-->

Cari Blog Ini

Love Comedy in The Dark Vol 1 Episode 4 (2)

Episode 4 (2)


Aku ingin seorang teman, pikirku. Sekarang juga.

Hingga saat ini, aku sama sekali tidak tertarik pada hubungan yang merepotkan dan berpikir bahwa aku bisa menangani segalanya di dunia ini sendirian. Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa aku tangani, akal sehatku berkata. Aku ingin membicarakannya dengan seseorang. Situasi apa ini? Posisi apa yang harus aku ambil? Apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang tidak punya siapa pun untuk diajak bicara dalam situasi seperti ini? Haruskah aku menelepon pusat bimbingan anak?

Lebih tepatnya, Amagami Yumiri.

Mana kata-kata dia di saat seperti ini. Katanya kami akan bersama dalam sakit maupun sehat. Aku dalam keadaan darurat ini? Belum pernah terjadi sebelumnya, aku mengharapkan kemunculanmu, tahu? Kamu bebas, bukan? Kamu pahlawan tanpa tanda jasa, bukan?

Lantas kenapa, hanya di saat seperti ini kamu tidak muncul?


[Ngomong-ngomong, aku tidak akan membantumu]

[Jirō-kun, kamu harus lakukan sendiri. Tugasmu adalah merayu keempat gadis itu]


...Ah.

Dia bilang begitu ya.

Iya, benar juga.

Dia benar-benar tidak bertanggung jawab. Habisnya, penyebab situasiku ini tidak lain dan tidak bukan adalah wanita yang menyebut dirinya bebas, Amagami Yumiri. Tolonglah tanggung jawab dikit. Jangan malah [aku tidak akan membantumu]. Kaulah yang memulai ini. Ini bukan sesuatu yang aku inginkan, atau sesuatu yang aku mulai sendiri. Jangan konyol dengan bilang, [Tugasmu adalah merayu keempat gadis itu], di mana kehendak bebasku, hak asasi manusiaku?

Sebab menurut penilaianku sendiri, aku semestinya tidak melakukan hal seburuk itu. Yumiri bilang mimpiku memiliki pengaruh buruk pada dunia nyata, tapi itu tidak dapat diprediksi dan aku tidak bertanggung jawab untuk itu, bukan?

Lagipula, tidak ada yang terbukti tentang seberapa besar pengaruh buruk yang ku sebabkan terhadap dunia ini, atau apakah dunia ini benar-benar akan hancur. Itu semua hanya keluar sendiri dari mulut Amagami Yumiri.

Aku memang melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Amagami Yumiri itu bukanlah manusia biasa. Dia rupanya serius sedang berjuang melawan krisis dunia. ...Tapi lantas kenapa? Kenapa hal itu mengarah ke situasi yang ku hadapi sekarang?

Bagaimana sebenarnya posisiku?

Sama misteriusnya dengan siapa Amagami Yumiri itu. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan mulai sekarang, atau bagaimana aku harus bersikap, yang cukup untuk membuatku tercengang. Bahkan pada tahap ini, aku masih belum tahu.

“Oi.”

Aku dipanggil.

Kitamura Tōru rupanya sudah selesai mandi.

Ia mengusap rambutnya dengan handuk mandi dan berkata, “Kamu tidak mandi?”

“Ah, tidak kok. Aku tidak mandi.”

“Fuun.”

Dia duduk di sebelahku.

Sofa berderit dengan suara ngik.

Lembut dan wangi. Aroma seperti bunga dan buah dari sampo atau sabun badan. Harusnya sama dengan yang dipakai oleh ibuku, tapi ini aromanya sangat kuat.

“Hei.”

Dia melihatku.

“Kita itu teman masa kecil, ‘kan?”

Eh?

Apa kamu menganggapku seperti itu?

“Bibi juga bilang begitu. Kan kita sudah bersama sejak SD, berarti kita teman masa kecil.”

Yah, soal itu.

Perbedaan pandangan, bener tidak sih?

Bagiku kamu hanyalah seorang yanki. Musuhku yang suka menyuruhku.

“Kamu sudah berubah, ya?”

Aku berubah?

“Berubah tahu. Kamu dulu tidak seperti ini.”

Itu jelas saja.

Waktu aku duduk di bangku SD, aku belum genap berusia 10 tahun.

Usiaku sekarang 16 tahun. Kehidupanku hampir 2 kali lipat sejak saat itu. Malah akan aneh kalau aku tidak berubah.

“Apa kau masih perjaka?”

Siapa peduli.

Kau sendiri gimana?

“Mau periksa sendiri?”

Don.

Aku didorong mundur.

Aku dengan mudah ambruk di atas sofa.

Yanki telah menunggangiku. Tubuhku membeku. Yanki menatap mataku. Wajahnya merah setelah mandi. Dadanya mengintip melalui celah blusnya yang hanya setengah terkancing. Aku bisa melihat pakaian dalam putihnya. Ternyata dia memakai yang berenda imut.

Tidak, tidak.

Tidak mungkin.

Yah, yang paling tidak mungkin itu adalah aku.

Ketidakmampuanku melawan suasana.

Kompleks inferioritas yang mirip dengan paksaan.

Kesadaran diri bahwa seperti ada yang salah.

Acara komedi di TV tampaknya sedang berada di puncaknya. Rentetan gelak tawa telah terjadi sejak tadi. Jarum detik di jam dinding berkicau seperti jangkrik yang sekarat. Lalu ada napas yanki yang sedikit tidak teratur. Bunyi putaran kipas ventilasi di kamar mandi. Cekrek, kling, terdengar suara pintu depan terbuka.

Yanki mendekati wajahku,

“A-a-ada yang ketinggalan.”

Ibuku masuk ke ruang tamu.

Bam! Dia membuka pintu, sambil menggaruk-garuk kepalanya,

“Duh jan, Ibu dalam masalah. Dokumen pentingnya ketinggalan, jadi aku kembali naik taksi. Gimana kalian berdua? Bisa akrab, ‘kan? Makannya sudah cukup?”

“Usu.”

Yanki menjawab dengan wajah kosong.

Butuh sedikit sekali waktu bagi dirinya untuk duduk kembali di atas sofa, saraf motoriknya luar biasa.

Namun, wajahnya benar-benar merah.

“Ara Tōru-chan, kamu abis mandi? Maaf ya, kamar mandi masih kotor. Kalau saja aku tahu kamu akan datang, aku akan menyiapkan kosmetik dll. ...Ah, baiklah, Bibi mau pergi lagi, luangkan waktumu! Hei Jirō, kamu beneran jaga dia baik-baik loh!? Dan maaf, kunci pintu depan!”

Setelah mengatakan itu, Ibu berlari keluar.

Acara TV beralih ke iklan setelah diakhiri dengan lelucon yang meriah.



“...Eh? Terus?”

Amagami Yumiri terdengar tidak percaya.

Di malam hari itu. Dalam mimpi.

“Sudah itu saja.”

Kataku.

Aku duduk di atas takhta, menyandarkan daguku dengan lenganku di sandaran tangan.

Ngomong-ngomong, aku suka frasa ini. [Duduk] → [sandaran tangan] → [menyandarkan dagu], tiga bagian tubuh secara berurutan. Ini hanya kebetulan, tapi indah. Sebagai anggota dari klub sastra, aku sangat terkesima. Tidak, itu benar-benar tidak penting. Aku hanya ingin melarikan diri sejenak dari kenyataan.

“Jesus.”

(Tln: Anjay. Ini tanpa translate ya)

Kata Yumiri.

Itu diucapkan dengan sangat buruk. Terasa sekali aku seperti sedang diolok-olok.

“Tidak bisa dipercaya. Tidak terjadi apa-apa dalam situasi itu?”

Yumiri menggelengkan kepalanya.

Tak hanya itu, ia juga mengangkat bahunya dengan kedua telapak tangannya menghadap ke langit.

Terus terang saja itu cukup menjengkelkan ketika dia berpose seperti itu sambil berpakaian seperti dokter wabah.

“Jirō-kun, kamu paham gak sih?”

“Soal apa?”

“Semuanya. Posisimu, kesalahanmu, kehidupanmu selama ini, dan kelahiranmu itu sendiri.”

“Lah semuanya disalahin. Kamu ingin bilang kalau keberadaanku itu sendiri tidak berguna?”

“Mau aku bilang apa juga kamu tidak bisa mengeluh, bukan?”

Yumiri menunjuk jarinya padaku dan berkata,

“Separah itulah kelakuanmu. Karena tidak melakukan apa pun, kau telah mempermalukan dirimu sendiri. Tragedi seperti ini belum pernah terjadi.”

“....Sampai segitunya?”

“Kuberitahu ya. Apa kamu ini benar-benar seorang pria dengan kromosom Y? Sebagai manusia, sebagai makhluk hidup apa kau tidak malu? Menolak perempuan yang ingin bereproduksi itu kan tindakan biadab yang sama dengan mengubah hukum alam semesta.”

“...Sampai segitunya?”

Aku terluka.

Ucapannya nyakitin banget.

Kau itu pacarku, bukan? Dalam sakit maupun sehat, bukan? Tidak bisakah kau sedikit bersikap baik padaku?

“Itulah sebabnya aku menceramahimu.”

Yumiri menusuk-nusukkan jarinya lagi padaku.

Ngomong-ngomong, dia berada di pangkuanku lagi malam ini.

“Akulah yang ingin mengatakan itu. Kau ini pacarku, bukan? Kau harus bersikap lebih seperti pacarku dengan merayu keempat gadis itu dengan benar.”

Logikanya kacau.

(Tln: Asli dah emang kacau LN ini, tapi itu menariknya)

Normalnya emang ada ya, pacar yang menyurumu seperti [merayu keempat gadis itu]?

Yah, Amagami Yumiri ini memang tidak normal sih. Itulah satu-satunya hal yang kuketahui dalam beberapa waktu terakhir yang cukup membuatku membencinya.

Nah mari kita kembali ke awal.

Bagian mana dari misi yang diklaim Yumiri terkait dengan menyelamatkan dunia dari kehancuran?

Dia bilang jika ressentiment-ku teratasi, maka aku tidak perlu bermimpi lagi dan dunia bisa terselamatkan. Dan pastinya ressentiment-ku berpusat pada Hikawa Aoi, Shōunin Yoriko, Hoshino Miu dan Kitamura Tōru. Tapi apakah itu benar-benar cara terbaik? Apakah tidak ada cara lain?

Misalnya, ini terus terang saja ya. Dan kurasa aku tidak seharusnya mengatakannya. Bukankah lebih cepat dengan membunuhku saja? Ini adalah imajinasi yang menakutkan untuk dipikirkan, tapi Yumiri pasti memiliki kekuatan untuk melakukan itu, bukan?

Aku tidak bisa menghilangkan ketidaknyamananku.

Aku tidak bisa bertanya seperti, apa tujuanmu yang sebenarnya.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment