Bab 6
Yang Ditinggalkan oleh Airi
3
Waktu menjelang jam 3 sore.
Aku meninggalkan maid café untuk mempersiapkan rencana terakhir.
Tidak ada yang tahu persis berapa banyak hasil penjualan yang dibutuhkan untuk mendapatkan tempat pertama.
Tentu saja jika bisa mendapatkan lebih dari separuh poin pribadi yang beredar, peringkat pertama pasti bisa didapatkan, tapi itu hampir mustahil dilihat dari mekanismenya.
Dengan kata lain, mengumpulkan pendapatan sebanyak mungkin yang bisa dikumpulkan sampai saat-saat terakhir festival budaya itu penting.
Konsep kafe para siswa, baik di kelas Horikita maupun Ryūen diterima dengan baik.
Perbandingan satu lawan satu mengejutkan banyak tamu, dan mereka dapat diminta kerjasamanya untuk mengunjungi salah satu atau kedua kelas.
Perubahan baru dalam situasi ini, yang tampaknya menemui jalan buntu dan bersaing ketat, terjadi ketika aku datang ke konsep kafe kimono untuk mencari tahu bagaimana keadaan lawan.
Antrean panjang para pelanggan sedang menunggu untuk memasuki toko sekarang.
“Kerumunan orang di sini juga tidak kalah besarnya ya.”
Bisnis mereka berkembang pesat lebih dari yang ku bayangkan dan tidak ada waktu untuk berbicara dengan siswa dari kelas Ryūen.
Tidak semuanya bisa dinilai hanya dengan melihat kondisi terkini, tapi aku menduga ada sedikit perbedaan dalam jumlah poin yang diperoleh.
Kami berada dalam kondisi yang cukup baik untuk mengincar peringkat teratas, tapi meskipun demikian, sama sekali tidak ada jaminan mutlak.
“Maaf memanggil Anda jauh-jauh ke sini, Chabashira-sensei.”
Aku memanggil Chabashira-sensei yang sepertinya akan menggunakan poinnya selain untuk kelas tahun kedua di sekolah.
“Apakah Anda sudah selesai menghabiskan poin pribadi Anda?”
“Hm? Ya, masih sisa 80 poin. Bisa dibilang sudah sudah habis. Memang kenapa?”
Waktu yang diberikan tampaknya sudah ia gunakan dengan baik untuk menuntaskan kontribusinya dalam festival budaya ini sebagai seorang guru.
“Dengan kata lain, apa boleh kuanggap kalau Anda punya waktu luang untuk beberapa jam ke depan?”
“Begitulah. Aku hanya tinggal menunggu selesainya festival budaya... ada apa sih?”
Dia tidak tahu alasan kenapa dia dipanggil ke sini dan terlihat bingung.
Kafe kimono hanyalah latar belakang. Aku tidak mengatakan hal-hal seperti, mereka berkembang pesat atau ada kemungkinan kelas Horikita kalah.
Cukup dengan membuat Chabashira-sensei melihat dan menafsirkan momentumnya sendiri.
“Sebenarnya———aku ingin minta kerjasama dari Chabashira-sensei selama satu jam lebih ke depan.”
“Tunggu Ayanokōji. Kerjasama? Aku tidak mengerti apa maksudmu...”
Para guru ikut berkontribusi dalam festival budaya dengan menghabiskan poin di sekolah.
Hanya tugas itu yang diberikan pada mereka hari ini.
“Aku ingin Chabashira-sensei menjadi maid supaya bisa menghasilkan penjualan di maid café.”
Aku menyampaikan strategiku untuk memantapkan kemenangan kami....
“...Ha?”
Dia mungkin belum pernah mendengar permintaan yang sebodoh itu.
“Aku jadi maid? Aku belum pernah dengar soal itu... apa yang kau bicarakan?”
“Sebab aku baru ini membicarakannya. Aku hanya lakukan apa yang kubisa untuk menang.”
“Kenapa aku harus menjadi maid? Terlebih lagi aku adalah seorang guru. Dan aku juga wali kelasmu. Aku tidak boleh memihak pada kelas tertentu.”
“Itu tidak benar. Di bawah aturan yang berlaku saat ini, guru sekolah harus diperlakukan seolah-olah mereka adalah tamu undangan. Guru wali kelas tidak boleh menggunakan poin di tahun ajaran yang sama dengan kelas mereka. Hanya dua aturan itu yang diberlakukan. Juga tidak ada aturan bahwa hanya siswa yang boleh ambil bagian dalam kreasi. Dalam kasus-kasus ekstrem, seharusnya kami boleh meminta mereka untuk melayani tamu undangan. Regulasinya tidak biasa, tapi itu hanya masalah yang bisa diselesaikan jika pihak yang diminta setuju.”
Ini bukan tindakan yang dilarang menurut aturan.
Jika ini adalah tindakan pembelian barang dengan pengeluaran pribadi selain poin yang dapat digunakan di toserba, Keyaki Mall atau festival budaya secara mendadak, maka ini jelas menjadi pelanggaran.
Akan tetapi, dalam hal [sumber daya manusia] tidak diperlukan prosedur dan mereka diperlakukan secara bebas.
Chabashira-sensei tampak tak bisa berkata apa-apa karena belum begitu paham.
“Biarkan aku jelaskan dengan kalimat yang mudah dimengerti. Misal ada seorang siswa sedang membawa barang berat dan berjalan dengan tehuyung-huyung. Seorang tamu yang lewat menawarkan bantuan dan membawa barang itu di pundaknya ke tempat tujuan. Apakah itu suatu pelanggaran?”
“...Itu bukan pelanggaran.”
“Iya kan. Contoh itu juga bisa digantikan oleh para siswa. Kelas A tahun kedua meminta bantuan Kelas D tahun kedua dan Kelas D langsung menyetujuinya. Apakah akan ada masalah jika meminjamkan siswa?”
Alasan meminjamkan itu ada bermacam-macam. Untuk memberikan bantuan atas dasar ketulusan. Taktik untuk menimbulkan masalah di internal kelas, atau pertukaran tenaga kerja untuk mendapatkan imbalan.
Apa pun alasannya, asalkan sesuai aturan, sekolah tidak bisa menyalahkan tindakan itu.
Kenyataannya, bahkan hanya dengan berjalan-jalan di sekitar sekolah, ada beberapa siswa yang membantu kelas di tempat lain.
“Kurasa tidak ada... masalah.”
“Sama halnya dengan itu. Kesediaan seorang guru untuk bekerjasama itu sendiri tidaklah melanggar aturan.”
“Tidak, itu tidak bisa. Itu masih akan dianggap telah mengulurkan tangan untuk kelas yang kami tangani.”
“Benar juga. Biarpun secara umum diperbolehkan, tidak ada jaminan bahwa pendapat seperti itu tidak akan dilontarkan.”
Itulah sebabnya, perlu digunakan aturan yang jelas untuk membuatnya sah.
“Aku akan membayar poin pribadi yang harus dikeluarkan untuk meminjam bantuan seorang guru. Aku yakin sekolah juga sudah melihat kemungkinan itu untuk mengantisipasi festival budaya ini.”
“Jangan bilang———tidak, tapi... itu cukup masuk akal...”
Tebakanku benar. Ia menunjukkan ekspresi seperti itu.
Chabashira-sensei juga seorang guru di sekolah ini dan telah menangani kelas yang berbeda di masa lalu.
Sekolah membuat berbagai asumsi tentang festival budaya yang belum pernah diadakan di masa lalu itu hal yang wajar.
Pada prinsipnya, poin pribadi di sekolah ini adalah senjata yang ampuh. Aku tidak heran jika itu tidak hanya digunakan untuk belanja sehari-hari, tapi juga bisa untuk merekrut orang jika diperlukan.
“Di sekolah ini tidak ada yang tidak bisa dibeli dengan poin pribadi. Benar, ‘kan?”
Menyangkal hal ini berarti menyangkal sekolah.
Dan itu seperti mengakui bahwa dirinya telah gagal sebagai seorang guru.
Tidak ada hak untuk menolak bagi Chabashira-sensei, bahkan jika aslinya dia enggan.
Dengan panik, Chabashira-sensei mulai membaca peraturan terkait festival budaya di ponselnya.
“...Untuk meminta kerjasama seorang guru, kamu harus membayar 100.000 poin pribadi per jam.”
“Sepertinya aturan di balik layar yang hanya dimiliki oleh sekolah sudah disiapkan dengan baik, ya. Seperti pilihan itu.”
Ini sama seperti ketika aku dulu membeli nilai ujian dengan poin pribadi.
“100.000 poin per jam loh. Bukan persyaratan yang murah... apa kau yakin?”
“Tentu saja.”
Meminta kerjasama seorang guru pada dasarnya tidak banyak membantu.
Mau itu memintanya untuk memasak atau melayani pelanggan, jika ia belum berlatih sebelumnya, itu adalah pemborosan poin pribadi begitu dia jadi sekutu selama sekitar satu jam.
Jika ingin dia melayani di kedai, memang sulit untuk melakukannya tanpa persiapan.
Namun, jika digunakan dengan cara yang berbeda dari biasanya, kami juga bisa mendapatkan manfaat dari membayar poin pribadi yang tinggi ini.
“Apa kau benar-benar yakin?”
“Anda sangat bertele-tele ya, Chabashira-sensei. Aku tidak punya banyak waktu sekarang, jadi suka tidak suka aku ingin meminta kerjasama Anda.”
Lewat dari jam 3 sore, ia tidak akan bisa membantu selama satu jam penuh dan efisiensinya akan berkurang.
“Tu-Tunggu. Oh iya, kenapa kau tidak minta ke Chie saja? Dia lebih baik dariku dalam hal semacam ini. Dia juga harus menjalankan tugasnya sebagai guru mau itu di kelas saingan pun.”
“Sepertinya. Tapi, yang kucari sekarang bukanlah seseorang yang bisa melakukan berbagai hal dengan cekatan, melainkan seseorang yang canggung. Karena aku yakin, semakin canggung, atau semakin orang itu sulit didekati, maka itu akan semakin efektif.”
“Gak ngerti... aku sama sekali gak ngerti logikamu.”
Jauh di lubuk hatinya, kurasa dia memang tidak menyukai ide ini dan tidak memahaminya.
Justru karena dia tidak memahaminya, Chabashira-sensei berfungsi seperti yang kubayangkan.
(Tln: target Kiyo itu wanita dewasa yang siap menikah tapi sulit didekati)
“Tidak ada waktu lagi. Tolong kerjasamanya.”
Memaksanya untuk mengambil ponselnya, aku pun membayar poin pribadi pada Chabashira-sensei.
“Dengan ini kontrak sudah dibuat.”
“Da-Dasar pengecut kau Ayanokōji. Beraninya menggunakan aturan sekolah.”
(Tln: wkwkwkw. Sebelumnya ngetawain Kiyo karena jadi manager kafe, sekrang kena batunya)
Itu bukan pengecut atau apa pun, kupikir ini adalah cara bertarung yang sangat adil....
“Aku sama sekali tidak tahu cara kerja di maid café. Nanti jadinya seperti apa aku tidak mau tahu, loh.”
“Tidak masalah. Aku tidak mengharapkan apa pun dari Sensei.”
Selama ada fakta, bahwa Chabashira-sensei yang mengenakan pakaian maid berada di dalam kelas, maka kami bisa menang.
Njing bisa amat Kiyotaka maksa gurunya. Pantesan foto sampul berwarna ada Chabashira make pakaian maid. Ternyata ini. Kayanya buat narik pelanggan orang orang dewasa sih.
ReplyDeleteBtw Hasebe cakep apalagi diwarnai ilustrasinya.
Masih nunggu penjelasan soal Ibuki yg ngunci lengan seseorang mirip Yagami.
Karma untuk mu chabashira main ngancam² ayano aja, sekarang kenak akibatnya kan
ReplyDeleteUwooh, Chabashira sensei maid
ReplyDelete