-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 9 Bab 3 Part 4 Indonesia

Bab 3

Bagaimana Menghabiskan Waktu dengan Kelas Ichinose


4


Setelah menikmati waktu sendirian sampai malam, aku mampir ke supermarket dan membeli makan malam yang terlambat, aku memberitahu Kei kalau aku dalam perjalanan pulang dan meninggalkan Keyaki Mall. Suhu juga semakin dingin, dan perbedaan suhu cukup terasa setelah lama berada di lingkungan yang dihangatkan.

(Tln: waktu sendirian = me time. Ah, aku jadi inget masa KKN. Setiap hari bareng kawan-kawan mulu sampai aku ngeluh minta me time. Njir curhat)

Ponselku di dalam saku bergetar. Begitu langsung kubaca, Kei memberitahuku bahwa ia baru saja berpisah dengan teman-temannya setelah makan malam. Aku balas pesan dengan mengatakan kalau aku senang dia sudah menikmati sepenuhnya hari ini, dan aku berjalan sendirian menuju asrama menyusuri jalan yang kurang populer.

Dalam perjalanan, aku melihat seorang siswi yang sedang berdiri diam.

Tak terlihat akan berjalan, pandangannya mengarah ke langit.

Meskipun gelap dan tidak jelas siapa itu, ketika aku mendekatinya, karena dia agak tidak asing, identitasnya langsung terungkap. Tidak ada siswa lain di sekitar dan hanya sendirian.

“Aku terkejut. Kukira kamu sudah pulang.”

Himeno berbalik setelah mendengar sapaanku.

“Eh? Ayanokōji-kun sendiri, kok belum pulang?”

“Kan aku sudah bilang mau belanja dulu sebelum pulang.”

“Oh ya, kayaknya kau bilang begitu... tapi kok kamu pulangnya larut banget?”

Rupanya dia hanya setengah mendengarkan.

Tapi sudah hampir 4 jam sejak kami berpisah, jadi aku tidak perlu heran juga.

(Tln: karena bisa aja dia sudah lupa)

“Jadi kamu dalam perjalanan pulang sekarang?”

Tanya Himeno sambil menatap kantong plastik dari supermarket, jadi aku mengangguk sebagai jawaban.

“Kau sendiri ngapain saja sampai selarut ini?”

“Hmm... aku bingung. Aku pergi ke toko kelontong dan bahkan pergi ke depan bioskop tanpa alasan yang jelas?”

Sepertinya dia mirip denganku. Mungkin dia sedang menikmati waktunya sendirian.

“Sekalian saja, mau tidak pulang bareng sampai di asrama?”

Aku sedikit terkejut dengan saran yang tidak biasa dari Himeno, tapi aku tidak bisa memikirkan alasan untuk menolaknya.

“Wah, malem-malem memang dingin banget ya.”

Tubuhnya gemetar seperti baru saja menyadarinya.

“Sebenarnya setelah kita berpisah, Kanzaki-kun dan yang lainnya juga mengajakku untuk bersama mereka lebih lama lagi.”

“Ternyata begitu.”

“Mereka bilang penting juga untuk mengobrol hanya dengan teman sekelas kami. Tapi, aku menolak.”

“Kenapa?”

“Jujur saja, aku sedikit tidak menyukai lingkungan itu dan ingin menghindarinya. Ah, bukannya aku ingin meninggalkan teman-temanku atau semacamnya. Aku hanya tidak suka berada dalam kelompok besar.”

Meskipun Himeno sudah mulai belajar untuk sedikit terbuka, mungkin dia masih kesulitan dalam berinteraksi dengan banyak orang.

“Waktu aku mikir, aku memang merasa lebih tenang sendirian, tiba-tiba sudah malam saja.”

“Jadi begitu.”

“Tapi semakin banyak waktu aku sendirian, semakin banyak hal yang kupikirkan. Terutama kata-kata darimu Ayanokōji-kun, itu cukup mengena dan terasa sakit.”

Rupanya ia kepikiran dengan semua kesulitan yang aku tunjukan di tempat karaoke.

“Aku merasa kalau diriku tidak bisa melakukan apa pun seperti yang aku bayangkan. Seperti merasa keren karena aku menyadari kalau Ichinose-san dalam bahaya sementara orang lain tidak menyadarinya, kepercayaan diri yang tidak berdasar karena aku dan Kanzaki-kun melakukan sesuatu yang istimewa. Rasanya tuh seperti mematahkan semangat.”

“Itu yah, aku minta maaf.”

“Tidak perlu minta maaf juga. Justru apa yang kamu katakan itu benar kok, Ayanokōji-kun.”

Mengembuskan napas putih, Himeno menoleh ke arahku dan tersenyum pahit.

“Padahal kupikir aku bisa melakukan sesuatu yang lebih hebat lagi dengan mudah... ternyata bertindak itu susah banget ya.”

(Tln: reminder. Fakta dikehidupan nyata)

“Semua orang pun sama. Bahkan Ichinose dan aku juga. Bertindak itu memang sulit.”

Bukannya aku ingin menghiburnya, tapi aku hanya tidak ingin dia terlalu meratapi masalahnya.

“Kami masih mencari jalan yang harus ditempuh, tapi aku malah jadi kurang percaya diri untuk mengambil tindakan dengan Kanzaki-kun dan Hamaguchi-kun untuk melakukan perbaikan.”

“Bimbang itu tidaklah buruk. Namun, hanya berdiam diri bukanlah solusi untuk masalah ini.”

“Ya, aku tahu sih. Kami seharusnya bergerak untuk menyelamatkan kelas, tapi roda gigi yang tidak terlihat mulai sedikit menyimpang. Aku merasa seperti itu.”

Roda gigi yang tidak terlihat mulai menyimpang ya...

Saat mencoba melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, rasa cemas akan muncul.

“Aku mengerti perasaanmu. Tapi saat kamu ditanya apakah roda gigi berputar dengan baik selama ini, kamu tidak bisa dengan jujur menjawab iya, kan?”

“Yah... itu juga benar.”

Meski manajemen kelas yang baik sudah dilakukan, tapi hasilnya tidak ada.

Dengan kata lain, roda gigi tidak berfungsi dengan baik.

“Sekarang, fakta yang pasti adalah perubahan akan terjadi pada kelas kalian.”

Apakah itu akan menjadi lebih baik atau lebih buruk, aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.

Bukan hanya kehadiran Kanzaki dan yang lainnya, tapi juga Ichinose yang keluar dari OSIS.

Bahkan diriku yang merasa memegang kendali atas banyak hal, merasa masa depan itu masih belum pasti dan tidak jelas.

Tapi ada dua ending. Hidup atau mati. Dengan kata lain ada dua pilihan, yaitu apakah kelas Ichinose akan terselamatkan atau tidak.

Namun, jalur menuju pilihan itu———penuh dengan kabut tebal yang tidak dapat diprediksi oleh siapa pun.

Maret, akhir tahun kedua segera tiba.

Pada saat itu, Himeko mungkin sudah bisa melihat hasilnya.

“Ayanokōji-kun. Menurutmu apa masih ada peluang yang tersisa untuk naik ke kelas A jika kelas kami berubah?”

“Kau ingin pendapat yang obyektif?”

“Ya. Sebisa mungkin.”

“Kalau aku harus menjawab pertanyaan itu... aku akan menjawab ya dengan syarat.”

“Heeh... kupikir kamu akan langsung bilang mustahil. Tapi, dengan syarat?”

“Pertarungan di tahun kedua untuk menjadi kelas A tidaklah cukup hanya dengan mengubah cara berpikir saja. Karena nyatanya selisih antara kelas Ichinose dan kelas A semakin serius. Untuk menutupi selisih itu hanya bisa dicapai jika seluruh kelas siap untuk menanggung rasa sakit dan tekad yang sepadan.”

“Rasa sakit dan tekad...? Apa itu tepatnya?”

“Maaf, tapi aku tidak bisa menjawabnya sekarang.”

“Tidak bisa menjawab, ya. Aku tak menyangka akan mendapat balasan seperti itu. Karena aku mengira kamu akan mengatakan hal-hal seperti, tidak terpikirkan sama sekali atau hanya menjawab sembarangan.”

“Orang biasanya akan berpikir begitu.”

“Karena ini persoalan kelas lain, atau cerita tentang penderitaan kami. Semakin kami menderita, semakin menguntungkan kelas Ayanokōji-kun. Iya, kan?”

“Yah.”

“Tapi kok kamu sangat peduli dan mau membantu kami. Kenapa?”

“Karena aku sangat ingin melihat masa depan kelas Ichinose, di luar perkara musuh atau sekutu.”

“Masa depan...? Rasanya, kamu bicara seolah-olah bisa melihat masa depan ya, Ayanokōji-kun.”

Tidak ada yang bisa melihat masa depan, tapi kita bisa memprediksinya dan mempersiapkan diri.

“Jadi, untuk sementara waktu, aku akan membantu jika ada masalah. Itu pun jika aku dibutuhkan.”

“Aku yakin Kanzaki-kun akan senang. Aku juga merasa sangat terbantu.”

Himeno mengambil sisi positifnya dan menunjukkan pose tinju kecil dengan kedua tangannya.

“Kuharap kamu bisa menunjukkan sikap itu dengan lebih percaya diri.”

“Eh? Ah, tiba-tiba aku jadi malu...”

Katanya, lalu menyembunyikan tangannya ke dalam saku dan menghindari tatapanku.

Related Posts

Related Posts

1 comment