Bab 2
Perjalanan Sekolah Sebagaimana Aslinya
5
Pukul 20:37 malam. Setelah makan malam, banyak siswa pergi ke pemandian umum besar yang merupakan bagian terbaik dari ryokan. Itu tak terkecuali bagi Horikita Suzune, salah satu hal yang ia nantikan.
Horikita selesai makan relatif lebih cepat daripada siswa di sekitarnya, tapi ia terkejut mendapati bahwa 3 siswa sudah mulai membuka pakaiannya di ruang ganti. Di antara mereka, ada juga gadis-gadis yang tidak ingin terlihat telanjang, jadi mereka mempersingkat waktu makan dan mandi dengan cepat.
Di sisi lain, bagi Horikita, tidak ada yang namanya jijik atau malu dilihat telanjang oleh sesama jenis. Dia selalu berada di lingkungan yang teduh, tidak mencolok, dan tidak punya teman di SD dan SMP, dan fakta bahwa tidak ada yang memperhatikannya juga berpengaruh.
Meski begitu, dengan sopan santun, dia membuka pintu geser ke pemandian umum besar, sambil membentangkan handuk wajah untuk menutupi tubuh bagian depannya.
Panasnya menyengat, dan pemandian umum besar, satu ukuran lebih besar dari yang ia bayangkan, terlihat jelas. Ada dua pemandian dalam ruangan yang besar. Lalu ada satu pemandian terbuka di luar ruangan, tapi pemandian batu yang agak besar dapat dilihat melalui kaca jendela.
Setelah sedikit membersihkan kotoran di air panas, Horikita langsung menuju ke pemandian batu.
Kemudian, 2 pengunjung pertama yang tak terduga bisa ia lihat di pemandian batu.
Salah satunya adalah teman sekelasnya Kushida Kikyō.
“Ah, Horikita-san.”
Kushida langsung mengenali pengunjung itu dan menjawab dengan lambaian tangan ringan untuk menyambutnya.
Tentu saja, Horikita tahu kalau itu tidak datang dari hati.
Itu karena siswa Kelas A Rotsukaku Momoe juga ada di sana.
Kushida tidak akan pernah menunjukan jati dirinya di depan siswa dari kelas lain.
Horikita menjawab dengan lirikan sekilas dan pergi ke tepi begitu dia memasuki bak mandi tanpa bergabung dengan Kushida.
Karena dia ingin menciptakan tempat di mana tidak ada yang akan mengajaknya bicara dan tidak ada yang akan mengganggunya. Ia mendengarkan obrolan santai Kushida dan Rotsukaku dan terus menikmati pemandian air panas selama 5 atau 10 menit, tanpa bicara dengan siapa pun.
Lalu tanpa ia sadari, Rotsukaku telah pergi dan hanya tinggal Kushida.
Sudah tidak ada lagi senyum yang ada di wajahnya sebelumnya.
“Kenapa kamu tidak pergi dengan Rotsukaku-san? Bukankah tadi itu seru?”
“Eh? Aku tidak punya alasan buat pergi dengannya. Aku suka pemandian air panas. Jangan-jangan kau kira aku ingin bicara denganmu?”
“Tidak, aku tidak mikir kesana.”
“Masak sih? Bukannya kamu bertanya karena kamu menyadariku?”
“Sudah mau cari gara-gara ya.”
Horikita menghela napas dengan sedikit penyesalan atas sikap Kushida yang tiba-tiba bersikap agresif.
“Lingkaran pertemananmu benar-benar luas ya. Aku bahkan belum pernah bicara dengan Rotsukaku-san.”
Mencoba mengubah topik pembicaraan, Horikita menyinggung soal Rotsukaku yang meninggalkan pemandian terbuka.
“Dia datang sambil menangis padaku, ingin aku ikut dengannya. Katanya sih malu. Tapi dengan tubuh sekurus itu, aku juga bisa memaklumi.”
Sekalipun ia tahu tidak ada yang mendengarkan, ia mengeluarkan racun yang cukup kuat.
“Horikita-san———yah, kurasa cukup seimbang. Itu tidak menarik sih buatku.”
Setelah melakukan penilaian, Kushida sedikit menutup jarak dengan Horikita.
“Apa? Apa yang kau ingin dariku?”
“Tidak ada. Hanya saja, jarak antara kita tidak wajar, bukankah itu aneh? Aku dan Horikita-san adalah teman sekelas. Jika itu aku yang semula, akan aneh jika kita tidak bicara dengan lebih dekat.”
Jika ada Rotsukaku di sana, tidak akan terlalu aneh jika keduanya terpisah. Tapi jika mereka secara terang-terangan terpisah di pemandian terbuka yang besar ini, ada kemungkinan pengunjung baru akan bertanya-tanya.
“Aku tahu kerja kerasmu untuk itu sangat besar.”
“Yang terbaik adalah kamu keluar dari sini dan pergi ke pemandian dalam.”
“Aku harus menolaknya.”
“Kau juga menolak waktu kuminta untuk dikeluarkan dari sekolah, cukup tangguh juga ya kamu, Horikita-san?”
Horikita menghela napas lebih banyak lagi ketika mendengar dia masih mengucapkan kata dikeluarkan dengan santai.
Melihat itu, Kushida tersenyum.
“Itu senyuman yang cukup elegan.”
“Jelaslah. Karena orang lain bisa melihat tempat ini dari pemandian dalam, jadi aku tidak boleh ceroboh.”
Selain suara, penglihatan juga selalu diperhitungkan. Jika seorang siswa yang tidak tahu apa-apa melihatnya dari dalam ruangan, itu hanya akan terlihat seperti teman sekelas yang saling mengobrol dengan ramah.
Bukan hanya jarak, tapi juga selalu memperhatikan sekelilingnya dan tanpa meninggalkan celah.
“Jika kamu bisa sebaik itu menutupinya, bukankah seharusnya kamu bisa menjalani kehidupan sekolahmu tanpa diketahui oleh Ayanokōji-kun?”
“Karena awal masuk sekolah aku benar-benar stres. Siapa sangka Horikita-san akan ada di sana, bukan?”
“Tapi itu memang tidak terduga...”
Kekecewaan setelah sebelumnya merasa lega karena mengira dirinya benar-benar terpisah dari orang-orang yang berasal dari SMP-nya tidak dapat diukur.
“Hidup hanya untuk membangun hubungan baru di lingkungan sekolah. Aku harus melampiaskannya entah bagaimana, bukan?”
Akibatnya, saat dia melampiaskannya Ayanokōji tak sengaja melihatnya dan tragedi pun dimulai.
“Kau bebas untuk terus membenciku. Asalkan kamu berkontribusi untuk kelas, aku tidak ada keluhan. Bahkan di festival budaya, penampilanmu sungguh luar biasa, Kushida-san.”
“Yah, kalau cuman itu aku bisa melakukannya tanpa kesulitan. Karena itu adalah senjata untuk melindungi dirik———”
Kushida melihat ke arah pintu geser yang mengarah ke pemandian terbuka dan berhenti bicara.
Segera setelah itu, pintu itu terbuka dan keluarlah Ibuki dengan handuk wajah di bahunya.
Kushida yang cemas akan kedatangan pengunjung, langsung tampak lega.
Itu karena Ibuki sudah tahu betul tentang sifat asli Kushida, sama halnya dengan Horikita.
“Horikita!”
Ibuki mungkin sedang mencari Horikita, karena dia meninggikan suaranya begitu dia melihanya.
“...Kali ini kamu?”
Dia mendekat dengan percaya diri dalam keadaan telanjang, lalu dia melompat untuk masuk ke pemandian terbuka.
Ombak besar naik dan air panas mengguyur Horikita dan Kushida.
“Kamu tidak tahu sopan santun ya.”
“Gak tahu. Daripada itu, ayo bertarung, bertarung!”
“Bertarung di sini? Kau mau kita main batu-gunting-kertas?”
“Haa? Karena ada tempat mandi sebesar ini, hanya ada satu hal yang bisa kita pertandingkan, bukan? Kita lihat siapa yang bisa berenang dari satu ujung ke ujung lainnya lebih cepat!”
“Menurutku berenang bahkan lebih tidak sopan daripada melompat ke pemandian.”
“Gak usah dipermasalahin sih. Gak ada pengunjung umum juga, gak ada yang lihat enggak.”
“Seru tuh balapan. Aku akan bersikap adil, jadi kau terima saja tantangannya?”
“Jangan malah ikut-ikutan. Lagian, wajah publikmu tugasnya untuk menghentikan hal semacam ini, bukan?”
“Kubuat saja seolah-olah Horikita-san dan Ibuki-san memulainya sendiri tanpa menghiraukan himbauanku, jadi tidak apa-apa. Selama aku terlihat bermasalah dan bingung, tidak akan ada masalah bahkan jika ada yang melihatnya.”
“Tuh Kushida juga setuju. Jadi ayo kita bertanding!”
“Enggak akan.”
“Haa? Padahal sudah kusempatkan buat datang ke sini biar kita bisa bertanding. Buang-buang waktu.”
Katanya, dia segera keluar dari bak mandi.
“Apa kamu benar-benar kesini hanya untuk itu? Gak mau mandi di pemandian terbuka?”
“Aku tidak mau mandi denganmu. Mau mandi di luar atau atau di dalam juga sama-sama pemandian air panas, ‘kan?”
Jika tidak bisa bertanding, dia tidak ingin mandi air panas terlalu lama dan menarik diri dengan cepat.
“Bodoh banget ya Ibuki-san.”
Setelah pintu geser ditutup dengan keras, Kushida tertawa lucu.
“Dia sangat terobsesi untuk bertanding denganku. Gak ada bedanya sih denganmu.”
Berulang kali, dia telah ditantang oleh Kushida.
Mendengar jawaban Horikita bahwa dia tidak ada bedanya dengan Ibuki, Kushida tertawa kecil.
“Jangan samakan aku dengannya.”
Apa yang dia katakan dan ekspresinya sama sekali tidak cocok, tapi Horikita hanya mengabaikannya.
Dia menantikan pengunjung baru agar mereka tidak perlu mengobrol lagi, tapi tidak ada siswa yang muncul setelah itu karena ini masih waktu makan.
“Tapi tetap saja, Horikita-san beruntung banget, ya?
“Beruntung? Apa yang kamu bicarakan?”
“Yang kumaksud adalah soal Ayanokōji-kun yang duduk di sebelahmu sejak awal masuk sekolah. Berkat itu kamu bisa lebih dekat dengannya, dan dia banyak membantumu dari bayang-bayang, bukan?”
Kushida tidak mengetahui secara detail apa yang sebenarnya telah terjadi selama ini.
Tapi yang ia ketahui adalah bahwa Ayanokōji entah bagaimana pasti terlibat dalam poin-poin kunci.
“Seandainya tidak ada Ayanokōji-kun, Horikita-san pasti sudah aku keluarkan sekarang.”
Yang membawanya sampai pada titik ini bukanlah kemampuannya sendiri.
Jika hal seperti itu dikatakan pada saat itu, Horikita akan langsung membantahnya. Tapi sekarang dia bisa melihat segala sesuatunya dengan tenang, jadi dia bisa merenungkannya.
“Aku tidak bisa menyangkal itu sepenuhnya. Tapi, itu bukan hanya keberuntungan untukku, tapi pasti juga keberuntungan untukmu. Tanpa adanya Ayanokōji-kun, kamu tidak akan mengungkap semua seperti sekarang. Selamanya, kau akan terus berpura-pura menjadi orang baik dan melakukan kesalahan yang sama lagi.”
Tentu saja, hasilnya tidak ada yang tahu.
Mungkin saja Kushida mampu bertahan selama tiga tahun kehidupan sekolah dalam kepura-puraan.
Tapi apakah itu bisa berlangsung selamanya atau tidak adalah masalah lain.
Karena faktanya, Kushida selalu merasakan sakit setiap hari.
Sekarang dia bisa meredakan stresnya dengan menggunakan kedua sisinya secara berbeda.
“...Mungkin.”
Kebenaran yang disampaikan oleh seseorang yang tidak ia sukai. Biasanya, mengakui hal ini tidak lebih dari penghinaan, tapi Kushida mengangguk setuju karena ada beberapa hal yang harus dia akui.
Itu adalah sesuatu yang hanya bisa didapat karena nasipnya berada di ujung tanduk dalam ujian khusus suara bulat, dan berhasil selamat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, perubahan terjadi pada cara berpikir dan nilai keberadaannya.
“Kalau dipikir-pikir, kamu mungkin lebih beruntung daripada aku.”
“Jujur itu membuatku kesal. Aku kesal Horikita-san mengembalikannya dengan baik.”
Di sini mereka berhenti mengobrol.
Mereka yang biasanya tidak akur, tidak ada alasan untuk terlalu lama mandi air panas.
Jadi, kenapa mereka tidak kungjung pergi, tak satu pun dari mereka yang memiliki jawaban yang jelas, tapi pergi lebih dulu berarti kalah. Alasannya adalah karena ada suasana seperti itu.
“... Permisii.”
Waktu kebersamaan mereka pun berakhir beberapa menit setelah Ibuki pergi.
Ichinose Honami terlihat di pemandian terbuka dengan sedikit ragu-ragu.
“Ichinose-san sendirian? Tumben-tumbenan.”
“Ahaha... ya, lagi pengen aja.”
Kushida tahu betul bahwa ada banyak orang yang mengajaknya bicara saat makan malam.
Dari situ, dia tahu bahwa dia muncul di sini karena dia ingin menyendiri.
“Setiap orang pasti pernah ingin menyendiri, bukan? Jika aku mengganggu, aku akan pergi.”
Horikita melihat ini sebagai waktu yang tepat untuk mentas karena ia sudah mulai merasakan sensasi agak terbakar.
Dengan digantikan oleh Ichinose, itu adalah proses penyerahan tongkat estafet yang alami.
Sisanya akan diakhiri dengan Kushida dan Ichinose mengobrol santai, itulah niatnya.
“Ah, tidak kok! Sama sekali tidak ganggu! Jangan dipikirkan!”
Ichinose menghentikan Horikita yang hendak berdiri dengan panik.
Dan untuk menambahkan, Kushida mengalihkan senyumannya ke Horikita.
“Mau udahan Horikita-san? Ichinose-san juga bilang begitu, jadi mending kita ngobrol bareng?”
“Apa maksudmu?”
“Karena aku merasa kita belum selesai ngobrolnya. Apa kamu gak mau?”
Kushida mengatakan hal-hal yang bahkan tidak ada dalam pikirannya, tapi dia membuatnya nampak seolah-olah itu dari hatinya. Ichinose pun tampak sedikit gelisah, bertanya-tanya apakah Horikita ingin mentas karena kedatangannya.
“Menurutku obrolan kita sudah selesai... tapi okelah. Aku akan menemani kalian sebentar saja.”
Berdiri dan duduk di atas batu untuk mendinginkan tubuh yang telah terbakar oleh angin malam.
Di luar bak mandi air panas terasa dingin saat salju mulai turun, tapi itu justru terasa nyaman.
“Aku, ingin menanyakan sesuatu padamu, Ichinose-san, kalau kamu tidak keberatan?”
“Hm? Apa itu, tanyakan apa saja padaku.”
“Ichinose-san, kamu udah pacaran sama seseorang belum?”
“Hm? E-Eeh!?”
Ichinose sangat panik saat dia ditanyai pertanyaan yang tidak dia duga.
“Belakangan ini, anak laki-laki dari berbagai kelas nanyain aku, Ichinose-san tuh sudah punya pacar atau belum.”
Kushida bertanya tampak seperti tidak tahu apa-apa, tapi kenyataannya berbeda.
Sebenarnya, fakta bahwa Ichinose saat ini belum punya pacar, dan fakta bahwa dia naksir Ayanokōji.
Pengumpulan informasi tersebut telah diselesaikan sejak tahap awal.
Dia lebih tahu daripada siapa pun di kelas Ichinose, tapi dia sama sekali tidak menunjukannya.
“E-E-E-Enggak punya kok enggak punya!”
“Jadi gak punya. Kalo gitu, apakah ada seseorang yang lagi kamu suka?”
Alasan Kushida berkata dengan wajah seperti tidak tahu apa-apa itu, adalah karena ia ingin mengupas lebih banyak informasi tentang Ayanokōji. Untuk mengetahui mengapa dia jatuh cinta pada Ayanokōji.
Dia juga memperhitungkan kemungkinan bahwa itu pada akhirnya akan menjadi senjata barunya.
“E-Enggak ada kok. Sungguh, enggak ada yang aku suka.”
Tetapi Ichinose tidak mengakuinya, menyangkalnya dan menenggelamkan wajahnya ke dalam bak mandi.
Tindakan itu ia lakukan untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena rasa malu, dan canggung.
Dia menatap kemungkinan untuk menyinggung soal Karuizawa atau sesuatu yang lebih mendalam jika dia mengakuinya di sini, tapi tidak semudah itu. Oleh karena itu, percakapan dialihkan ke Horikita yang ia minta untuk tinggal dengan sengaja.
“Kalau Horikita-san? Ada gak kisah cinta seperti itu?”
“Gak ada.”
Jawab Horikita dalam waktu kurang dari satu detik. Dia hampir sama sekali tidak tertarik pada romansa.
“Begitu ya. Padahal Horikita-san cukup populer juga, ‘kan? Misalnya Sudō-kun, rasanya dia dekat denganmu.”
“Aku tidak tahu. Bagaimana denganmu? Kamu kelihatannya dekat dengan anak laki-laki dari kelas lain. Ichinose-san mungkin juga penasaran dengan itu.”
Menanggapi pertanyaan yang menyebalkan darinya, Horikita mengembalikan pertanyaannya itu.
Tujuannya adalah untuk segera menghapus dirinya dari topik pembicaraan dan membiarkan mereka berdua untuk mengobrol sendiri.
“Aah, itu benar. Aku juga banyak ditanyai oleh anak laki-laki tentang Kushida-san.”
Di dalam hati, Kushida mendecakan lidahnya pada Horikita, tapi ia memberikan Ichinose senyum malu-malu.
“Eeeh? Benarkah? Aku juga tidak tahu banyak soal percintaan.... Hanya saja, menurutku sayang sekali jika kita jatuh cinta saat kita masih seorang pelajar.”
Kushida beralih untuk menyebarkan benih karena yang akan dibicarakan hanyalah omong kosong.
“Sayang sekali?”
“Ya. Habisnya dari yang kudengar, percintaan antar siswa itu kebanyakan pasti gagal. Sekitar 10% hingga 30%? Ketika kupikir itu kurang dari setengahnya, sulit bagiku untuk mengambil risiko.... Itulah sebabnya aku sadar diri untuk tidak jatuh cinta sekarang.”
Dia berpikir bahwa dengan memberitahukan hal ini pada Ichinose yang memiliki lingkaran pertemanan yang lebih luas daripada Kushida, dia bisa menendang anak-anak lelaki yang siap untuk mengakui perasaan mereka kepadanya lebih awal.
Sejak awal masuk sekolah, jumlah pengakuan pada Kushida di balik layar sudah melebihi 10 kali, terlepas dari tahun ajaran.
“Aku senang ada yang menyukaiku... tapi pada saat yang sama aku juga takut menyakitinya.”
“Itu benar.... Entah bagaimana, aku paham...”
Tak ada yang lebih tidak berguna daripada romansa pelajar, itulah pikir Kushida. Sambil mendengarkan kisah cinta mereka, Horikita berpikir inilah saatnya untuk mentas dan mencoba untuk berdiri.
“Sebaiknya aku segera pergi.”
“Eh? Sudah mau pergi?”
“Aku tidak tahu apa-apa soal percintaan.”
“Begitu ya. Apa boleh buat deh. Tapi, bukankah ada alasan lain kenapa kamu ingin mentas?”
“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
“Tidah usah dipikirkan. Jika kamu sudah kepanasan dan gak kuat, ya apa boleh buat. Kalau aku sih, masih ingin mengobrol dengan Horikita-san.”
“Kamu... serius?”
“Tentu sajalah. Aku yakin Ichinose-san juga begitu, ‘kan?”
“Ya. Aku juga masih ingin ngobrol dengan Horikita-san, kalau kamu mau.”
Berkat kata-kata provokatif dan bimbingan Kushida, Horikita mendudukan kembali pinggulnya yang hampir terangkat.
“Kalau begitu———mari kita lakukan.”
Sebagai ketua kelas, dia menghapus pilihan untuk melarikan diri karena ajakan Kushida.
“Kamu yakin baik-baik saja? Bisa gawat kalau kamu kewalahan dan pingsan.”
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi, aku juga mengkhawatirkanmu loh, Kushida-san. Wajahmu terlihat merah.”
“Mungkin karena kita sedang membicarakan cinta.”
“Hanya karena itu? Kuharap kau tidak memaksakan diri saja.”
Tatapan tajam Horikita dan tatapan Kushida yang tersenyum bertemu dan bersinggungan.
“Rasanya kok, kalian berdua sedikit berbeda dari biasanya?”
Ichinose merasakan keanehan dan sedikit memiringkan kepalanya.
Melihat itu, Kushida sepenuhnya menghapus sarkasme yang tersisa terhadap Horikita.
“Tidak, itu tidak benar. Iya kan, Horikita-san?”
“...Iya.”
Tidak perlu memberikan informasi yang tidak perlu kepada Ichinose, sekalipun dia relatif dapat dipercaya. Horikita juga sependapat dan menyesuaikan balasannya.
Untuk beberapa saat setelah itu, obrolan tentang percintaan terus berlanjut antara Kushida dan Ichinose, dan akhirnya mereka mulai asyik membicarakan hal-hal lain. Horikita menjadi pendengar dari awal hingg akhir, menikmati mata air panas dan salju yang turun dengan lembut.
Setelah itu, Ichinose dipanggil untuk kembali ke dalam oleh teman-temannya yang telah selesai makan.
Saat gadis-gadis lain mulai memadati pemandian terbuka, baik Horikita dan Kushida menjaga jarak dan melanjutkan kontes kesabaran.
Kebuntuan berlanjut selama 10 menit kemudian, tapi...
“Kupikir sudah waktunya kalian berdua untuk berdiri. Kulit kalian merah banget loh?”
Saat keduanya terus bertahan mendekati batas, Ichinose muncul dari dalam ruangan karena sudah tidak tahan melihat mereka.
“Habisnya, Horikita-san.”
“Kamu juga... dengar gak sih kamu yang dikatakan Ichinose-san?”
Keduanya mencoba bertahan dalam situasi ini, tapi sekarang, setelah selesai makan, siswi-siswi lain mulai muncul berkelompok di pemandian terbuka.
Karena sudah begini akan sulit untuk melanjutkan pertandingan, jadi keduanya saling membaca situasi dan berdiri pada saat yang sama.
“Air panasnya enak ya.”
“Setuju banget. Sampai kurasa ini lebih dari cukup...”
“Tuh kan, pasti ada sesuatu dengan kalian berdua?”
Ichinose kembali merasakan suasana yang aneh, tapi mereka berdua meninggalkan bak mandi air panas seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Wkwkwk. Kocak amat dah.
ReplyDeleteBerarti sejauh ini kurleb ada 3 rivalitas lawak di tahun kedua. Ayanokouji Ibuki (Yang perbedaan kemampuannya terlalu jauh), Horikita Ibuki (Yg ga pernah kelar karena suatu alasan. Pertama di pulau tak berpenghuni yg kedua di festival olahraga) sama yg baru baru ini Kushida Horikita (Awalnya cubit cubitan pipi di kamar Kushida terus barusan di Ryokan).
Enak sih rivalitas nya buat tambahan gini. Ga melulu harus serius kaya antar pemimpin tahun kedua.
Btw kalo liat di ilustrasinya, punya Ichinose gede coy. Idaman banget.
Next T-rex kun
ReplyDeleteAowkaowkak mentas, logat jawa nya keluar. Keren 🤣
ReplyDelete