Bab 1
Bulan September kami
Sembari berkumpul dan mengobrolkan hal-hal lucu dengan teman lainnya, aku melihat jam.
Sekitar 10 menit lagi kelas homeroom akan dimulai.
Lamanya…kataku ketika menyadarinya, aku pun terus mengalihkan perhatian ke pintu masuk.
Pintu yang ditutup dengan keras oleh seseorang yang terlalu serius, sudah hening sejak tadi.
Selama satu setengah tahun ini, entah sejak kapan aku datang ke kelas lebih awal dari siapapun dan ketika suara ceria yang menyambutku telah kehilangan senyum indahnya yang membuat bunga warna-warni bermekaran di sekelilingnya, bahkan aku sendiri pun terkejut karena menjadi gelisah memikirkan hal itu.
Tanpa sadar aku menelan ludah dengan perasaan tidak nyaman seperti terjebak ke dalam lebar jawaban bertitik merah yang dibulatkan dengan acak adul.
Di musim panas ini, aku tak bisa menerima perasaan yang disampaikan seorang teman yang sangat aku sayangi.
Aku tidak bisa menerima hal itu pada diriku saat ini, sambil menatap langit malam yang tenggelam ke dasar botol.
Namun, gadis itu memberitahukan perasaannya bukan untuk memulai, tapi untuk mengakhirinya, begitu pula bukan untuk diriku, tetapi untuk kami.
Menemukan 2 orang yang menyendiri seperti itu, menggenggam tangannya dan seorang teman yang seperti keluarga lainnya.
Oleh karena itu, sekali lagi saja, kali berikutnya, ah tidak, kali ini.
-----Masing-masing dari kami mencoba untuk menghadapi cinta untuk diri sendiri.
Ada kehangatan yang sama pada tangan yang saling berpegangan.
Bohong jika aku mengatakan bahwa aku tidak merasa resah ketika wajah Nazuna yang muncul di layar ponselku sewaktu dia sering melakukan panggilan video denganku.
Tetapi, di hari-hari berikutnya obrolan kami sangat singkat bahkan tidak bisa disebut dengan percakapan.
Seperti permainan cat’s cradle yang tampak sangat kecil, sederhana, dan canggung sampai-sampai tidak terpikirkan oleh kami berdua yang sudah melangkah sejauh ini.
Tapi, aku merasa sangat nyaman.
Waktu yang bertumpuk-tumuk cepat atau lambat akan menyelimutiku seperti sweter rajut dan hampir saja secara tidak sengaja aku mulai mengganti pakaianku dengan cepat.
Oleh karena itu, aku merasa sangat tidak nyaman dengan suasana pagi yang tampak hambar seperti saat ini.
Mungkin hanya aku saja yang bisa menerima untuk memulai lagi semuanya dari awal dengan baik.
Bukankah akhir akan tetap menjadi sebuah akhir?
“Aku tidak mau melakukan hal yang tidak pernah terjadi.”
Seharusnya dulu aku berjanji secara tegas seperti itu pada diriku sendiri.
Aku memikirkan hal yang menyedihkan dengan gundah.
── Kriiieeet
Suara pintu yang terbuka bergema seperti sebuah nyanyian.
“Selamat pagi!!”
Pasti hatiku sudah tidak sabar menunggu suara itu karena aku menolehnya secepat kilat.
“Siiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing”
Tak kusangka…aku, tidak, bahkan seluruh kelas menahan napas dan timbul keheningan yang tidak wajar.
Begitu juga dengan Yua, Nanase, Haru, Kazuki, Kaito, dan Kenta.
Mata mereka terbuka lebar dengan mulut setengah terbuka.
Sebatas pandanganku, hanya Nazuna yang menatap ke arahku dan mengggoyangkan bahunya dengan lemas.
“... Eh? Pagi juga?”
Akhirnya waktu mulai mengalir ke suara hampa yang terus berlanjut.
“Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh?”
Kegelisahan dan keterkejutan semua orang pun meledak bak balon yang kepenuhan diisi air.
Sepertinya belum ada yang bisa memahami situasi saat ini.
Nanase pun saling bertukar pandang dengan teman-teman yang ada di dekatnya, lalu mengalihkan pandangan lagi ke pintu, dan melihat sekeliling dengan gelisah.
Tentu saja, aku adalah salah satunya juga.
Karena mau sebanyak apapun melihatnya kami tidak bisa menerima hal ini begitu saja.
Sosok yang beberapa saat lalu aku bayangkan, tetapi sosok yang seharusnya tidak asing lagi bagiku ────.
………………………………………………
Yuko telah memotong rambut panjangnya yang selama ini dia banggakan.
Begitu, entah kenapa tampak kesedihan yang samar-samar terlintas di benakku.
Setahuku, rambut panjangnya adalah ciri khas Yuko dan aku tahu dia menghabiskan banyak waktu untuk merawat rambutnya lebih dari siapapun.
Secara tiba-tiba, obrolan santai yang pernah kami lakukan terbayang begitu saja.
“Hei, Saku, kamu suka rambut panjang?”
“Aku pikir rambut panjang cocok untuk Yuko.”
“Ehehe, begitu, ya! Kalau begitu, aku akan tetap membiarkan rambutku panjang.”
Saat itu, Yuko tampak bahagia bukan karena aku memujinya, tetapi karena dia senang rambutnya yang dia banggakan dipuji
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang membayangkan hari seperti ini akan tiba.
Yuko pun mendekat ke tempat kami meskipun suasananya masih membingungkan.
“Pagi semuanya! Mohon bantuannya di semester kedua ini, ya!”
Setelah saling memandangi satu sama lain, Nanase merupakan orang pertama yang berbicara tanpa rasa takut.
“Hm, selamat pagi. Um, itu...”
Dengan acuh tak acuh Yuko menjawab kata-kata Nanase yang kurang jelas, tidak seperti biasanya.
“Ya, aku mencoba menjadi sosok yang baru!”
Saat menggoyangkan kepalanya sedikit seolah-olah ingin pamer, helaian rambutnya yang halus pun merebak, lalu menjuntai seperti aliran sungai.
Bak salju pertama yang turun di malam-malam buta yang membuatku terpesona sepenuhnya.
Nanase pun menatapnya dengan kagum dan berkata, “Luar biasa….”
Yuko menggeleng sedikit dan tertawa kecil.
Yua yang tampaknya sudah bisa kembali bersikap tenang ketika melihat keduanya pun mengangguk dengan lembut.
“Yuko cantik banget!”
“Makaciiiih!”
Haru juga mengangkat satu tangannya dan lanjut mengoceh.
“Cocok banget! Aku mungkin lebih suka rambutmu yang ini.”
“Benarkah?!”
Hore, sahut Yuko dengan mengangkat tangan dan mereka berdua melakukan tos.
“Uwoooooooooooooooooooo!!!!!!”
Sudah dipastikan yang berteriak itu adalah Kaito yang sepertinya sudah tidak bisa menahannya lagi.
“Ada masanya ketika aku percaya bahwa Yuko akan terus merawat rambut panjangnya. Tapi, tapi, gaaais! Memangnya ada yang bisa menolak sosok ini dan menjadi tak bersemangat!!!!!!”
Yuko cekikikan melihat Kaito yang berbicara dan menoleh semua orang di kelas.
“Huh, Kaito selalu berlebihan.”
Yuko menjeda kata-katanya sebentar dan setelah menghela napas dengan wajah jengkel,
“Tapi aku senang.”
Katanya sambil menyipitkan mata malu-malu.
“I..iya..”
Entah karena malu atau apa, Kaito memalingkan wajahnya sambil menyembunyikan tangannya.
Dengan suasana seperti itu, Kazuki mengangkat bahunya dan membuka mulut.
“Aku tidak membencinya, Yuko.”
“Heee~ Itu wajah polosnya Kazuki yang menyeramkan.”
Lalu, Kenta berkata seolah telah mengambil keputusan.
“Yuko, itu…itu bikin gerah!”
“Gerah? Maksudmu kesannya?!”
Tidak ada seorang pun yang bertanya, “Kenapa?”
Mungkin mereka memang seperti ini, pikirku.
Setelah berinteraksi satu-satu dengan yang lainnya, Yuko berbalik dan berdiri di hadapanku.
------Degh.
Hanya dengan dia bersikap seperti itu sudah membuat hatiku bersemangat.
Apakah karena aku gugup atau karena tanpa sadar aku menjadi tegang.
Entah aku malu bicara karena bertatap muka dengannya setelah sekian lama, atau karena rasa tidak sabaran atau ketakutan terhadap suatu hubungan yang belum terbentuk, atau hal lainnya, aku tidak tahu…
Bulu mata lentik Yuko yang menutup mata saat melihat ke bawah, perlahan-lahan terangkat ke atas, lalu setelah sekitar 5 kedipan, matanya yang sedikit berkedip memantulkan sosokku melalui matanya yang menatapku lurus.
Dengan memiringkan kepalanya sedikit, dia tersenyum tipis seperti simpul Mizuhiki yang cantik.
“Selamat pagi, Saku.”
Hanya mengucapkan kata-kata itu saja, dia tampak tenang dan elegan.
Contohnya saja saat seperti ini, Yuko yang berdiri di depanku seperti ini………………..
Aku jadi tidak tahu harus menjawab apa.
Kalau misalkan kami hanya berdua saja, Yuko pasti akan bertanya “Gimana menurutmu? Gimana?” dengan wajah gelisah, menantikan balasan dan seperti mendesakku. Seharusnya aku menjejalkan kata-kata pujian yang bercampur rasa malu.
Oleh karena itu, sah-sah saja kalau berbicara secara spontan dengan mengatakan lelucon jika dia berkata seperti itu, atau menghindari kata-kata yang membuat satu sama lain tidak nyaman, atau dengan sok menjadikan hal itu lelucon dengan menggodanya.
…… Tapi jangan sampai berpikir hal yang bodoh.
Setelah diam-diam mengejek diriku di dalam hatiku,
“Selamat pagi, Yuko.”
Aku hanya membalasnya dengan ungkapan biasa seperti itu.
Beberapa hari lalu, aku merasakan sesuatu ketika berbicara dengan Yuko melalui layar ponsel.
Adakalanya tidak perlu banyak kata-kata untuk merasakannya.
Aku pikir perlu untuk mengatakan kata-kata pendahuluan seperti “sebentar”, tetapi entah kenapa aku merasa seperti tahu hal yang ingin kutanyakan tanpa bertanya dan aku merasa aku tidak perlu tahu hal yang ingin kuketahui.
Dengan lembut aku menyipitkan mata, berpikir bahwa apa yang ingin aku katakan seharusnya sudah tiba sebelum aku bisa mengatakannya. Dibandingkan meminta maaf, dari dalam lubuk hati aku merasa berterima kasih.
“Aku pikir gaya rambutmu yang sekarang cocok dengan dirimu saat ini.”
Hanya ini kata-kata yang terucap dari mulutku.
Sepertinya, Yuko menatapku dengan saksama dari awal aku mengatakan hal itu.
“──Kalau gitu terus lihat aku seperti ini, ya.”
Katanya dengan cekikikan.