Bab 6
Yang Ditinggalkan oleh Airi
2
Waktu aku membawa Akito ke stan, anak laki-laki menerimanya tanpa ragu-ragu, meskipun sambil diledek.
Mata Akito sedikit memerah saat dia mengucapkan terima kasih atas sambutan hangat mereka.
Mungkin faktor utamanya adalah karena dia bukan tokoh sentral dalam situasi konflik ini.
Sayangnya, Keisei mantan grup Ayanokōji tidak ada karena ia baru saja beristirahat.
Kembali ke maid café di gedung khusus, antrean panjang masih berlanjut.
Kushida sedang membagi-bagikan kue baru sambil melayani pelanggan dengan senyuman.
Baik tua maupun muda, banyak tatapan mereka itu terpusat pada Kushida seolah-olah mereka ditenangkan olehnya.
Maaf untuk Azuma, yang bekerja keras bersamanya, tapi kontribusi mereka sangat berbeda.
“Silahkan datang kembali, Nona-Nonaa!”
Satō berseru dan menuntun mereka menuju pintu masuk.
Dua tamu wanita meninggalkan kelas, melambaikan tangan kepada para maid.
Kemudian pelanggan berikutnya masuk tanpa jeda dan diantar ke kursi yang kosong.
Tikar dan kursi yang semula disediakan di ruang kelas ini dikurangi demi pemandangan, tapi sekarang itu dibawa masuk dan disusun ulang di antaranya untuk meningkatkan jumlah pelanggan.
Normalnya, mereka seharusnya diberi lebih banyak ruang untuk bersantai, tapi apa boleh buat karena kami harus menghasilkan uang sampai akhir dari waktu yang tersisa.
“Sepertinya dia akan datang.”
Mendengar sepatah kata dari Kushida yang sempat menampakkan diri dari koridor, aku menunggu orang itu datang untuk bekerja.
“Hah, hah, hah! Susah sekali ini dipakai lari!
Haruka telah tiba, kehabisan nafas dan bahunya naik dan turun dengan cepat.
Para maid pun sejenak teralihkan perhatiannya oleh kehadiran Haruka, tapi mereka sadar sekarang bukan waktunya untuk itu.
Mereka segera mengalihkan pikiran mereka pada apa yang perlu mereka kerjakan.
Tidak ada yang bertanya mengapa ia datang ke sini atau pertanyaan lainnya.
“Hasebe-san, di mana kamu berganti pakaian?”
“Di toilet wanita.... Itu repot banget.”
“Bisa kubayangkan.”
Karena di depan banyak orang, Kushida dalam mode malaikat menyapa Haruka dengan senyum pahit.
“...Gimana statusnya?”
“Tanyakan saja pada Horikita-san. Aku masih sibuk mengatur antrean.”
Horikita yang berpakaian maid memanggil Haruka ke ruang tunggu.
“Aku tidak percaya kamu datang.”
Horikita mengawalinya dengan mengucapkan beberapa patah kata untuk menyambutnya dan dengan lembut menepuk punggung Haruka yang tampak kaku.
“Padahal aku pikir kamu tidak akan menunjukkan wajahmu hari ini, kamu datang dengan tekad, bukan?”
Meski belum sepenuhnya pulih, Haruka menjawab dengan anggukan sambil menenangkan napasnya.
“Kamu aslinya tidak ditugaskan untuk menjadi maid. Kamu bahkan tidak berlatih. Aku tidak yakin kamu bisa selincah Satō-san dan yang lainnya, tapi... sekarang kita sangat sibuk.”
Maka melemparnya ke pertempuran terberat, yaitu langsung melayani pelanggan jadi tidak bisa dihindari.
“Kamu ke sini untuk berkontribusi di festival budaya. Bisakah aku mempercayai itu?”
“Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang akan menghancurkan kerja keras semua orang. ...Yah kurasa kau tidak akan mempercayainya.”
“Tidak, aku mempercayaimu.”
Horikita mengungkapkan kepercayaannya pada kata-kata Haruka tanpa ragu-ragu.
“Kenapa...?”
“Aku bisa tahu dengan melihat matamu. Ayanokōji-kun pasti telah membujukmu dengan sangat baik.”
“Oi.”
“Dan juga Kushida-san. Aku tidak menyangka dia akan menekanku dengan berpakaian maid.”
“Kushida-san melakukan itu? Aku tidak tahu kapan dia meninggalkan posisinya...”
Horikita rupanya tidak menyadari ketidakhadirannya, mungkin karena ia sibuk di aula.
“Pokoknya, kamu harus lupakan dendammu padaku sampai festival budaya berakhir, bahkan jika kamu tidak menginginkannya.”
“...Aku tahu.”
“Baguslah kalau begitu. Tugasmu menuangkan air dingin untuk pelanggan yang kehabisan air dingin, dan jika diminta, kamu harus ikut pengambilan foto. Paham?”
“Aku akan mencobanya dulu.”
Karena sudah sampai sejauh ini, Haruka adalah ikan di atas talenan.
(Tln: situasi di mana nasib seseorang berada ditangan orang lain)
Pernyataan naif seperti ingin melakukannya atau tidak ingin melakukannya, tidak bisa diterima.
“Aku harus istirahat wajib mulai jam 3, jadi sisanya aku serahkan padamu, Ayanokōji-kun. Kamu urus dia.”
“Yang bisa kulakukan hanyalah mengambil foto yang bagus.”
Aku sudah mengambil puluhan lembar foto hari ini. Dan aku baru saja menguasainya.
Haruka mengangguk, menarik napas dalam-dalam setelah menatapku sekilas. Kemudian dia meninggalkan ruang tunggu sambil membawa teko berisi irisan lemon dan mulai berjalan di sekitar kedai.
Sambil memperkenalkan dirinya pada setiap orang, dia membungkuk dengan sopan.
Tentu saja itu tidak mulus, dia jelas terlihat kurang latihan dibandingkan dengan para maid lainnya.
Namun sebaliknya, itu juga membuat orang-orang dewasa memandangnya dengan hangat.
Selain itu, Haruka memiliki sisi menarik sebagai seorang wanita, secara tidak sadar mudah disukai oleh orang lain, sekalipun isi hatinya itu tidak terlihat.
“Terlepas dari kita menang atau kalah, akhirnya kita bisa merasa lega sebagai sebuah kelas.”
“Iya.”
“Ayanokōji-ku~n. Hasebe-san menerima pesanan 3 kali foto! Tolong ya~!”
Segera setelah suara Satō mencapai ruang tunggu, aku menyiapkan kamera.
Horikita juga akan bersiap untuk melakukan upaya terakhir di sisa waktunya sebelum dia istirahat.
“Sampai nanti.”
Setelah Horikita meninggalkan ruang tunggu, aku fokus pada papan di ruangan itu.
Ini dibuat supaya mudah untuk sekilas melihat siapa yang paling banyak dipilih dan bersedia untuk difoto, tapi Kushida dengan 56 foto, paling banyak fotonya diambil meskipun dia sempat menghilang. Sato di tempat kedua dengan 24 kartu, artinya ini adalah kemenangan telak untuk Kushida.
Ngomong-ngomong, untuk Horikita, mungkin karena dia kurang ramah jadi hanya 11 foto yang diambil.
Kalau hanya penampilan, kurasa dia tidak kalah dari Kushida, tapi mungkin bukan itu yang terpenting.
Yang paling penting adalah keramahan, yang kedua dalah keramahan... kurasa.
“Bahkan jika Haruka coba melawan mulai dari sini, dia sudah pasti tidak akan bisa melampaui rekor ini.”
Bahkan sewaktu berdiri di depan Haruka dengan kamera ditanganku, pesanan baru datang dari koridor dan seorang pelanggan meminta foto bersama Kushida.
“Oke Haruka. Aku potret ya.”
“...Y-Ya.”
Ekspresinya kaku, mungkin karena ia masih enggan untuk menatapku.
Aku membidik timing yang tepat, tapi....
“Mau aku gantikan dengan Yōsuke.”
“Tunggu. Tidak usah... ya, tidak usah.”
Haruka mengangkat tangannya, seraya bergumam beberapa kali kepada dirinya sendiri.
Tidak sepenuhnya tersenyum, tapi aku menekan shutter karena ekspresinya cukup bagus untuk difoto.
Foto pertama sendirian. Dua foto lainnya adalah foto dengan pelanggan.