Bab 2
Perjalanan Sekolah Sebagaimana Aslinya
Di pagi hari perjalanan sekolah. Sebanyak 4 bus berkumpul dan semua siswa tahun kedua dengan baju biasa berbaris.
Suhu pagi ini di bawah 5°C dan angin dingin kadang menyengat kulitku.
Namun, suhu di Hokkaidō, tempat tujuan kami, akan lebih rendah lagi.
Oleh karena itu, sekolah juga sudah dengan hati-hati menyuruh para siswa untuk memeriksa apakah ada sarung tangan, mantel, atau barang lain yang tertinggal. Pemeriksaan akhir barang bawaan, termasuk pakaian, dan barang-barang penting seperti ponsel pun selesai.
“Pertama-tama, aku lega melihat kalian semua bisa mengikuti perjalanan sekolah tanpa ada yang sakit satu pun.”
Sebagai salam sebelum menaiki bus, wali kelas Kelas A tahun kedua, Mashima-sensei, mengucapkan kalimat itu dengan suara keras.
Kelihatannya para guru wali kelas beserta tahun kedua tanggungan mereka akan menaiki masing-masing dari keempat bus, dengan Mashima-sensei di bus 1, Chabashira-sensei di bus 2, Sakagami-sensei di bus 3 dan Hoshinomiya-sensei di bus 4.
Simplenya adalah urutan kelas dari A sampai D.
Sembari menunggu untuk naik bus, aku memeriksa jadwal kegiatan hari ini di ponselku.
Bus menuju ke Bandara Haneda dan terbang ke Bandara New Chitose.
Kemudian, kami akan naik bus setempat ke area ski di hari pertama.
Aku diam-diam menelusuri halaman daftar grup.
Nama 8 anggota, termasuk aku, yang ditempatkan di grup nomor 6, ditampilkan.
Dari Kelas A adalah Kitō Hayato dan Yamamura Miki, dari Kelas B adalah aku dan Kushida Kikyō.
Dari Kelas C adalah Ryūen Kakeru dan Nishino Takeko.
Dan dari Kelas D adalah Watanabe Norihito dan Amikura Mako.
Aku tidak punya keluhan soal pembagian grup yang dipilih oleh sekolah, tapi tidak kusangka akan satu grup dengan Ryūen yang akan dianggap sebagai yang paling merepotkan oleh banyak siswa.
Aku tidak tahu banyak tentang Kitō, Yamamura, Watanabe, Nishino dan Amikura, karena aku jarang berinteraksi dengan mereka, tapi aku akan mengetahui itu semua selama aku berada di grup ini.
Para anggota perjalanan sekolah yang akan selalu bersama selama 5 hari 4 malam, telah diputuskan.
Sulit untuk menilai apakah hubungan kami kuat atau lemah, sungguh grup yang indah.
Sebagai catatan, nomor yang aku berikan kepada masing-masing siswa adalah, Kushida 6, Watanabe 18, Amikura 14, Ryūen 6, Nishino 18, Kitō 9, dan Yamamura 14. Pemberian peringkat didasarkan terutama pada OAA yang diperoleh sekolah, terlepas dari apakah mereka secara pribadi dekat atau tidak denganku.
Di antara mereka, Kushida dan Ryūen menerima penilaian tertinggi.
Tapi apakah 7 orang lainnya memberikan penilaian yang sama denganku———itu belum tentu.
Terutama untuk Ryūen, karena ada banyak siswa yang tidak menyukainya, tidak aneh jika dia diberi nomor yang sangat rendah. Terutama, apakah Kitō yang berdiri di samping Sakayanagi, akan memberikan nomor yang bagus pada Ryūen, itu masih dipertanyakan.
Tidak, itu pun pada akhirnya hanya khayalan belaka.
Itu karena tidak ada kontradiksi bahkan jika Ryūen diberi peringkat tinggi atau yang lumayan tinggi, karena ia memiliki kualitas dan mutu sebagai seorang pemimpin.
Aku tahu dari penomoran tempo hari bahwa ini tidak sepenuhnya acak, tapi tidak peduli sebanyak apa pun aku menduga-duga, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban.
“Dari ketujuh orang aku tidak mengenal kelimanya...”
Terlebih lagi, aku tidak tahu apakah aku bisa memasukan Ryūen sebagai salah satu dari kukenal.
Selama satu setengah tahun terakhir ini, kukira aku telah memperluas pertemananku sedikit demi sedikit, tapi ternyata memang tidak sampai pada kelas-kelas lain ya.
Nah, sepertinya sudah hampir waktunya untuk naik bus.
Para siswa mulai berkumpul dengan sahabat-sahabat mereka, sesuka hati mereka.
Bus yang akan kami naiki tidak mengatur siapa dan di mana kami duduk. Aku yang dahulu, secara pribadi akan sangat bersyukur jika posisi tempat sudah diatur.
Karena sekarang sudah ada Kei yang berstatus sebagai pacarku, lebih mudah untuk mengetahui siapa yang pasti akan duduk di sebelahku.
Seolah-olah sudah direncanakan, Kei melambaikan tangannya dan berdiri di sampingku.
Tapi pada waktu yang hampir bersamaan dengan Kei, Yōsuke muncul.
“Kiyotaka-kun, bisa bicara sebentar?”
“Hm?”
“Ini soal tempat duduk di dalam bus, bolehkan aku duduk di sebelahmu sampai ke bandara?”
“Di sebelahku? Kenapa lagi?”
Duduk bersebelahan dengan Yōsuke, tempat yang sangat istimewa.
Untuk seseorang sepertiku mengambilnya, pasti akan menimbulkan kecemburuan.
Setelah pengungkapan yang dilakukan Kushida, Mī-chan yang sudah memberitahukan bahwa dia jatuh cinta pada Yōsuke, kurasa tidak mungkin berani mengajaknya duduk bersama dengan terang-terangan, tetapi bukan hanya dia yang mengincar Yōsuke.
Seolah-olah membenarkan hal itu, beberapa gadis terlihat melihatnya dengan antusias.
Yōsuke menatap mataku untuk memohon.
Jadi, ini adalah cara terbaik yang bisa dia lakukan untuk mengatasi kekhawatirannya akan badai api yang disebabkan oleh perebutan kursi.
“Susah juga ya jadi populer.”
“Aku tidak ingin jadi populer loh.”
Ia tidak menyombongkannya, hanya menjawab apa adanya.
Karena dia memiliki kemampuan luar biasa untuk mendeteksi aturan tidak tertulis di kelas.
Sepertinya dia mengkhawatirkannya seolah-olah itu adalah masalah orang lain, meskipun itu menyangkut dirinya, dan berusaha menghindari konflik.
“Jadi, bolehkah Yōsuke duduk di sebelahku? Kei.”
“Aku gak mau sih aslinya, tapi jika itu masalahnya apa boleh buat. Oke.”
Kei pun tampaknya mau memahami Yōsuke, yang mana dia masih berhutang budi padanya, jadi dia setuju.
“Sebagai gantinya, Kiyotaka duduk di kursi sebrang ya. Terus aku akan duduk di kursi sebrangnya.”
(Tln: Kursi yang ada diantara tempat berjalan di tengah)
Yah, mungkin itu solusi yang bisa diterima. Alhasil, kami duduk dalam satu baris empat kursi yang sedikit di belakang bagian tengah bus, Yōsuke dan aku dari paling kiri, kemudian Kei dan Satō di kursi sebrang.
(Tln: kalimat pertama maksudnya, setidaknya masih bersebelahan)
Beberapa menit kemudian, kami berangkat menuju ke bandara karena keempat kendaraan telah dinaiki.
Selama perjalanan bus, kami tidak diizinkan untuk meninggalkan tempat duduk kami, tapi bebas mengobrol, dan kami juga boleh menyantap makanan atau minuman apa pun yang kami bawa.
Oleh karena itu, beberapa siswa sudah pada mulai mengeluarkan makanan ringan.
“Ini mulai terasa seperti perjalanan wisata ya.”
Merasakan situasi di sekitarnya, Yōsuke bergumam senang.
Bagi pria ini, yang menganggap kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaannya sendiri, keceriaan dari para siswa akan terasa nyaman untuknya.
“A~ah. Kalau saja aku satu grup dengan Kiyotaka, pasti bakal seru banget tuuh.”
Anak laki-laki di kelas yang satu grup dengan Kei adalah Akito, yang mana biasanya mereka hampir tidak pernah berinteraksi.
“Justru ini adalah kesempatan yang bagus, bukan? Karena tidak banyak kesempatan untuk kita berinteraksi dengan kelas lain.”
“Siapa juga yang butuh itu... cih.”
Mungkin ia mengharapkan aku untuk kesepian juga, makanya bibirnya sedikit cemberut karena kecewa.
Meski begitu, aku yakin dia benar-benar memahami apa yang ku katakan tempo hari.
Mata Kei juga penting untuk mengetahui bagaimana situasi di kelas lain.
Ngomong-ngomong, Yōsuke berada satu grup dengan Matsushita, dan Satō dengan Okitani.
“Heihei Ayanokōji-kun, bagaimana kabarmu dengan Kei-chan akhir-akhir ini? Apa berjalan lancar?”
“Bentar, itu sudah jelas, bukan~? Gak perlu sampai ditanyain.”
“Aku cuman khawatir kok~.”
“Jangan konyol. Kami tuh sangat dimabuk cinta. Iya, ‘kan~?”
Obrolan santai seperti itu terus berlanjut sampai kami tiba di bandara.
Baru awal aja udah bikin senyam senyum 😂😂😂
ReplyDeleterebutan kiyo😆
ReplyDeleteApakah ketenangan sebelum badai~~
ReplyDelete