-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 4 Part 4 Indonesia

Bab 4
Perjalanan Sekolah Hari Ke-3


4


Menjelang jam 11 malam, sebentar lagi waktunya untuk mematikan lampu.

Kitō berdiri tanpa suara dan pergi ke koridor dengan beberapa majalah pindaman.

“Dia baca buku hampir sepanjang waktu saat ada di kamar.”

Dia sudah pasti gemar membaca. Tapi tidak seperti aku dan Hiyori, dia sepertinya bukan tipe orang yang suka membaca buku dari perpustakaan. Beberapa menit kemudian, Kitō kembali membawa majalah baru di tangannya. Apa mungkin ia ingin langsung membacanya besok pagi begitu ia bangun? Majalah yang dibaca Kitō sangat mencerminkan selera pribadinya, dan sebagian besar dari itu adalah apa yang disebut sebagai majalah fashion.

“Bolehkah aku juga membacanya sedikit?”

Tadinya kukira dia akan menyuruhku pergi untuk mengambilnya sendiri, tapi Kitō diam-diam meletakkan majalah itu di atas meja. Apakah ini artinya aku boleh membacanya sesukaku?

Selama 10 menit lebih sebelum lampu dimatikan, aku memutuskan untuk membaca beberapa majalah.

Majalah ini menampilkan pakaian dan aksesori yang trendi. Sejujurnya, saya tidak begitu memahami makna gambar-gambar dalam majalah atau isi artikelnya. Tapi, aku tahu kalau Kitō memiliki kecintaan yang kuat dengan majalah tersebut. Itu berarti, pakaian Kitō yang mungkin tampak eksentrik, itu mewakili selera dan perasaannya sendiri. Memang aneh jika Ryūen yang sering berkelahi dengan Kitō mengatakan itu hal yang tidak berguna, tapi tidak ada kata-kata kritik seperti itu darinya.

Tak lama kemudian, sudah waktunya mematikan lampu, kami menggelapkan ruangan dan pergi tidur.

Setelah menengadah ke langit-langit dalam hening selama beberapa saat, penglihatanku secara bertahap mulai akrab dengan kegelapan.

Semua orang tampaknya belum tidur, tapi aku ingin tahu apa yang mereka pikirkan. Tepat saat aku berpikir begitu.

“Tak terasa setengah tahun lagi kita akan memasuki tahun ketiga SMA ya. Meski kita di sini bersaing untuk  memperebutkan Kelas A, kita masih harus memikirkan masa depan, seperti melanjutkan ke perguruan tinggi, atau mencari pekerjaan. Aku masih belum bisa membayangkan diriku setelah lulus SMA. Tidak ada hal khusus yang ingin aku lakukan. Bagaimana denganmu, Ayanokōji?”

“Melanjutkan ke perguruan tinggi———kurasa. Tapi aku belum memutuskan mau ke universitas mana.”

Kujawab dengan target yang paling aman.

“Kalau Kitō?”

Tanya Watanabe tanpa takut meskipun ia mungkin tidak yakin akan mendapatkan jawabannya.

“...Aku akan menjadi perancang busana”

“Eh!?”

Watanabe sangat terkejut oleh fakta bahwa ia tidak menyangka akan mendapatkan jawabannya dan oleh isi jawabannya.

“Kau pasti tidak menyangka. Aku tahu itu. Karena itu tidak bisa dibayangkan dari penampilanku.”

“A-Ah enggak, yah... itu, tidak dapat diungkapkan, benar...”

Tapi mengingat selera berpakaian Kitō dan isi majalah yang dibacanya, itu mudah diterima.

“Kukuh, kalau kau jawab akan menjadi pembunuh, Watanabe pasti akan lebih mudah menerimanya.”

Aku khawatir Kitō mungkin akan marah lagi pada Ryūen karena menyela, tapi tidak ada gerakan.

“Ja-Jangan diambil hati, Kitō. Kau tahu kan, Ryūen selalu mengatakan hal-hal yang kasar.”

Watanabe menindaklanjuti, namun Kitō benar-benar tidak terlihat peduli.

“Aku telah terbiasa. Kebanyakan orang terkejut dan tidak percaya ketika aku mengutarakan impianku. Aku tidak berharap mereka akan langsung menerimaku jika aku benar-benar menempuh jalan itu.”

Tidak boleh ada yang namanya prasangka, tapi itu memang ada di dunia ini. Bagi Kitō yang berpenampilan garang, mengincar profesi tertentu mungkin kesulitannya secara alami akan lebih tinggi.

“Tapi itu bukan masalah selama aku lulus sebagai siswa Kelas A. Aku bisa terjun ke dunia itu tanpa perlu dipertanyakan. Setelah aku terjun ke sana, yang harus kulakukan adalah membungkam semua orang dengan keterampilanku.”

Bagi Kitō, menerobos pintu masuk pertama adalah tugas yang paling sulit.

“Kau benar-benar memikirkan masa depanmu ya.... Tidak, itu bagus, kamu beneran punya mimpi.”

Watanabe terkejut, tapi ia terinspirasi oleh Kitō yang lebih berpikir matang daripada dirinya dan memujinya.

Anak-anak menua tak peduli suka atau tidak suka, dan mereka dihadapkan pada kebutuhan untuk pergi ke masyarakat.

Sama halnya dengan Watanabe yang sekarang tak memiliki tujuan, dan begitu pula Ryūen yang diam saja.

“Aku hanya ingin tahu jadi aku bertanya... tapi kok, setelah tahu jadi lebih sulit ya.”

Gumam Watanabe ke langit-langit dengan suara getir.

“Semua orang di sini dari kelas yang berbeda, ‘kan? Itu berarti, normalnya, hanya satu dari kita berempat yang bisa lulus sebagai siswa Kelas A. Asumsinya kita memiliki impian yang ingin kita wujudkan, tapi kalau kita mengambil kursi itu, orang lain tidak bisa duduk di sana... ini rumit ya.”

Kamu bisa berbagi mimpi dengan teman sekelasmu. Tapi kamu tidak bisa berbagi mimpi dengan sainganmu. Begitulah cara kerja sekolah ini. Ada yang tertawa, ada yang menangis.

Saat siswa sebaya menghabiskan malam bersama, mereka anehnya akan berakhir dengan membicarakan hal semacam ini ya.

Ini adalah malam yang mengingatkanku pada waktu yang kuhabiskan untuk mengobrol dengan Keisei dan yang lainnya di kamp pelatihan tahun lalu.

Related Posts

Related Posts

1 comment

  1. Iya. Waktu tahun pertama kelompok Ayanokouji diisi Ishizaki yg masih bego, Albert, Keisei, Koenji, sama Hashimoto. Hampir hancur grup mereka karena ga ada yg akur tapi diselamatkan pembicaraan yg dimulai Hashimoto. Wajar sih kalo berkesan buat Ayanokouji.

    ReplyDelete