-->

Cari Blog Ini

Love Comedy in The Dark Vol 1 Episode 4 (4)

Episode 4 (4)



Kitamura Tōru ternyata punya waktu luang.

Sepulang sekolah. Kami mengunjungi game center yang sama seperti kemarin.

“Hari ini patungan loh, bangsat.”

Sembari main game action jadul yang jalanannya kesamping, dia mengingatkanku.

“Aku tidak punya banyak uang. Jadi kamu hari ini ikut bayar, ya? Woh?”

“Ah, ya. Aku bayar kok.”

“Yah, kalau main game jadul, aku bisa bertahan untuk waktu yang agak lama. Kalau mainku lagi bagus-bagusnya aku bisa menyelesaikannya tanpa lanjut, jadi tonton saja aksiku dari sana.”

Perkataanku ini mungkin agak gimana ya, tapi aku tidak punya masalah dengan uang.

Karena di keluargaku ada sistem di mana aku bisa mendapatkan uang saku tanpa batas atas. Namun ada syaratnya, yaitu aku harus menyampaikan alasan penggunaan uang tersebut dan memberikan tanda terima atau kuitansi nantinya.

“Ini cukup sulit ya.”

Kata Kitamura Tōru sambil menggerakan stik analog dengan cepat.

“Karena ini game lawas, jadi pengaturannya sangat berat. Main coop butuh banyak uang dan itu malah bisa menghambatku.”

Sambil menjelaskan, dia memainkan gamenya seperti sudah terbiasa.

Kelihatan sekali kalau dia sering memainkannya. Dia mungkin pergi ke game center setiap hari untuk menghabiskan waktu.

Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan.

“Hei.”

“Napa?”

“Kitamura, kenapa kamu menjadi yanki?”

“Buhoh!”

Tersedak.

Keho, koho. Ia terbatuk-batuk, tapi tangannya tidak pernah melepaskan analog dan tombolnya,

“Kau, hei. Jangan tiba-tiba lakukan itu. Aku terkejut.”

Hm?

Lakukan apa?

Aku berpikir sejenak dan segera tersadar.

Oh iya. Aku mungkin sudah memanggilnya dengan panggilanku padanya dulu, tadi.

Aku dulu memanggilnya Kitamura. Mengingatnya kembali, rasanya nostalgia.

“Buat apa kamu nanyain itu?”

“Enggak. Cuma ingin tahu.”

“Tidak serumit itu kok.”

Hmph, dia mengendus,

“Cerita umum. Sekolah tempat aku pindah tu sangat liar dan aku dikeluarkan. Aku menyimpang karena tidak sanggup keluar. Itu adalah daerah yang agak pedesaan dan ada banyak anak-anak sepertiku. Orang tuaku juga bercerai.”

“Begitu.”

“Aku belajar sedikit untuk ujian, kembali ke sini, dan masuk ke sekolahanku sekarang. Tapi tidak ada yanki di sini, dan aku masih menyimpang bahkan setelah balik ke sini. ...Justru malah aku yang ingin bertanya padamu. Kenapa kau jadi sepayah ini?”

“Aku?”

“Siapa lagi kalau bukan kamu? Kau dulu memiliki kepribadian yang lebih baik, bukan? Kau sekarang jadi pria yang suram. Dan kau bahkan mengabaikanku.”

“Ah. Yah.”

“Jangan malah, Ah. Yah.”

Kakiku ditendang.

“Tidak ada alasan. Biasa aja.”

Jawabku sambil mengelus bagian yang ditendang.

Kitamura jago main game. Lariats, piledrivers, jurus-jurus mencolok terus dia lakukan. Lancar-lancar saja selama dia bermain, meskipun dia bilang [ini cukup sulit].

“Kurasa aku takut, mungkin.”

“Kamu takut? Sama apa?”

“Semua yang ada di dunia.”

“Skalanya besar sekali oi.”

“Tapi itu benar. Sewaktu masih SD, kupikir aku bisa menjadi anak nakal dengan melakukan apa pun yang ku inginkan, melakukan hal konyol, dan bersenang-senang secukupnya. Tapi tiba-tiba aku menyadari. Gimana ya, ada seperti tembok, seperti batas... seperti terputusnya hubungan antara kerumitan dunia dan diriku sendiri. Ini seperti suatu hari tanah di bawah kakiku tiba-tiba lenyap dan aku tidak bisa melihat ke atas atau ke bawah, ke kanan atau ke kiri, tidak ada yang bisa kulihat. Makanya, tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain memejamkan mata, meringkuk seperti kura-kura dan membiarkannya berlalu, bukan? Apa kau tahu bagaimana perasaanku?”

“Mana kutahu. Emangnya kau sastrawan, ya? Suka banget merangkai kata yang sulit dipahami.”

Bashi, bashi, zudon.

Dia menghabisi mid-boss dengan kombo.

Sejauh ini, permainan dia nyaris sempurna.

“Yah, bukannya aku sama sekali tidak mengerti. Kau hanya melebih-lebihkannya.”

“Apa iya aku melebih-lebihkannya?”

“Iyalah. Hampir semua orang merasakan, apa yang kamu rasakan itu. Mungkin sih. Itu normal bagi remaja. Hanya saja, kamu lebih sensitif daripada orang lain.”

“Apa kau juga merasakannya, Kitamura? Perasaan semacam itu.”

“Entahlah. Aku tidak tahu itu.”

Kombonya salah.

Dia langsung kalah, game over.

Mendecakan lidah dia melanjutkannya. Kepribadian dia yang mudah marah, kalau dipikir-pikir, mungkin dari dulu tidak pernah berubah. Ia juga cukup mudah jengkel.

Dan mungkin, dia telah berbohong.

Karena ‘mereka yang tidak tahu’ tidak akan pernah tahu, dan ‘mereka yang tahu’ pasti akan merasakannya secara mendalam. Kitamura mungkin yang terakhir. Balasan [Entahlah] itu tidak mungkin.

“Dalam arti berubah, kaulah yang telah berubah.”

Kataku sambil menatap punggung yanki yang mencondongkan tubuhnya ke depan.

Terlebih lagi dalam kasusnya, mudah dibayangkan mengapa dia berubah. Sama sepertiku, ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah yang mapan. Seandainya tidak ada yang terjadi padanya, hidupnya akan terasa lebih mudah, tapi karena banyak hal terjadi padanya, dia menghabiskan waktunya di game center di ujung jalan, di mana hanya game retro yang dipajang. Dia mengecat rambutnya dan mengubah cara bicaranya.

Yang kuketahui adalah, bahwa tidak ada gunanya bertanya tentang [banyak hal] itu sekarang.

[Kenapa kamu menjadi yanki?]

Bodoh sekali aku menanyakan itu.

[Kau sendiri kenapa jadi pria suram?]

Jika ditanya begitu, aku hanya bisa memberikan jawaban yang tidak jelas.

“Aah, sial. Permainanku sedang buruk. Oi ayo pergi, kita pindah tempat.”

Kami meninggalkan game center.

Matahari terbenam lebih cepat. Angin yang bertiup melintasi kota sangat kering, dan rasanya orang-orang di jalan berjalan lebih cepat daripada yang seharusnya.

“Ngomong-ngomong, apa tujuanmu hari ini?”

Berjalan ke depan, Kitamura berkata.

“Tumben ngajak aku jalan. Kau kan biasanya takut padaku.”

“Bolehkah aku tanya, soal kemarin?”

“...Soal kemarin apa sih?”

“Soal kemarin itu, maksudku yang kemarin. Semua yang terjadi kemarin.”

“Maksudmu yang di game center. Kau payah dalam game menembak, ‘kan? Kau harus sedikit lebih banyak latihan, kalau tidak, kau akan jadi sapi perah toko itu.”

“Maaf deh. Tapi bukan soal itu.”

“Apa soal burger? Kau makannya sedikit. Kau tidak sependek itu dulu seingatku. Hari ini kamu makan siang tidak? Kalau kamu lapar, mau aku belikan roti di toserba yang ada di sana?”

“Terima kasih. Tapi tidak usah.”

“Dan hei, kau dulu juga main baseball, ‘kan? Apaan itu pukulanmu kemarin? Benar-benar payah. Bagaimana bisa malah aku yang memukul lebih banyak home run? Latihan lagi yang benar, sebelum kita main lagi.”

“Akan kulakukan yang terbaik sebisaku.”

“Ah, pizza dan sushinya benar-benar enak! Iyaah, sudah lama aku tidak makan makanan yang selezat itu. Titip salam terimakasihku buat Bibi, meskipun tidak ada yang bisa kulakukan untuk membalasnya! Ahahaha!”

“Yang ingin kutanyakan adalah apa yang terjadi setelah itu.”

“Lupakan saja.”

Hanya di sini dia langsung membalas. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku.

Aku mengejar topik ini.

“Tidak, aku tidak bisa. Melupakan begitu saja.”

“Tidak, lupakan saja. Toh tidak terjadi apa-apa pada akhirnya. Yang lalu biarlah berlalu, dasar bodoh.”

“Tapi kan.”

“Kenapa kau begitu terpaku dengan itu? Kau kan cuma pengecut yang tak punya nyali.”

“Itu benar, tapi.”

“Lupakan saja.”

Berhenti berjalan.

Dia mencengkeram dadaku.

Kemudian dia mendorongku ke tiang listrik di dekat kami hingga berbunyi don.

Aku dipelototi.

Tatapan yang sudah biasa dia lakukan ini memiliki cukup intensitas. Dan itu sudah cukup untuk membuatku sangat takut. Begitu angin kepengecutan bertiup, angin itu tidak akan berhenti dengan mudah. Karena aku juga sudah biasa menjadi pria suram.

“Aku tidak bisa.”

Namun, aku menekan suara gemetarku dan berkata.

“Aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak bisa tidak menanyakannya. Tidak peduli betapa pengecutnya aku, aku tak bisa melakukan itu. Kenapa, Kitamura? Kenapa kau melakukan itu kemarin?”

“——uh.”

Kitamura tetap diam sambil memelototiku.

Cengkramannya sangat kuat. Mungkin karena dia makan banyak meskupun tubuhnya kurus. Seharusnya aku sangat ketakutan dari lubuk hatiku, tetapi salah satu sudut kepalaku entah bagaimana bisa tenang. Aku bisa melihat dengan jelas telinga Kitamura yang tersembunyi dibalik rambutnya yang dicat sangat memerah. Biarpun sorot matanya tajam, aku juga bisa melihat dengan jelas bahwa dia setengah menangis.

Tiba-tiba aku merasakan keanehan.

Apa ini? Rasanya ada yang aneh. Suara yang ada terdengar jauh sekali, pemandangannya tampak sangat jauh———semua yang ada disekitarku terkesan sangat ringan dan tipis. Bisa dibilang, ini seperti pikselnya telah mati. Atau seperti gambar TV 4K yang tiba-tiba berubah menjadi gambar hitam-putih.

“...Aku bermimpi aneh.”

Agak tertunduk, ia bergumam.

Jantungku tiba-tiba berdebar-debar.

“Aku tidak bisa menjelaskan mimpi seperti apa itu. Sebab aku tidak mengingatnya. Tetapi itu adalah mimpi yang aneh. Mimpi itu sangat jelas dan masih membekas bahkan setelah aku terbangun. Setelah memimpikan itu, aku merasa seperti bukan diriku sendiri. Aku merasakan perasaan aneh, seperti tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.”

“....Di mimpi itu, apakah ada aku?”

“Kamu? ...Aah. Ya. Kamu. Ada di sana, Jirō. Benar, kau ada di sana. Kenapa aku bisa lupa? Disamping itu, kenapa kau bisa tahu kalau kau ada dalam mimpiku?”

Keanehan yang kurasakan kedua kalinya.

Mata Kitamura Tōru yang memelototiku saat masih ditekan ke tiang listrik. Rasanya seperti memancarkan cahaya yang aneh. Apakah ini kondisi kesurupan? Atau imersi? Seolah-olah dia melihatku, tapi sebenarnya dia melihat sesuatu yang sama sekali berbeda. Apakah itu yang disebut kesurupan?

(Tln: Imersi adalah tenggelam dalam, atau sangat fokus pada sesuatu)

“Dalam mimpi itu, kau dan aku memiliki hubungan yang cukup baik. Kau bukan pengecut seperti sekarang, dan aku bukan pemarah seperti sekarang. Kita ngobrol dengan normal, biasa ngumpul, terkadang kita bermain bersama dan tertawa bersama. Papa dan Mamaku tidak bercerai, Mama menyiapkan camilan untukku setiap hari, ia tidak menyuruhku untuk membeli minuman keras dan ia tidak mengangkat tangannya padaku.”

(Tln: Mengangkat tangan = melakukan kekerasan)

Amagami Yumiri pernah berkata.

Bahwa mimpiku mengikis dunia nyata.

Orang-orang yang ada di dalam mimpiku semuanya adalah orang yang ada di dunia nyata, dan efek dari memutarbalikkan kenyataan dalam mimpiku sudah mulai terlihat.

“Ketika aku terbangun seusai bermimpi, aku selalu menjadi gila. Akhir-akhir ini selalu begitu. Aku merasa seperti bukan diriku sendiri, seakan-akan diriku yang lain sedang mengawasiku dari belakang. Diriku yang lain tidak bergerak seperti yang kuinginkan. Dia melakukan hal-hal yang tidak akan pernah kulakukan. Aku jadi tidak mengenali diriku. Entah mana diriku yang sebenarnya. Aku yang tidak bergerak seperti yang kuinginkan, tapi bisa melakukannya apa yang tak bisa kulakukan sendiri, kupikir itu jauh lebih seperti diriku——atau lebih tepatnya, aku merasa seperti aku belum terbangun dari mimpiku.”

Keanehan yang kurasakan ketiga kalinya.

Tak ada orang di sekitar.

Di sebuah gang yang agak jauh dari pusat kota, tapi seharusnya masih ada banyak orang di sana-sini di jam-jam segini, namun tidak ada satu orang pun yang terlihat. Tanda-tanda kehadiran mereka pun tak ada.

Tidak, tunggu.

Sekarang ini malam atau siang? Di mana bulannya? Di mana mataharinya?

Apakah ini dunia yang aku kenal?

Dan saat berikutnya.

Rasanya——pemandangannya meliuk-liuk dengan fleksibel.

“Hei, Jirō.”

Suaranya datang dari atas.

Aku menengadah ke arah suara itu.

Aku hampir terduduk di tempat.

Kitamura Tōru yang seharusnya ada tepat di depan ku, tidak ada.

Ada makhluk lain sebagai gantinya.

Itu monster.

Ia seperti seorang gadis kecil, seperti badut, seperti bandit——bagaikan kupu-kupu yang berpakaian untuk pesta malam hari, ia juga tampak seperti orang barbar bersenjata. Ada keanehan dalam kombinasi kompleks dari berbagai elemen, meskipun begitu ada keindahan yang anehnya menggetarkan hatiku, namun tampaknya itu adalah sesuatu dari dimensi lain yang tidak dapat dipahami oleh mata dan otakku.

(Tln: keanehan di sana bahasa inggrisnya grotesque)

Dan terlebih lagi, dia besar dan tampak ganas.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment