan itu yang dia maksud.

“Aku pinjam handuk mandinya. Ah, aku tidak perlu baju ganti.”

Dan terjadilah.

Kitamura Tōru sedang mandi.

Aku di ruang tamu, mendengarkan suara Kitamura Tōru yang sedang mandi.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment