-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 3 Part 2 Indonesia

Bab 3
Perjalanan Sekolah Hari Ke-2


2


Begitu kami turun dari bus yang membawa kami langsung ke area ski, kami berdelapan memutuskan untuk tidak langsung masuk ke area ski, tapi berjalan-jalan di sekitar area tersebut. Meski tidak direncanakan, Amikura mendapatkan ide ini setelah melihat beberapa toko sovenir di area tersebut dari dalam bus.

Karena kami masih bisa bermain ski setelah kami mampir sebentar selama 20 atau 30 menit.

“Uu~ dingin sekali ya~ pagi hari di Hokkaidō. Di dalam bus terasa lebih hangat, jadi perbedaan suhunya semakin terasa ya.”

Mengatakan itu, Kushida menggosok-gosokkan sarung tangannya dan tubuhnya menggigil.

“Iya. Hawa dingin di akhir bulan November ini lebih mengejutkan daripada suhunya. Dan anehnya, ada salju di tanah.”

“Kalau mau lihat-lihat, buruan. Tapi ini, kebanyakan masih belum pada buka gitu.”

Kata Ryūen ke anggota grup yang berdiri diam.

Waktunya masih lewat pukul 9.15 pagi.

Area ski buka pukul 9.30 pagi, sementara sebagian besar toko di sekitar sini masih tutup.

Ryūen sendiri tampaknya hanya ingin menikmati ski untuk seharian ini, jadi ia tetap di tempat dan menunggu.

Di antara beberapa toko yang sudah buka saat ini, ada sebuah toko pakaian eksentrik, dan entah kenapa, Kitō berjalan dengan cepat dan mulai menatap pakaian di toko pakaian itu. Pakaian yang dipajang sangat mencolok dan tidak biasa, tapi mungkinkah ia menyukai salah satu dari pakaian tersebut?

Tepat ketika aku memikirkan itu, ia mengembalikan pakaian yang ia pegang dan mulai mencari-cari pakaian lain.

“Meski begitu, kaki Kitō ini besar sekali ya. Seperti jejak kaki manusia salju.”

Watanabe terkesan ketika ia melihat jejak kaki salju yang mengarah ke toko pakaian dan membandingkannya dengan ukuran kakinya sendiri.

Kitō itu tinggi, tapi bahkan tanpa memperhitungkan tinggi badannya, tidak salah lagi kalau kakinya itu cukup besar.

“Ayo kita semua ke sana juga.”

Amikura yang mengusulkan ide ini mengajak yang lain dan mulai berjalan seolah tidak mau ketinggalan.

Kushida langsung menerima ajakan Amikura, tapi Yamamura menolak dan tampaknya berniat untuk tetap tinggal di sini.

Watanabe dan Nishino juga sepertinya memutuskan untuk melihat dan berjalan dan sendiri-sendiri.

“Bagaimana denganmu, Yamamura-san? Kau tidak ikut?”

“...Ah, aku tetap di sini... jangan khawatir silakan pergi saja.”

Hanya aku, Ryūen dan Yamamura, kami bertiga yang tetap di sini.

Sebenarnya, aku aslinya ingin melihat-lihat bersama Amikura dan yang lainnya, tapi aku tidak ditanya apakah aku ingin pergi bersama mereka, jadi aku melewatkan kesempatan itu.

(Tln: Kasian)

Sekarang aku harus apa ya? Aku bisa melihat-lihat sendirian seperti Watanabe dan Nishino....

Karena Yamamura menolak ajakan mereka, dia pasti ingin tetap di sini dan menunggu teman-temannya kembali.

Jika aku pun pergi, dia akan ditinggalkan berduaan dengan Ryūen.

Jika keduanya tidak memiliki hubungan yang buruk, itu akan baik-baik saja, tapi mereka hampir tidak pernah bertemu satu sama lain sebelumnya.

Aku tidak bisa melihat pemandangan mereka saling mengobrol satu sama lain dan menjadi dekat, jadi terlalu kejam untuk meninggalkannya. Oleh karena itu, kecuali Yamamura atau Ryūen mulai bergerak sendiri, lebih baik aku tetap di sini, meskipun ini membuat frustrasi.

(Tln: Kiyotaka ini aslinya pedulian orangnya, tapi selalu merasa dirinya gak punya hati)

“h...”

Yamamura menggigil saat dia melihat Amikura dan yang lainnya mulai menjauh.

Penyebabnya, pastilah tangan yang ia sembunyikan di dalam mantelnya.

Hampir dapat dipastikan bahwa dia datang ke sini tanpa sarung tangan. Jika demikian, haruskah sekarang aku meminjaminya?

Namun, jika dia menolak dengan berkata bahwa dia tidak membutuhkannya, itu akan sedikit canggung.

Grup 6 Kitō dan yang lainnya sudah pergi, hanya menyisakan kami bertiga dalam situasi yang sunyi.

Yamamura tampak menahannya sebisa mungkin, tapi tetap tidak bisa menyembunyikannya.

“Oi Yamamura, ulurkan tanganmu.”

“Eh...!?”

Ketika aku terus bertanya-tanya apakah aku harus bicara padanya atau tidak, Ryūen menyuruh Yamamura, yang berdiri di sana dengan tangan di saku dalam mantelnya, dengan nada suara yang keras.

Ternyata Ryūen juga menyadari bahwa Yamamura sedang kedinginannya dan ketidakwajaran memasukkan kedua tangannya ke dalam mantel. Kupikir tangannya yang kedinginan akan dikeluarkan, tapi Yamamura mengalihkan pandangannya....

“Aku tidak mau.”

Meskipun dengan suara kecil, dia menolak dengan tegas.

“Ha?”

“Aku tidak mau mengeluarkannya. Soalnya dingin.”

Dia tidak menyebutkan apakah dia mengenakan sarung tangan atau tidak, tapi memberikan alasannya. Karena di Hokkaidō, kamu bisa merasakan angin dingin bahkan melalui sarung tangan. Pasti lebih hangat jika tanganmu dimasukan ke dalam mantel.

Kukira percakapan mereka akan selasai di sini, tapi Ryūen menginjak jalanan bersalju dan mendekatkan dirinya ke Yamamura.

Kemudian dia meraih lengan kanannya dan secara paksa menariknya keluar dari sakunya.

“Ah———”

Setelah memastikan secara langsung kalau ia tidak mengenakan sarung tangan, Ryūen melepaskan tangannya dan Yamamura buru-buru menyembunyikan tangannya di dalam mantelnya.

“Pantas saja kamu kedinginan. Di mana sarung tanganmu?”

Ryūen membuktikan bahwa dia bertelanjang tangan dengan main kasar, tapi Yamamura tidak menjawab.

Dia membalikan punggungnya seolah-olah meminta agar tidak usah pedulikan dirinya.

“Pakai sarung tangan saja kau masih payah, apa kau ingin melumpuhkan tanganmu sampai membuatmu cedera?”

Kesimpulan Ryūen ini tepat. Yamamura yang masih pemula bahkan belum cukup mahir dalam bermain ski.

Dalam keadaan seperti itu, jika tangannya tidak berguna karena kedinginan, ia tidak akan bisa membuat kemajuan. Justru sebaliknya, hal itu hanya akan meningkatkan risiko terjatuh.

“Jika kau terluka parah dan menyebabkan keributan, ski-ku mungkin akan dibatalkan. Apa kau mau tanggung jawab?”

Penekanan pada ski-ku terdengar seperti campuran antara keegoisan yang khas dari Ryūen dan kebaikan yang kikuk.

“Tidak, itu...”

Yamamura tampak tidak dapat membalas masalah yang bukan hanya tentang perasaan.

“Jadi. Di mana sarung tangan?”

“...Aku lupa.”

“Hah, aku tidak percaya ada orang yang sebodoh itu.”

Tidak banyak orang yang akan melupakan sarung tangan mereka dalam cuaca dingin ini.

Sambil mencibir, Ryūen menatap sarung tangannya sendiri.

Jangan-jangan dia akan meminjamkan sarung tangannya ke Yamamura———.

“Oi Ayanokōji, pinjamkan sarung tanganmu.”

“...Lak kok aku?”

Dia tidak menunjukkan sikap yang selembut itu, dan melemparkan semuanya ke padaku.

“Aku juga pemain ski pemula, kau tahu?”

“Kau tidak akan mengalami masalah jika terluka, bukan?”

Aku masih tidak mengerti bagaimana logikanya....

Tapi sayangnya, toko yang menjual sarung tangan di sekitar sini kemungkinan besar tidak akan buka.

Oleh karena itu, aku tidak punya pilihan lain selain meminjamkannya agar Yamamura tidak kedinginan. Di area ski mungkin ada sarung tangan khusus, tapi hanya dengan dihangatkan selama 10 atau 15 menit pasti ada perbedaannya.

“Ti-Tidak usah. Aku baik-baik saja.”

Yamamura sudah menghembuskan napas sambil menjaga jarak saat mengatakan itu.

“Lebih baik jangan menolak. Dingin menyebabkan vasokonstriksi. Tubuhmu menggigil itu karena reaksi otot untuk meningkatkan suhu tubuhmu. Dalam keadaan itu bisa berbahaya untuk mulai bermain ski. Bukankah yang paling membuatmu frustasi adalah jika ternyata ucapan Ryūen itu benar?”

(Tln: vasokonstriksi = penyempitan pembuluh darah)

“Itu...”

Aku dengan setengah paksa menyodorkan sarung tangan yang kulepas pada Yamamura.

“Tapi... bagaimana denganmu, Ayanokōji-kun?”

“Aku baik-baik saja. Daripada itu, untuk menghindari cedera saat bermain ski, jangan memaksakan diri.”

Aku tidak punya ketahanan khusus terhadap dingin, tapi seperti kata Ryūen, jika aku mengendalikannya dengan teknik, aku tidak akan mengalami masalah.

“...Maaf...”

Dengan malu, Yamamura mengenakan sepasang sarung tangan besar dengan tangannya yang sedikit mengigil.

Kemudian dia memasukkan tangannya kembali ke dalam mantelnya.

Tangannya masih akan dingin untuk sementara waktu, tapi akan membaik setelah beberapa menit.

“Nanti kamu harus beli sarung tangan baru yang sesuai dengan ukuran tanganmu.”

“Ya. Anu, setibanya di area ski, tolong biarkan aku menebus sarung tanganmu, Ayanokōji-kun.”

“Menebus?”

“Karena sudah kupakai... aku merasa tidak enak untuk mengembalikannya padamu. Ini akan kotor.”

“Itu tidak kotor kok. Tidak, bahkan jika kamu jatuh dan mengotorinya, aku tidak terlalu peduli, selama kamu mengembalikannya padaku dalam keadaan utuh, itu sudah cukup.”

“Bukan itu maksudku. Karena aku memakainya, itu akan menjadi kotor...”

Aku ingin tahu apakah ini semacam cara berpikir orang yang terobsesi dengan kebersihan? Tidak, tapi Yamamura memakai sarung tangan itu tanpa penolakan, meskipun terlihat sungkan. Aku tidak begitu paham cara berpikirnya.

“Aku tetap ingin menebusnya.”

Jika dia mau menebus sarung tanganku, aku tidak berpikir dia akan terang-terangan memilih yang termurah dan mengembalikannya padaku.

Dia akan terpaksa untuk mengeluarkan biaya tinggi untuk tindakan yang tidak perlu ditebus.

“Kamu hanya akan menggunakan poin pribadi untuk hal yang tidak penting. Kamu tidak perlu melakukan itu.”

“Apa kamu, tidak merasa jijik?”

Dia masih mengatakan hal-hal yang tidak aku mengerti.

Kenapa jika Yamamura memakainya, itu akan membuatku merasa jijik?

Bahkan jika yang kupinjami bukan Yamamura, aku akan merasakan hal yang sama.

“Tidak. Aku akan lebih jijik jika kamu menebusnya karena kekhawatiran yang tidak perlu.”

Aku memberitahunya bahwa aku bingung dengan kalimat yang agak keras.

“Ka-Kalau begitu, setidaknya biarkan aku berterima kasih dengan hal yang lain.”

Aku pikir dia tidak perlu berterima kasih padaku, tapi mungkin aku perlu melakukan sesuatu agar Yamamura puas.

Jika dia begitu bersikeras, aku harus menyediakan jalan yang akan membuatnya puas.

“Kalau begitu, bolehkan aku menanyakan satu hal sebagai pengganti ucapan terima kasih?”

“...Ya?”

“Apakah ada alasan kenapa kau tidak mengenakan sarung tangan sejak kita menunggu bus pagi tadi?”

“Aku, hanya lupa.”

Aku tahu ia tidak sengaja untuk bertelanjang tangan.

“Kamu punya banyak waktu untuk kembali ke kamar dan mengambilnya, ‘kan? Atau apa kamu mengira telah menghilangkannya?”

Aku melangkah lagi dan menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran.

“...Karena suasanya, tidak mendukung...”

“Suasana?”

“Suasana yang membuatku enggan untuk kembali, semacam itu.”

Memang benar ada banyak kerumunan siswa di lobi, tapi apakah ini merupakan suasana yang membuatnya enggan untuk kembali, itu agak dipertanyakan.

Tidak, itu hanya apa yang aku rasakan, aku harus melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dari apa yang dirasakan Yamamura. Walaupun kami baru mengobrol beberapa menit, aku bisa melihat lebih banyak tentang siswa bernama Yamamura ini.

Dan aku pun menjadi sedikit tertarik padanya.

“Dengan siapa biasanya kamu bergaul, Yamamura?

Teman seperti apa yang dimiliki oleh siswa seperti ini. Apakah mereka anak pendiam yang sama sepertinya, atau mereka berada dalam lingkaran anak-anak populer seperti Kushida, yang menyambut semua orang? Atau, apakah mereka tipe anak-anak yang menariknya? Tapi, Yamamura tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ekspresinya tidak banyak berubah, tapi dia menyipitkan matanya dan berpaling dengan sedikit canggung.

“Tidak ada. Aku biasanya menghabiskan sebagian besar waktuku sendirian.”

“Sendirian? Tapi kurasa tidak mungkin kelas A akan meninggalkan rekannya sendirian.”

“Karena hawa kehadiranku tipis... mereka bahkan mungkin tidak menyadari kalau aku sendirian. Ini adalah kejadian sehari-hari, jadi aku tak terlalu memikirkannya.”

Seseorang yang hawa kehadirannya tipis itu memang ada.

Jika ada, aku sendiri tergolong dalam tipe itu.

Tapi dalam kasusku dan Yamamura, kemungkinan besar yang mendasarinya sangat berbeda.

Kalau dipikir-pikir, jika Kushida menyadari bahwa Yamamura kedinginan, tidak mungkin dia akan mengabaikannya.

Bahkan Kushida yang selalu memperhatikan reaksi orang lain, tampaknya telah menjadi tidak peka terhadap tipisnya kehadiran Yamamura.

Yah, jika kehadirannya benar-benar tipis, tidak ada yang akan tahu jika dia kembali untuk mengambil sarung tangannya.

Tipisnya kehadiran. Jika itu dianalisis secara objektif, aku bisa mengungkapkan sebagian dari jati dirinya.

“Apa kau menyukai dirimu sendiri, Yamamura?”

“Aku sama sekali tidak menyukainya. Mana bisa.”

Yamamura menjawab dengan jujur karena merasa lemah karena telah dipinjamkan sarung tangan.

Yang ingin dia sembunyikan adalah dirinya sendiri, pasti itulah salah satu alasan kenapa hawa kehadiranya tipis.

Jika dia tidak ingin menunjukkan dirinya sendiri dan menarik perhatian orang lain, dia pasti akan bertingkah tidak mencolok.

Bahkan selama diskusi, ia bersembunyi di belakang seseorang agar dirinya tidak diketahui.

Ini seperti dia mengenakan pakaian hitam di tengah malam dan tidak tahu mengapa dirinya tidak menonjol.

Dia juga tidak bergerak yang tidak perlu, jadi kecil kemungkinan orang akan sadar dia terlihat oleh mereka.

Hawa kehadirannya pun jadi berkurang dari yang seharusnya.

Terlebih lagi, dari apa yang kulihat, Yamamura lebih waspada terhadap orang daripada yang lain.

Dengan kata lain, dia takut dengan orang lain dan membuat dirinya tidak diperhatikan sebisa mungkin.

Aku kini tahu bahwa kombinasi dari faktor-faktor ini telah menyebabkan terciptanya Yamamura, siswa yang hawa kehadirannya tipis dan sulit dikenali. Masalahnya, meskipun penyebabnya sudah diketahui, itu tidak bisa langsung diatasi.

Jika aku yang biasanya tidak memiliki hubungan dengannya, mengatakan sesuatu seperti ini, Yamamura hanya akan menjadi lebih waspada terhadapku. Jika dia memiliki orang kepercayaan yang bisa ia percayai, maka kata-kata akan lebih mudah untuk menjangkaunya.

Pada akhirnya, percakapan kami telah berakhir dan kami sekarang dalam keheningan.

Sekitar 10 menit kemudian, tepat sebelum pintu dibuka, mereka semua kembali.

“Kalau begitu, bagaimana kita akan membaginya? Kita semua tidak harus bermain ski bersama, ‘kan?”

Sekalipun aktivitas grup adalah wajib, bukan berarti bahwa semuanya harus disamakan. Itu karena dengan campuran pemain ski pemula dan mahir, sulit, atau bahkan tidak mungkin, semua orang untuk disamakan dengan yang lain.

Keseimbangan adalah kuncinya. Apakah orang-orang di sekitar bisa menilai itu cocok atau tidak ketika mereka melihatnya.

Pembagian tim perlu dipertimbangkan, dimulai dari yang paling kurang terampilan dari kami berdelapan.

“Aku dan Yamamura sudah pasti di jalur pemula, gimana? Aku tidak keberatan jika kami hanya berdua bermain ski-nya.”

Pertama, ada jalur pemula yang landai di bagian bawah area ski, jadi sudah pasti keduanya bermain ski di sana. Yamamura langsung menyetujui usulan Watanabe.

“Kupikir sebaiknya seseorang yang bisa berseluncur mengikuti Yamamura dan Watanabe. Kalau tidak keberatan, aku bisa———”

“Ah, tidak usah, Kushida-san. Aku saja yang di jalur pemula.”

“Eh? Kamu yakin?”

“Jangan khawatir, kamu berseluncur saja. Aku bisa dibilang bisa berseluncur, tapi jalur untuk yang mahir agak menakutkan.”

Nishino yang bisa berseluncur lancar, mengatakan itu dan menawarkan diri untuk mengikuti Yamamura dan Watanabe.

“Aku juga tidak yakin sanggup di jalur mahir... jadi kurasa aku akan ikut.”

Mungkin itu niat Amikura sejak awal, jadi dia segera memberitahukannya tepat setelah Nishino menjawab.

Tanpa diduga, kami sepakat untuk membaginya ke dalam tim yang terdiri atas empat orang dan berseluncur di jalur yang berbeda.

“Jika kalian ingin berseluncur di jalur menengah atau yang lebih tinggi, beritahu aku ya. Aku akan ada di sana untuk mendukung kalian.”

Untuk jaga-jaga, seandainya Nishino dan Amikura sudah tidak bisa menahan diri, Kushida menambahkan.

“Kalau begitu, untuk makan siang di siang hari. Ayo kita semua kumpul di restoran.”

Tepat ketika grup kami mulai berjalan menuju pintu masuk area ski.

Aku merasa mendengar suara yang asing, seperti suara derap kaki kuda, dan seekor kuda berlari kencang melewati kami, menendang salju.

Kukira ada apa, ternyata Kōenji yang menunggangi kuda itu.

Siswa dari kelas lain tampak benar-benar terkejut, dan bahkan si Kitō itu tampaknya sedikit tertegun.

Untuk para siswa yang baru mengenal Kōenji, ini adalah reaksi yang wajar.

“Tuan———! Di sana bukan jalur berkud———a!”

Tak lama kemudian, beberapa anggota staf yang panik datang berteriak mengejarnya dari kejauhan.

“Apaan itu...”

“Hebat, ya...”

Tampak tertegun, Nishino dan Yamamura menatap Kōenji, yang sudah mengecil seperti kacang polong.

“Entahlah. Aku belum pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, tapi aku tidak terlalu terkejut sih.”

Kushida mengatakan ini sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya.

“Karena sebagai teman sekelas, kita sudah terbiasa melihat perilaku aneh Kōenji...”

Anehnya, aku tidak merasa heran bahkan jika hal seperti barusan itu dilakukan oleh Kōenji.

Terus terang saja aku sudah terbiasa, kurasa.

Related Posts

Related Posts

3 comments