Bab 3
Bagaimana Menghabiskan Waktu dengan Kelas Ichinose
2
Atas usulan Amikura, kami memutuskan untuk karaokean sebentar, tapi sebelum itu aku pergi ke kamar mandi dulu. Meskipun arahnya sedikit tidak terduga, hasilnya memuaskan karena Kanzaki dan yang lainnya menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan selama diskusi.
Sisanya nanti, aku hanya perlu mengajak Ichinose dan mencari tahu alasan kenapa dia keluar dari OSIS.
Aslinya aku ingin ini juga diurus oleh Kanzaki dan yang lainnya, tapi aku tidak bisa menyarankan mereka untuk bergerak terlalu banyak sekarang karena hanya akan menyebabkan kekacauan di dalam kelas.
Karena aku ingin mereka tetap menjaga identitas mereka, yaitu sebagai sahabat yang mematuhi Ichinose.
Aku tidak menyesal sudah menerima permintaan itu, tapi masalahnya, bertanya pada Ichinose tanpa dicurigai itu adalah bagian yang tersulit. Keluar dari OSIS dan ujian khusus. Jika aku mengajak Ichinose jalan saat dua peristiwa besar itu terjadi berurutan, sangat mungkin dia akan mencurigaiku.
Bagaimana jika aku dengan jujur bertanya langsung menggunakan kata-kata?
Tidak, mungkin lebih baik aku memeriksa keadaan mental Ichinose terlebih dahulu sebelum memutuskan langkah selanjutnya.
Karena tidak ada gunanya jika aku bertanya tanpa pikir panjang dan berujung negatif.
“H-hei, Ayanokōji.”
Watanabe mengejarku dengan terburu-buru ke toilet pria.
Kukira dia sudah tidak tahan ingin buang air kecil, tapi sepertinya bukan begitu.
“Begini... kamu nanti mau ketemu Ichinose, kan? Nah, aku tuh pengen minta tolong soal masalah lain...”
“Minta tolong? Boleh saja asalkan itu mudah.”
Setelah selesai dari toilet, aku mencuci tangan dan kembali ke lorong.
“Mungkin mudah, kayaknya, atau aku tidak yakin, mungkin juga sulit...? Hmmm.”
Watanabe terkesan ingin mengatakan sesuatu yang cukup jelas, tapi dia terdengar ragu-ragu.
Tapi mungkin ia merasa tidak baik jika tidak segera kembali ke ruangan, jadi ia mulai bicara.
“Um, apa ya. Eng... soal Amikura.”
“Amikura? Apa ada yang membuatmu khawatir?”
Karena Amikura mungkin adalah yang paling goyah dalam diskusi sebelumnya.
Dia tidak terlihat membutuhkan perhatian setelah ini, tapi mungkin Watanabe merasakan sesuatu.
“Bukan begitu. Yah, memang ada yang membuatku khawatir, tapi bukan seperti itu.”
Meskipun kata-katanya tidak jelas, aku dengarkan saja dulu.
“Dia itu, um... apa ada pria yang disukainya saat ini, atau, hal-hal semacam itu? Kupikir jika itu Ichinose, dia pasti tahu tentang itu. ...Apa kamu bisa menanyakannya untukku?”
“Jadi begitu.”
Aku juga perlahan-lahan mulai memahami keadaan, perasaan, dan perilaku yang terkait dengan percintaan.
Aku juga dapat mengartikan apa yang disampaikan oleh Watanabe dengan terbata-bata ini.
“Jadi gadis yang kau sukai itu Amikura.”
“Oioioi! Ja-jangan terlalu blak-blakan di sini!”
“Tenang saja. Sekarang tidak ada siapa-siapa.”
Yang terdengar di lorong hanya musik latar yang di putar di toko dan nyanyian dari dalam ruangan karaoke.
Justru masalahnya adalah suara panik Watanabe yang terlalu keras.
“Te-tetap saja!”
Tapi aku tidak pernah tahu. Aku tidak sadar kalau Watanabe menyukai Amikura.
“Hebat juga kamu bisa tetap tenang meskipun gadis yang kamu sukai ada di grup yang sama. Terutama selama perjalanan sekolah.”
“Karena aku bukan anak SD, aku tidak blak-blakan menunjukkan perasaanku.”
Kalau dipikir-pikir, hari ini Watanabe dan Amikura ke sini untuk belanja bareng, kan?
Menarik sekali apabila fakta itu ternyata benar, dan hubungannya pun terlihat.
“Apa mungkin, kau mengajaknya kencan hari ini?”
Jika itu benar, maka Watanabe bisa dibilang cukup sukses.
“Eh? Ah~... yah, aku memang mengincar sesuatu yang mendekati itu. Aku berusaha bangun pagi dengan semangat dan menyiapkan segalanya. Lalu kami berjanji bertemu di lobi asrama. Jelas dalam hatiku, aku sangat gugup.”
Kata Watanabe sambil mengingat kembali kejadian saat itu dengan ekspresi masam.
“Tapi begitu kami mulai jalan berdua, obrolan kami benar-benar datar. Padahal biasanya, kalau ada banyak orang kami berdua bisa ngobrol dengan normal, eh tiba-tiba kami tidak bisa bicara dengan lancar. Perjalanan kami agak seperti di neraka sebelum kami tiba di Keyaki Mall.”
Jadi meskipun berhasil mengajaknya jalan, ternyata segalanya tidak berjalan dengan baik.
“Kamu tidak suka berduaan dengannya?”
“Bukan aku tidak suka. Tapi aku merasa kesal pada diriku sendiri karena tidak bisa bicara dengan baik, dan aku terus berpikiran negatif, seperti Amikura pasti tidak senang menghabiskan waktu denganku, dll. Saat itulah aku dengar Kanzaki dan Himeno mengatakannya sambil berjalan, kalau mereka mau bertemu dengan Ayanokōji.”
Mungkin itu benang penyelamat bagi Watanabe yang sedang dalam kesulitan.
“Karena kita pernah satu grup di perjalanan sekolah, gimana kalau kita temuin sebentar? Ajakku padanya.”
Mungkin karena dia tidak ingin mundur sepenuhnya jadi dia mengambil langkah melarikan diri itu.
“Aku paham, jadi begitu.”
Meskipun sedih karena tidak bisa lagi berduan, tapi tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kencan yang membosankan. Tapi tidak juga, bisa jadi Amikura bahkan tidak menganggap itu adalah kencan.
“Aku sedikit takut waktu percakapan serius beneran dimulai, tapi... pada akhirnya aku malah senang bisa mengetahuinya. Karena pemikiran Kanzaki dan Himeno, rasanya aku bisa memahaminya.”
Berdasarkan karakter Watanabe yang telah kulihat sejauh ini, jika Kanzaki dan Himeno bergerak lebih cepat, mungkin dia bisa menjadi sekutu seperti Hamaguchi.
Mungkin saja para siswa seperti itu masih tertidur di kelas Ichinose.
“Nah jadi... soal Amikura itu, aku minta kamu... buat menyelidikinya?”
“Aku?”
“Nanti kamu mau ketemu Ichinose, kan? Aku ingin kamu tanyain itu ke dia dengan santai.”
“Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa bertanya pada Ichinose atau tidak, dan lagipula sama sekali tidak ada jaminan dia tahu tentang kehidupan cinta Amikura.”
“Tidak, dia tahu. Jika dia suka atau pacaran dengan seseorang, dia pasti tahu.”
Jawab Watanabe sangat yakin, meskipun aku tidak tahu kenapa dia bisa seyakin itu.
“Kau mengacu pada jaring informasi para gadis, ya?”
“Tepat. Amikura bukanlah tipe gadis yang akan memacari seorang pria tanpa konsultasi terlebih dahulu mengenai percintanya dengan seseorang. Jadi, dia pasti akan bicara dengan Ichinose, teman baiknya. Andaikan jika Ichinose tidak mengetahuinya sama sekali, maka kupikir aku juga masih punya kesempatan.”
“Jadi begitu. Karena masih belum ada anak laki-laki jelas disukai oleh Amikura ya.”
Watanabe mengangguk sambil nyengir.
“Yah... sebenarnya, apa ya. Aku lebih senang kalau namaku disebutkan sedikit saja. Tapi sejauh ini, tidak ada tanda-tanda seperti itu, jadi aku hanya bisa pasrah. Aku akan terus maju jika sekarang belum ada saingan.”
Aku menafsirkan kalau kemungkinan besar dia tidak memimpin karena aku sama sekali tidak merasakan hal itu.
(Tln: hal itu = Amikura juga suka sama Watanabe)
Yah, analisis dariku sendiri tentang cinta itu tidak sepenuhnya bisa diandalkan, tapi aku merasa berutang budi padanya selama perjalanan sekolah.
Dan sulit juga untuk minta bantuan teman sekelas dalam hal seperti ini.
Terlebih lagi, aku sangat menghargai sikap positif yang ditunjukkan oleh Watanabe.
“Jika aku rasa bisa menanyakannya dengan santai, maka akan kutanyakan. Namun jangan terlalu berharap banyak. Karena jika aku bertanya terlalu mendalam, dia bisa saja curiga dan itu akan merugikan dirimu sendiri.”
“Ou, sama sekali nggak masalah.”
Watanabe terlihat malu-malu tapi senang pada saat yang sama, dia tersenyum bahagia.