Bab 1
Si Riajuu yang dibenci yang memberi pengaruh besar kepada seluruh sekolah.
Sembari menghindari kelopak bunga sakura yang samar-sama menari-nari atau beterbangan tanpa tujuan yang malah tampak seperti pengganggu, siswa-siswi dengan blazer berjalan menuruni bantaran sungai. Kemeja putih bersih, rok kotak-kotak dengan panjang yang agak ketinggalan zaman, dan celana longgar yang tampak merepotkan. Sepatu pantofel yang masih belum terbiasa dengan panjang langkah kaki tuannya sedang menghentakkan langkah dengan keras dan tak sabaran.
Tuk..Tak…Tuk…Tak…
Kletak..Kletok…Kletak…Kletok
Sepatu Stan Smith-ku yang lecet dan kotor di sana-sini tampak tidak selaras dengan ritme apik langkah kaki siswa-siswi lainnya. Ketika tiba-tiba berjongkok, karena menyadari tali sepatuku terlepas, tas sekolah persegi empat yang rapi dan kaku menyenggol tas punggung Gregory-ku yang sudah usang.
Sinar matahari musim semi nun lembut, gemericik air sungai yang beriak, dan dengan perasaan nostalgia, aku menatap punggung para adik kelas yang bahkan satu pun tidak kukenal yang mungkin pada akhirnya akan menjadi sahabat atau mungkin pacarku.
“Chitose Saku kelas 1-5, pria berengsek yang suka mempermainkan wanita.”
Berbicara soal anak SMA, tak diragukan lagi, mereka adalah pusat dunia. Bahkan dalam novel, manga, drama, film, dan sebagainya yang menjadi karakter utamanya selalu siswa SMA. Sosok yang juga tak berdaya seperti siswa SD dan SMP, dan tidak jauh berbeda seperti mahasiswa serta orang dewasa. Namun, kata “masa muda” identik dengan siswa SMA, Ketika mengenang hal itu setelah menjadi dewasa, rasanya pasti akan sangat indah sampai-sampai membuatmu ingin menangis dan membuatmu menjadi sedikit malu. Tiga tahun ini akan dipenuhi dengan momen-momen berharga seperti itu, bak peti harta karun.
…Kisah yang dangkal, ya.
Sesungguhnya, semua orang telah menyadariya. Nongkrong dengan teman-teman, melakukan hal konyol setiap hari, menjalin hubungan serius, tertawa lagi, melindungi seseorang yang penting, menembak pada gadis yang disukai, menunggu kegiatan klub teman sampai selesai lalu pulang bersama ke taman. Mengobrol di bangku taman, pergi ke festival musim panas dengan mengenakan yukata, menonton kembang api, dan sebelum menyadarinya, sepasang tangan saling bersentuhan. Hanya segelintir orang yang bisa menikmati masa muda yang menggelora seperti itu. Orang-orang yang mampu bertahan dari gejolak hidup yang sengit dan juga hanya beberapa dari mereka yang mampu menjalani kehidupan kasta sekolah – kasta itu umumnya dikenal sebagai Riajuu.
*Riajuu adalah bahasa gaul yang digunakan untuk orang-orang yang mampu bersosialisai dengan baik, punya pacar, dan memiliki hidup yang baik. Bisa dibilang hampir sempurna*
Ada istilah riajuu dan non-riajuu.
Meski tidak sepenuhnya, aku pikir klasifikasi ini telah dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja, tetapi karena sudah ditetapkan, harus ada salah satunya yang dipilih oleh sebagian besar siswa SMA. Sebisa mungkin menjadi pilihan yang pertama, dan jangan sampai menjadi pilihan nomor dua itu (non-riajuu). Jadi, mau tidak mau harus berusaha sebaik mungkin.
Upacara masuk penerimaan siswa baru adalah babak pertamanya. Secepat mereka pulang ke rumah, mereka akan diklasifikan menjadi, “murid yang sepertinya akan menjad pusat kelas” atau “murid yang cenderung menghabiskan waktunya di pojok kelas diam-diam”. Jadi, bisa dipahami kalau mereka kelihatan gugup.
“Chitose Saku kelas 1-5, pria berengsek yang suka mempermainkan wanita.”
Jangan percaya dengan masyarakat, wahai adik kelasku. Riajuu atau non-riajuu, tipe extrovert atau tipe introvert, apalagi sistem kasta, apapun itu kamu harus memasang wajah yang menunjukkan kamu tidak peduli dan masuk dalam kategori apapun yang kamu suka. Dengan benturan di sana-sini, segala proses pengikisan, setelah satu tahun berlalu, pada akhirnya akan ada kerikil dengan daya tariknya sendiri, ‘kan.
…Tetapi, ketika memasuki tahun kedua semua orang memperlakukanku seperti bosnya riajuu, dan aku mencoba untuk berbicara acuh tak acuh dengan sikap rendah diri.
Tuk..Tak…Tuk…Tak…
Kletak..Kletok…Kletak…Kletok
Angin yang berhembus melewati musim dingin yang panjang, berat, dan suram di wilayah Hokuriku dengan lembut meluncur dan menghangatkan pipiku.
Musim semi adalah musim permulaan. Langit yang terhampar berwarna biru pastel, rambut dan rok hitam para gadis yang bergoyang-goyang, serta wajah yang dihiasi dengan warna cerah bunga sakura, semuanya dipenuhi dengan firasat akan pertemuan baru. Saat aku menuju sekolah, langkahku seringan pria paruh baya yang ceria menuju pemandian umum yang sudah sangat akrab baginya.
“Chitose Saku kelas 1-5, pria berengsek yang suka mempermainkan wanita.”
Hmmm, sebanyak apaun kucoba memeriksanya, mungkin tertulis banyak umpatan dengan namaku.
Aku tersenyum kecut sambil melihat layar ponsel yang berulang kali kumasukkan dan keluarkan dari sakuku.
Yang sedang kubuka adalah situs gelap sekolah.
Menyerupai utas 5 buah yang dibuat di masing-masing sekolah di mana sejumlah anonim dapat mengirim postingan dengan bebas. Situs ini populer sejak 10 tahun lalu, tetapi sepertinya secara perlahan-lahan hal ini sudah dianggap basi karena menjadi sarang intimidasi dan masalah sosial lainnya.
Yah, jika melihat dunia saat ini, sepertinya tempat untuk menyalurkan stres berpindah ke Twitter dan LINE, tetapi SNS seperti ini sangat berbahaya karena kesalahan kecil yang dilakukan oleh seseorang bisa langsung diidentifikasi identitasnya. Kami, siswa yang luar biasa dari sekolah yang dikenal sebagai sekolah menengah terbaik di prefektur Fukui, SMA Fuji, telah mencapai kesimpulan bahwa jika menulis hal-hal buruk tentang orang lain, akan lebih mudah menggunakan situs gelap sekolah. Oleh karena itu, karena adanya revolusi ini, situs tersebut menjadi populer lagi.
“Dia terlalu bersemangat dan tidak bisa menariknya kembali.”
“Kudengar dia melakukannya dengan kakak kelas dan jadi lemas LOL.”
Hey, ini postingan yang penuh dengan sampah!!
Sambil membaca komentar dari beberapa pengguna yang setuju dengan postingan sebelumnya, secara refleks aku membalasnya. Aku tidak merasa keberatangn dengan postingan yang menyebutku sebagai pria berengsek yang mempermainkan wanita, tetapi bagi seorang ikemen riajuu, rumor yang menyebutkan bahwa aku tidak bisa bertindak, mempertaruhkan repitasiku.
Dari awal, meskipun mereka memposting umpatan terhadap orang lain, beberapa pertimbangan telah dilakukan untuk menghilangkan atau menggunakan inisial, tetapi aku merasa hanya namaku saja yang memiliki keterkaitan dengan hal itu. Karena merasa seperti ini setiap kali, rasa-rasanya ingin kukeluarkan semua yang mau kukatakan! Omong-omong, nama Chitose Saku pertama kali diposting sehari setelah upacara masuk tahun lalu. Sejak itu, aku menjadi sangat populer sehingga jika menelusuri peringkat kata populer selama setahun terakhir, sudah pasti namaku berada diurutan pertama. Namun, isinya 100% fitnah.
Padahal sesekali tidak masalah kalau memposting “Chitose-kun cakep banget! Peluk aku, dong!”
“Pagi Saku-kun. Apa yang kamu lakukan dengan berhenti di tempat seperti ini?”
Bahuku ditepuk ringan dan ketika menoleh, Uchida Yua yang pernah sekelas denganku di kelas 1 melihatku dengan senyumannya yang mirip seperti bunga dandelion kuning.
Rambut panjangnya yang diikat di sisi samping bergoyang-goyang di depan bahunya akibat angin sepoi-sepoi. Sudut matanya yang memiliki sedikit simpati, terkulai saat dia tersenyum. Tampak sangat manis sehingga sepertinya bisa melenyapkan perang dari muka bumi ini. Aku tidak akan mengatakan bahwa dia adalah wanita cantik yang diakui oleh satu sekolah. Namun, ketika berbicara tentang cinta di malam perjalanan sekolah, dia adalah tipe di mana satu per satu murid akan mengaku bahwa mereka menyukainya.
Sesungguhnya, meskipun dia bukan satu-satunya siswi menonjol di awal upacara penerimaan siswa baru, dia terus tumbuh secara perlahan layaknya siswi SMA dan sejak semester kedua tahun lalu sudah sewajarnya dia bermain dengan kelompok riajuu seperti kami-kami ini.
“Pagi, Yua. Coba lihat ini sebentar.”
Ketika mengatakannya, sambil menggerakkan ponselku ke hadapannya, Yua berjajar di sampingku, dan menatap ke arah ponselku. Aku mencium aroma lembut dari sampo organik.
“Ah, soal itu, tenang saja. Jangan diambil hati.”
Yua menyipitkan matanya sedikit, dibarengi dengan sedikit senyuman, lalu menepuk punggungku dengan lembut.
“...Eh? Kenapa dengan reaksi ‘Yah, aku tidak bisa menyangkal apa yang tertulis di sana, tapi mau bagaimana lagi, sudahlah abaikan saja’.”
“Iya, aku setuju dengan hal itu. Nah, Saku-kun itu keren dan populer. Jadi banyak orang di luar sana yang merasa kesal atau cemburu.”
Terus terang, aku pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh Yua. Hanya dengan memikirkan siapa yang memposting umpatan ini hanya akan buang-buang waktu. Mungkin saja dia si Kamase Yaro yang pernah aku jumpai sebelum liburan musim semi lalu dan tidak bisa dipungkiri mungkin ada seseorang di luar sana yang membenciku yang bahkan aku sendiri tak mengenalnya.
Entah itu selebriti, musisi, atau penulis, semakin populer mereka, semakin banyak pembenci yang bermunculan. Ke mana pun pergi akan selalu ada orang yang bersikeras mengambil jalan lain, pura-pura tahu segalanya, mencari-cari kelemahan orang sukses dan melemparkan batu kepada mereka.
Jumlah orang yang suka maupun yang benci pun berbanding lurus. Hal yang paling menakutkan adalah situasi tanpa adanya upaya untuk mencari pembenaran atau penyangkalan terhadap hal itu.
“Kamu bercanda, ‘kan?! Aku yang berwajah tampan, punya gaya santai, refleks yang mantap, mendapat nilai yang sangat bagus, kemampuan komunikasi yang baik terhadap semua orang, ditambah lagi memiliki jiwa kepemimpinan, dan mampu menangani segala hal mulai dari lelucon hingga percapakan intelektual. Memangnya apa yang membuat mereka kesal terhadapku?”
“Kalau kamu belum mneyadarinya, aku akan memberitahumu, tetapi bukan itu masalahnya.”