-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 4 Part 3 Indonesia

Bab 4
Perjalanan Sekolah Hari Ke-3


3


Aku sedang menunggu sambil menyandarkan punggung di dinding koridor yang mengarah keluar dari kamar tamu karena aku ada pertemuan dengan Horikita.

“Maaf aku sedikit terlambat.”

Horikita muncul disertai permintaan maaf, tapi tidak ada masalah karena dia juga tidak terlambat.

“Tak usah basa-basi———”

“Kau mau bicara panjang lebar di sini?”

Para siswa selalu keluar masuk kamar sana-sini di dekat kamar tamu.

Ini adalah salah satu tempat yang paling tidak cocok untuk membicarakan hal-hal yang rahasia.

“Kau benar, sepertinya ini bukan tempat yang bagus untuk bicara. Ayo kita pindah tempat. Mungkin kita bisa ke mesin penjual otomatis untuk ambil minum. Kita juga bisa bicara sambil berjalan, bukan?”

Itu pilihan aman, aku tidak terlalu keberatan jadi aku setuju.

Bicara sambil berdiri akan menarik perhatian, tapi tidak perlu mengkhawatirkan hal ini jika kami mengobrol sambil berjalan.

“Mesin penjual otomatis di depan pemandian umum besar menjual susuh buah. Rasanya enak loh.”

Aku diberitahu bahwa itu adalah minuman yang diminum setelah mandi, dan kupikir itu benar sekali.

“Terima kasih atas masukan kekanak-kanakanmu. Tapi itu cocok diminum di tengah malam.”

Apakah masalah zona waktu? Tidak, mungkin saja, berlaku dari sudut pandang seorang gadis.

“Tapi jarak ke mesin penjual otomatis di pemandian umum besar lebih jauh, jadi ayo kita pergi ke sana.”

Langkah kaki Horikita lambat, gerakan yang terlihat seperti dia hanya memprioritaskan pembicaraan.

“Mengenai Festival Budaya tempo hari. Aku tidak sempat berbicara denganmu tentang hal itu, bukan? Aku selalu kepikiran soal itu, tapi aku tidak bisa memikirkan waktu yang tepat sampai hari ini.”

“Waktu itu kelihatannya kamu sangat kelelahan, dan kau memperlihatkan wajah tidurmu yang tak berdaya.”

“...Mau kutendang?”

Aku segera mengibarkan bendera putih ketika aku diperlihatkan kuda-kuda tubuh bagian atasnya yang bersemangat.

“Ampun.”

“Kelalaian sungguh kelalaian. Aku tak percaya anak laki-laki akan melihat wajah tidurku. Kau telah menodaiku.”

“Apa kau peduli dengan itu?”

“Tentu saja peduli... tapi itu tidak masalah sekarang. Yang ingin kudengar adalah apa yang terjadi pada hari itu.”

Menepis rasa malunya sendiri dengan tangannya, Horikita memasang wajah serius.

“Rangkaian peristiwa yang terjadi di ruang OSIS hari itu, kau terlibat di dalamnya, bukan?”

Kasus festival budaya, hari itu, ruang OSIS, hanya ada satu peristiwa yang bisa mengarah pada semua itu.

“Apa kau yang mengeluarkan Yagami-kun?”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

Aku tidak menghindar, aku hanya tertarik dengan alasan kenapa dia sampai pada jawaban itu.

“Aku tidak tahu apakah kamu sudah tahu, tapi ada kemungkinan Yagami-kun berencana mengeluarkanmu. Faktanya, kata-kata dana perbuatannya di ruang OSIS sudah cukup untuk mendukung hal itu.”

Horikita dengan caranya sendiri, sepertinya memiliki beberapa bagian yang tidak kuketahui.

Tidak aneh jika dia bisa melihatnya dalam proses pemasangan bagian itu ke dalam bingkai.

“Aku tidak tahu tentang Yagami, tapi itu seharusnya bukan hal yang mengejutkan. Kau juga tahu sendiri kalau Hōsen berusaha mengeluarkanku, bukan?”

“Hadiah 20 juta poin pribadi, kan.”

“Selain itu Yagami ikut berpartisipasi, dan kurasa ia terus mencari kesempatan untuk mengincarku, ‘kan?”

“Aku juga memikirkan kemungkinan itu. Tapi, terlalu banyak hal yang tidak wajar. Terlebih lagi, aku tidak merasa seperti dia mencoba mendekatimu demi uang.”

Tampaknya Horikita yang hadir di tempat kejadian itu, tahu lebih banyak tentang hal ini.

“Aku penasaran dengan jawaban dari setiap pertanyaanku. Tapi bukan itu yang paling ingin aku ketahui.”

“Lalu apa yang ingin kau ketahui?”

“Identitas aslimu. Aku tidak bisa menganggap kamu adalah siswa normal seperti siswa lainnya.”

“Itu pertanyaan yang meresahkan. Siswa seperti apa aku ini jika bukan siswa normal?”

“...Aku tidak tahu. Ini bukan soal kamu pintar atau tidak. Aku hanya sama sekali tidak bisa membayangkan orang seperti apa kamu ini. Tidak bisa kupahami.”

Orang seperti apa Ayanokōji Kiyotaka itu. Jadi itu yang ingin kau ketahui?

“Tidak ada hal istimewa yang bisa kubicarakan. Aku benar-benar tidak punya apa-apa untuk bicarakan.”

“Kalo gitu, jika kutanya, apa kau bisa menjawabnya satu per satu? Dari mana kamu berasal, lulusan SD dan SMP mana. Apa kamu pernah mengikuti suatu lomba di masa lalu? Apa kamu belajar mandiri, ikut bimbel atau menyewa tutor?”

Aku yakin tidak akan menerima pertanyaan sedetail itu bahkan dalam kencan buta.

“Aku mengerti maksudmu, tapi kurasa aku tidak bisa menerima banyak pertanyaan yang merepotkan itu.”

Horikita menunjukkan ketidakpuasannya secara terang-terangan dengan bibirnya yang cemberut.

“Jadi aku akan ungkapkan beberapa informasi.”

“...Informasi apa?”

“Misalnya, ya. Seperti yang kamu duga, aku terlibat dalam kasus Yagami.”

“Kau tidak bercanda, ‘kan? Apa karena Yagami-kun berusaha mengeluarkanmu dari sekolah?”

“Tepatnya, aku tidak tahu kalau itu Yagami. Lebih akurat jika kukatakan kalau Yagami terperangkap ketika aku coba menjebak seorang siswa yang berencana untuk mengeluarkanku. Di ruang ada OSIS ketua OSIS Nagumo, Ryūen dan yang lainnya kan, akulah yang mengatur itu semua. Itu untuk mengepungnya adar dia tidak akan bisa membuat alasan yang setengah matang.”

Selama ini aku tidak pernah merasa ada gunanya untuk menceritakan Horikita tentang hal-hal ini.

Tapi di sini, aku bisa memberinya data yang secara tidak langsung menunjukkan padanya orang seperti apa aku ini.

Menciptakan kemungkinan untuk memanfaatkan hal ini ketika dia nanti mengetahui identitas asliku.

“Ngomong-ngomong, tidak ada hubungan antara ketua OSIS dan Ryūen. Aku hanya mendekati mereka secara individu.”

“Rasanya sekarang aku mengerti... perasaan tidak nyamanku tentang waktu itu.”

“Ngomong-ngomong, kita hampir sampai.”

Kami menaiki tangga ke lantai dua di mana terdapat pemandian utama besar dan tiba di area istirahat yang ada mesin penjual otomatisnya.

Kemudian ada dua guru wanita yang memonopoli dua kursi pijat.

Mereka memasrahkan tubuh mereka pada pijatan dengan ekspresi santai di wajah mereka dan tampaknya tidak menyadari kami.

Aku dan Horikita melakukan kontak mata untuk pertama kalinya.

Kami bisa saja mengabaikan mereka, tapi Horikita tampaknya memilih untuk bicara dengan mereka.

“Kalain berdua sudah seperti di rumah sendiri ya.”

“Fue? Eh, ada Horikita-san~.”

Hoshinomiya-sensei menjawab dengan hanya mengangkat pergelangan tangannya yang bergetar.

“Bukankah sekarang belum waktunya para siswa tidur dan guru-guru masih bertugas?”

“Sayang sekalii. Malam ini kami seperti setengah liburaan. Iya, ‘kaan? Sae-chaan.”

“Begi, tu, lah.”

Chabashira-sensei memasrahkan tubuhnya ke kursi pijat yang bergetar dan memejamkan matanya dengan nyaman.

“Itu, apa rasanya seenak itu?”

Aku tertarik untuk menggunakannya, namun karena berdekatan dengan pemandian umum besar, aku tidak bisa menggunakannya karena mata para siswa yang sering datang dan pergi.

“Seiring dengan bertambahnya usia, pijat menjadi sangat diperlukan. Artinya, ada banyak masa sulit yang tidak akan dimengerti oleh kalian yang masih muda.”

Dikatakan bahwa dengan penurunan fisik, muncul kebutuhan akan peralatan untuk mendukungnya.

“Terutama buat Sae, bahunya sangat kaku.”

“Komentarmu itu tidak perlu.”

Untuk sesaat, para guru saling bertukar tatapan tajam.

“Meski begitu, Horikita-san, kau sudah benar-benar menjadi seperti seorang pemimpin. Pasti kamu nyaman di Kelas B? Eh, yang nanya mantan wali Kelas B.”

“Tidak terlalu. Yang kuincar adalah Kelas A. Saat ini baru checkpoint.”

“Sudah PD ternyata.”

Di saat mereka mengobrol, aku mengambil remote control yang terhubung ke mesin pijat Chabashira-sensei.

Sepertinya ada 5 level intensitas, dan sekarang ini sedang bergerak dengan level 3.

Tentu saja semakin kuat intensitasnya, akan semakin efektif.

Tanpa banyak berpikir, aku penasaran bagaimana rasanya tingkat intensitas 5, jadi aku mengubahnya.

“En, hiyaa, ennnh!?”

Setelah terkejut, Chabashira-sensei tersentak dan mesin mulai mengeluarkan suara keras.

Kupikir peningkatan kinerjanya sekitar 40% secara nyata, tapi mungkin lebih dari itu.

“A-Ayanokōji, a-apa yang kau lakukan-n! Ba-Balikan seperti semula!!”

Terlihat jelas sedang panik, dia mengulurkan tangan untuk meraih remote control-nya.

Remote controlnya terjatuh dari tanganku karena ia menarik kabelnya dengan paksa.

“Kuh, ugh!! Hiya, hah... hah, cepat ambil!”

“Maka jangan ditarik dengan paksa.”

Aku mengambil remote control dan mengembalikan intensitasnya dari level 5 menjadi level 3.

“Haah, hah... hah, hah... kau ini ngapain sih keparat hah...!”

“Enggak——aku hanya penasaran. Kukira semakin kuat semakin enak.”

“Mana ada seperti itu! Setiap orang punya intensitas yang pas buat mereka sendiri!”

Wajahnya merah dengan ekspresi paling buas yang pernah kulihat di wajahnya saat dia memarahiku.

Sepertinya itu memberikan rangsangan yang jauh lebih besar daripada yang kuduga.

“Ngapain sih kamu main-main?”

Horikita juga marah karena pertukaran berisik kami.

“Maaf mengganggu waktu istirahat kalian. Ayo pergi, Ayanokōji-kun.”

“Kalian berdua mau mandi sekarang? Jangan masuk barengan loh.”

Mengabaikan ucapan bodoh Hoshinomiya-sensei, Horikita hendak berbalik.

“Tunggu, Horikita-san.”

Hoshinomiya telah bercanda sampai saat terakhir, tapi tahu-tahu ekspresinya berubah menjadi serius.

“Memang benar, menurutku kelas Horikita-san telah mencapai pertumbuhan yang luar biasa. Kamu harus mengincar Kelas A karena Kelas B hanyalah checkpoint. Itu sudah jelas, tapi aku masih berpikir kalau itu sangat indah dan sangat mengagumkan juga!”

Kata-kata itu terdengar seperti pujian, tapi memiliki makna tersirat.

“Chie, jangan ucapkan hal yang tidak perlu.”

“Memang kenapa sih. Aku hanya coba mengatakan apa yang kupikirkan.”

“Entah apa yang mau kamu katakan, tapi kau tidak bisa dengan bebas mengatakan apa yang kau pikirkan.”

“Tolong beritahu aku.”

Desak Horikita, mungkin ia penasaran dengan kata-kata Hoshinomiya-sensei barusan.

“Kalau begitu dengan senang hati. Sebagai seorang wali kelas atas sebuah kelas, aku selalu berpikir. Bahwa para guru dari Kelas A hingga Kelas D juga sama-sama bersaing. Jika diumpamakan, kau bisa menganggapnya seperti para guru bermain permainan kartu daifugō.”

“Daifugō... ya.”

“Kamu tahu aturannya, ‘kan?”

“Ya, kurang lebih.”

“Jadi para guru menggunakan kartu yang dibagikan untuk menentukan siapa yang berada di posisi pertama dan siapa yang berada di posisi keempat yaitu terbawah, tapi dalam daifugō, kartu yang dimainkan bernomor 1 hingga 13, ‘kan? Kesampingkan aturan lokal dan khusus dulu, jadi pada dasarnya kartu dengan angka yang lebih besar itu lebih kuat dan kartu dengan angka yang lebih kecil itu lebih lemah, bukan? Jika seorang siswa yang hanya bernomor 3 dan seorang siswa bernomor 6 diadu, tentu saja siswa bernomor 6 akan menang. Di Kelas A Mashima-kun kartunya di tangannya hampir merata, di sana dibagikan lebih banyak kartu 10 dan 11. Di sisi lain, semakin rendah itu mendekati kelas D, semakin banyak pula kartu yang bernomor rendah, seperti 3 dan 4. Yah, ini sudah seperti tradisi sekolah selama ini sih.”

Mengatakan itu, Hoshinomiya-sensei mengambil remote control mesin pijat dan meningkatkan intensitas pijatan satu level.

Itu baru level 3, jadi aku akan mengingatnya sekali lagi betapa kuatnya level 5 itu.

“Tentu saja para siswa berubah dari hari ke hari. Menurutku seorang anak yang tadinya bernomor 3 atau 4 bisa tumbuh menjadi 12 atau 13, yaitu 2 angka terkuat dalam kasus yang jarang terjadi. Itulah sebabnya, terjadi naik turunnya kelas, dan terkadang Kelas D bahkan bisa naik ke Kelas B. Yah, itu sangat langka sih.”

Karena kelas Horikita telah sampai pada titik yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Tapi yang terpenting adalah bertarung atas dasar kesetaraan. Setiap kelas harus selalu bertarung dengan angka 1 hingga 13. Tidak boleh ada ketidakadilan atau kecurangan di kelas tertentu, bukan?”

“Ya.”

“Tapi kau tahu? Tidakkah kau pikir, ada satu kartu yang tidak boleh dicampurkan dalam kartu remi kelasmu, Horikita-san?”

“Kartu tidak boleh dicampurkan...?”

Hoshinomiya-sensei mengalihkan pandangannya ke arahku sambil tertawa.

“Yup, itu curang kan. Karena cuman kelas Sae-chan yang punya joker.”

Horikita juga menyadari tatapannya yang seperti mengisyaratkan orang yang dimaksud.

“Chie. Sudah hentikan.”

“Siapa juga yang gak bakal ngeluh sekali atau dua kali. Mau bertarung mati-matian pakai otak juga, 1 kartu joker dapat membalikkan keadaan. Tidak, ini jauh lebih buruk daripada bermain daifūgō. Soalnya itu joker bisa pakai berulang kali, dan tidak hilang-hilang dari tangan. Mana mungkin bisa menang.”

Sebagai wali kelas, dia telah menyatakan kelasnya sendiri sudah kalah.

“Kesampingkan benar atau salahnya pernyataanmu, bagaimana jika seorang siswa dari Kelas D mendengar hal itu?”

Pernyataan yang mengakui kekalahan. Jika siswa dari kelas Ichinose mendengar hal ini, mereka pasti akan terkejut.

“...Iya ya. Maaf maaf. Mungkin aku mabuk karena kelamaan dipijit.”

Mengatakan itu, dia matikan dayanya.

“Sae-chan dan Horikita-san mendapatkan joker itu karena beruntung. Jika kalian menggunakannya untuk mencapai Kelas A, itu bukan curang namanya, ‘kan?”

Semua orang di sini jelas tahu kalau itu adalah sarkasme.

“Sudah cukup, Chie.”

Bentakan yang belum pernah kudengar sebelumnya, yang nyaris seperti intimidasi.

Mungkin itu menyadarkan Hoshinomiya-sensei dari mabuknya sebentar, karena dia melompat panik.

“Aku akan kembali ke kamarku! Selamaat tinggaal!”

Sedikit kesal, Hoshinomiya-sensei melambaikan tangan dan berjalan menyusuri koridor dengan langkah kaki yang lebar.

“Aku minta maaf untuk yang tadi. Seperti yang dia katakan sendiri, dia mungkin sudah agak mabuk.”

Seolah membela Hoshinomiya-sensei, Chabashira-sensei menjawab sambil bangkit dari mesin pijat.

“Tidak masalah. Aku hanya akan menganggapnya sebagai omong kosong dari orang mabuk.”

Chabashira-sensei terbatuk sekali, agak tercengang oleh jawaban cepat dan blak-blakan dari Horikita.

“Kau cukup kasar ya.”

“Sensei sepertinya sedikit cemas dengan apa yang beliau katakan tadi.”

“Bukan berarti aku tidak memikirkannya, jujur saja. Situasinya sungguh sangat berbeda dari kelas yang aku tangani 3 tahun yang lalu.”

Mungkin benar ada kartu-kartu kuat di kelas Horikita.

“Aku tidak tahu apakah Ayanokōji-kun itu joker atau bukan, tapi tidak bisa disangkal kalau dia adalah teman sekelas yang kuat. Tapi, aku tidak akan menahan diri.”

Tanpa melihat ke arahku, Horikita menyampaikan gagasannya kepada Chabashira-sensei.

“Selama itu adalah kartu yang dibagikan ke kelas Chabashira-sensei, aku akan menggunakannya sebaik mungkin untuk bertarung. Karena tujuanku adalah Kelas A.”

“Kau benar. Tentu saja, itu juga niatku.”

Tapi, Chabashira-sensei sendiri pasti berpikir kalau dia belum cukup siap.

Kelas A yang dipimpin Sakayanagi juga ada banyak kartu yang solid.

Walaupun bisa menang sekali, kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika ada 10 atau 20 kali pertarungan.

“Baiklah... aku akan menyusul Chie. Jika kubiarkan dia seperti itu, dia mungkin akan minum sampai pagi.”

Dia tampaknya tidak bisa mengabaikan mantan teman sekelasnya, jadi dia mengejarnya.

“Itu saja untuk hari ini, Horikita.”

“Masih ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, loh? Joker-san.”

“Mumpung sudah sampai di sini, aku mau mandi lagi. Selain itu, semakin banyak orang yang datang.”

Sekilas para siswa yang ingin menikmati bak mandi air panas sebelum tidur mulai terlihat.

“Kamu mau memberitahuku lagi. Boleh kuanggap begitu, ‘kan?”

Aku mengangguk dan kemudian langsung melewati tirai yang mengarah ke pemandian pria.

Related Posts

Related Posts

2 comments

  1. Horikita mungkin belum dengar pepatah "Curiousity can kill you". Btw, dibalik pembawaan ceria Hoshinomiya dia tajam juga sih.

    ReplyDelete