-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 4 Part 2 Indonesia

Bab 4
Perjalanan Sekolah Hari Ke-3


2


Setelah menunggu Katsuragi sampai selesai makan, Ryūen, Katsuragi dan aku meninggalkan ruang makan.

Aku melihat Kushida duduk diam di kursi tunggu yang diletakkkan di dekat pintu masuk.

Kushida berdiri begitu melihat kami bertiga dan mendekati kami tanpa ragu-ragu.

“Ryūen-kun, ada yang ingin kubicarakan denganmu, boleh minta waktunya?”

Ternyata dia menunggu dengan sabar di tempat ini sampai Ryūen muncul.

Sulit dipercaya bahwa seorang gadis sepeti Kushida selesai makan lebih dulu dari kami yang selesai makan lebih cepat.

Sepertinya itu agar ia memiliki waktu untuk bersiap-siap karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan Ryūen.

Membaca suasana, Katsuragi langsung kembali ke kamarnya sendirian.

“Ha? Ada perlu apa?”

“Jangan di sini... kalau bisa kita pindah tempat, tidak apa-apa, ‘kan?”

Kushida berada dalam mode luar yang sama seperti biasanya karena di depan umum, tapi perilakunya sedikit aneh.

“Maaf, tapi kau bukan seleraku.”

“Ahaha, bukan seperti itu. Dan tenang saja. Matipun aku juga tidak sudi denganmu, Ryūen-kun.

Kushida mengarahkan niat membunuhnya ke arah Ryūen sambil mewaspadai sekelilingnya.

“Ya okelah, setidaknya aku akan mendengarkanmu. Si pengganggu lebih baik disingkirkan, bukan?”

Si pengganggu, tentu saja maksudnya aku. Karena Kushida juga menyatukan tangannya untuk meminta maaf, aku harus pergi dari sini. Mereka berdua berjalan berdampingan menuju ke tempat yang kurang populer.

Jika kubiarkan begitu saja, sepertinya akan berubah ke arah yang tidak terlalu bagus.

Menghapus kehadiranku sepenuhnya, aku putuskan untuk mengikuti mereka berdua. Tetapi aku tidak boleh ketinggalan apapun.

Melihat Ryūen menunjukkan tanda-tanda melirik ke belakang selama dia berjalan, sangat berhati-hati adalah keputusan yang tepat.

“Jadi? Apa yang ingin kau bicarakan berdua denganku?”

“Ini soal hubunganku denganmu Ryūen-kun. Kamu terkadang mengatakan hal-hal yang tidak perlu saat kita beraktivitas sebagai grup, bukan? Bolehkah aku minta kamu untuk berhenti melakukan hal semacam itu?”

Sejauh yang kulihat, sudah dua kali Ryūen seperti akan menyalakan sumbu bom di depan Kushida. Wajar saja jika dia tidak suka dengan itu.

“Apa yang kau inginkan dariku?”

“Yang kuinginkan? Tak ada yang kuinginkan darimu untuk saat ini.”

“...Lalu, apa itu artinya kau akan memintanya suatu hari nanti?”

Dari suaranya yang kudengar, Kushida sedikit kurang tenang.

“Kau menjual jiwamu kepada iblis agar Suzune dikeluarkan, bukan? Tentu saja, ada risiko yang harus ditanggung. Kau sudah tidak bisa pura-pura masa lalu tidak pernah terjadi, loh?”

“Ka-Kau benar. Kupikir itu benar.”

“Meski begitu, kau sudah banyak berubah ya, Kikyō. Kau yang dulu tidak akan berpikir untuk meminta hal itu di sini bahkan jika aku memprovokasimu. Benar, ‘kan?”

Ryūen merasakan ada yang tidak beres. Harusnya dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang ujian khusus suara bulat, tapi karena dia memiliki indera penciuman yang tajam, dia pasti bisa merasakan sesuatu.

“Jangan-jangan, ada seseorang yang mau nerima sifat aslimu?”

“Kau bisa berspekulasi sesuka hatimu, tapi tebakanmu salah.”

“Kukuh. Apa pun itu, bagiku kau adalah salah satu kunci penting untuk menaklukan kelas. Ketika aku harus berurusan dengan kelas Suzune di masa depan, aku akan menggunakan senjata ini tanpa ampun.”

Dia sengaja tidak menyebut perihal Kushida sampai saat ini. Dia berniat untuk menyimpannya sebagai salah satu langkah efektif untuk menimbulkan kerusakan dalam situasi yang lebih penting di masa mendatang.

Itu adalah penghalang bagi Kushida yang sudah bangkit kembali dan memutuskan untuk melayani kelas untuk dirinya sendiri.

Itu tidak dapat dengan mudah dihilangkan dan akan terus menyiksanya.

“Jadi gimana? Apa kau akan berlutut dan meminta ku agar tidak membocorkannya? Atau apa kau akan menyingkirkanku dengan mengeluarkanku? Tak ada dari itu semua yang terdengar mudah.”

“Aku...”

Aku tidak bisa membiarkan Kushida memilih salah satu dari opsi tersebut.

Bahkan jika opsi ketiga muncul, hal yang sama juga akan berlaku.

“Maaf Ryūen, tapi kau harus berhenti mengungkit masalah Kushida.”

Aku berhenti bersembunyi dan memutuskan untuk menunjukan diriku kepada mereka.

“Cih. Sudah kuduga kau ngikutin.”

“A-Ayanokōji-kun!?”

“Kewaspadaanmu sudah kuperhitungkan.”

“Yah, terserah. Jadi? Apa maksudmu dengan aku harus berhenti mengungkit masalah Kikyō?

“Maksudku persis seperti itu. Aku tahu kau berniat untuk membocorkan rahasia Kushida, tapi aku ingin kau urungkan niatmu itu.”

Mendengar peringatan dariku, Ryūen tertawa riang dan bertepuk tangan.

“Hahaha! Oalah, jadi kau juga terlibat dalam hal ini ya, Ayanokōji. Dan jika kau berkata begitu, itu berarti dia bukan lagi kanker kelas seperti dulu.”

Ryūen tertawa geli setelah mendapat jawaban yang memecahkan semua pertanyaannya selama ini.

“Itu benar. Kushida kini mengambil langkah baru sebagai teman sekelas Horikita. Aku tidak akan biarkan gangguan darimu menghancurkan itu.”

“Maaf, tapi ini semakin menarik. Bagaimana kalau kita buat meriah dari sekarang tanpa perlu negosiasi?”

“Tidak akan ada yang mempercayai perkataanmu, Ryūen-kun.”

Ucap Kushida untuk melawan karena sudah tidak tahan lagi, tapi Ryūen tidak akan berhenti hanya dengan gertakan seperti itu.

“Aku tidak yakin. Kita tidak akan tahu sebelum kita mencobanya.”

Yang dibutuhkan sekarang bukanlah pencegahan verbal yang tanggung, tapi menahan total gerakannya.

“Jika kau memutuskan untuk membongkarnya, tidak ada yang bisa menghentikanmu.”

Aku menepuk pundak Kushida agar dia tidak perlu khawatir karena dia tidak bisa menyembunyikan kecemasan dan rasa terhinanya.

“Tapi jika kau lakukan itu, kau tidak akan bisa melawan Sakayanagi dalam ujian akhir sekolah.”

“Haa? Aku tidak mengerti kenapa bisa mengarah ke situ.”

“Aku akan menangani ini dengan cara yang tidak kau inginkan.”

Seakan menanggapi kata-kataku, senyum Ryūen langsung berubah curiga.

Sama seperti, atau bahkan lebih, daripada ketika ia pernah tanpa rasa takut menculik Kei.

“Hah. Wah wah wah, sudah lama sekali kau tidak menunjukan wajahmu itu padaku.”

Aku menyela di antara Ryūen dan Kushida dan mendekat lebih jauh ke Ryūen.

“Bahkan jika aku memilih untuk tetap diam di sini sekarang———tidak ada jaminan kalau aku tidak akan membongkarnya, kau tahu?”

Ryūen menunjukkan kepercayaan diri, tapi akhirnya mengangkat tangannya dengan ringan.

“Aku tidak akan mengungkitnya lagi. Lagipula aku tidak berencana menyerang kelas kalian dengan cerita Kikyō. Atau harus kukatakan kalau aku telah kehilangan minat untuk melakukannya.”

“Apa, maksudmu?”

“Itu mungkin bisa dijadikan senjata jika Ayanokōji tidak terlibat.”

“Eh...?”

“Kau mungkin tidak tahu, tapi kemarin dia bilang padaku. Dia bilang dia tidak lagi ingin mengeluarkanmu Kikyō. Bahkan jika aku menyerang menggunakan cerita ini, itu tidak akan berhasil untukmu, Ayanokōji.”

“Ya. Aku sudah memikirkan cara menanganinya.”

“Tidak ada gunanya menyerang kalian menggunkan rencana yang pasti gagal dan menerima akibatnya. Iya, ‘kan? Dari pengalamanku, rencana yang kurang matang tidak akan berhasil untuk mengalahkanmu.”

Bukan berarti dia benar-benar menyerah, aku yakin dia akan menantang kelas Horikita dengan cara dan rencana yang bahkan tidak bisa aku bayangkan.

“Aku akan balik ke kamar sekarang. Sampai jumpa, Kushida, nikmatilah sisa kehidupan sekolahmu sepuas hatimu.”

Jangan hentikan aku lagi. Ryūen kembali ke kamar tamu dengan sikap yang seperti mengatakan itu.

Dia mengubah cara memanggilnya dari Kikyō ke Kushida. Aku ingin tahu apakah ini melambangkan hilangnya minat Ryūen padanya.

Hanya tinggal aku dan Kushida di tempat ini, dan keheningan menyelimuti.

“Kenapa... kamu ke sini menolongku? Tidak ada untungnya sama sekali buatmu, kan, Ayanokōji-kun?”

“Ada untungnya. Karena Kushida adalah seseorang yang sangat diperlukan untuk kelas. Sekalipun aku tidak datang ke sini, Ryūen tidak akan membongkarnya, tapi aku tidak tahu bagaimana kau akan meresponnya. Kau pasti berpikir untuk buat dia tutup mulut dulu, bukan?”

“...Itu, yah...”

“Ryūen bukanlah tandinganmu. Bisa jadi masalah jika kau mendekatinya lebih dulu karena ia tidak kunjung menyerang hanya untuk menghancurkan dirimu sendiri. Itulah kenapa aku memutuskan untuk muncul.”

“Jadi Ayanokōji-kun merasa bisa menanganinya? Kenyataannya... kamu sudah melakukannya sih.”

“Setidaknya di tahap ini, aku belum mengganggap Ryūen sebagai lawan yang tangguh.”

“Ha-Hah? Apa itu...”

“Pokoknya, kamu tidak perlu menyebrangi jembatan berbahaya lagi. Jagalah baik-baik dirimu yang sekarang.”

(Tln: menyebrangi jembatan berbahaya = mengambil resiko)

“Sanjungan itu rasanya tidak nyaman. Apakah kelas  benar-benar sangat membutuhkan bantuanku?”

“Masih ada lagi.”

“Ada lagi?”

“Aku merasa bisa menjalin hubungan baik dengan Kushida sekarang, karena kau bisa bicara terus terang.”

Karena aku sekarang bisa melihat sisinya yang lain, ada lebih banyak faktor yang membuatku lebih mudah untuk menebak apa yang dia pikirkan.

“Hentikan. Mana mungkin ada orang yang tahu sifat asliku benar-benar merasa seperti itu?”

Karena dia mungkin orang yang paling menyadari bahwa dirinya memiliki kepribadian yang tidak disukai.

“Tidak juga. Jujur kau menyenangkan.”

“Apa itu... aku tidak tahu seberapa seriusnya kamu. Karena Ayanokōji-kun tidak bisa kupercaya.”

Kushida yang biasa akan tersenyum dan menjawab begitu, tapi ekspresinya tegas.

“Ini faktanya. Ada sebagian orang di dunia ini yang merasa lebih nyaman dengan sifat aslimu.”

“Mana mungkin———”

Kushida yang hendak mengatakan sesuatu, melihat ke arahku, membuka mulutnya lebar-lebar dan berhenti bergerak.

Kemudian ia tiba-tiba mulai berjalan menuju dinding.

“...Kenapa?”

Segera setelah itu, merentangkan kedua lengannya, dia kemudian menghantamkan telapak tangannya yang terbuka ke dinding dengan sekuat tenaga.

“Enggak papa, enggak papa...”

(Tln: di SS, ini gumaman sendiri, aku masih berpikir kalau harusnya diterjemahin, “Tenang, tenang...”)

Gumamnya, dan dia berhenti bergerak sepenuhnya.

Ketika aku melihatnya karena penasaran ada apa dengannya, Kushida menoleh ke belakang setelah mengatur napasnya.

“Aku sedikit pusing, tapi sudah tidak lagi! Aku baik-baik saja!”

Kushida meninggikan suaranya dengan cara aneh, tapi meminta agar tidak usah khawatir.

“...Kau yakin baik-baik saja?”

Walau ia tampak tidak dalam kondisi yang sebaik itu, Kushida menunjukkan wajah publiknya yang biasa.

“Un. Aku baik-baik saja!”

“Be-Begitu ya.”

Dalam kasus Kushida, emosinya sangat sulit dibaca.

“Kurasa, Ayanokōji-kun telah menolongku. ...Terima kasih.”

“Rasanya Kushida jadi lebih sering berterima kasih padaku akhir-akhir ini.”

“Mungkin begitu.... Un, aku akan coba untuk tidak terlibat dengan Ryūen-kun mulai sekarang.”

“Itu bagus.”

“Kalau begitu, aku akan kembali ke kamar. Sampai jumpa besok.”

“Sampai jumpa besok.”

Kushida berjalan menyusuri koridor dengan ekspresi seperti dia sudah benar-benar kembali normal.

Tetapi dia tersandung di tengah jalan dan jatuh lagi, kali ini dengan keras, dan salah satu bakiaknya terbang tinggi.

“Kau baik-baik saja?”

“Baik-baik saja! Kok! Oke!”

Dia terhuyung-huyung berdiri dan memakai kembali bakiaknya sambil mengibaskan dengan tangannya agar aku tidak mendekat.

Related Posts

Related Posts

6 comments