Bab 4
Bagaimana Menghabiskan Hari Libur
Minggu keesokan harinya setelah diskusi dengan Kanzaki dkk, dan mengalami sedikit cekcok dengan Kei.
Saatnya untuk bertemu dengan Ichinose yang telah dijanjikan sehari sebelumnya.
Aku turun ke lobi sedikit lebih awal, tapi aku tidak melihat Ichinose di sekitar.
Kukira ada kemungkinan bertemu secara kebetulan, tapi ternyata tidak.
Aku berbalik untuk melihat lift, tapi sepertinya tidak bergerak.
“Jadi Kei nggak mungkin ngikutin, ya.”
Jika Kei cemas soal pertemuanku dengan Ichinose, dia mungkin akan mengikutiku.
Tidak, mungkin masih terlalu cepat untuk berasumsi kalau ia tidak akan melakukan itu. Bisa saja ia menyusul di waktu yang berbeda, atau bisa juga sudah mendahuluiku.
Atau tidak menutup kemungkinan ia akan mendekat dengan percaya diri saat aku bertemu dengan Ichinose. Jiika menganalisis pola perilakunya selama ini, aku tidak bisa menganggap kemungkinannya adalah 0.
Jika seperti itu, aku hanya akan bertindak dengan situasi yang ada....
Melihat reaksinya kemarin, kurasa dia tidak akan melakukan tindakan yang nekat.
Untuk terus melihat sesuatu yang tidak ingin dilihat, memerlukan keberanian yang cukup.
Aku keluar dari asrama. Langit cerah saat ini, tapi sayangnya hujan diperkirakan akan turun sore nanti, jadi aku membawa payung untuk berjaga-jaga.
Bagaimana perasaan Ichinose menyambut pagi ini ya?
Apa yang diinginkannya, apa yang diharapkannya. Yang jelas itu bukan hanya satu. Seperti kemampuan kepemimpinan yang luar biasa, menang dalam asmara, dan memperoleh kekuatan mental yang kuat. Jumlah keinginan itu tidak cukup dihitung hanya dengan jari satu tangan, atau bahkan dua tangan.
Kejadian di malam perjalanan sekolah itu, tak cukup untuk membawa perubahan konkret dalam hubunganku dengannya.
Ichinose masih belum stabil, dan satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang dia pikirkan adalah dengan menemuinya secara langsung.
Ketika aku tiba di lokasi sedikit sebelum waktu yang dijanjikan sambil memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan, Ichinose sudah menungguku dengan payung di belakang punggungnya.
Ia sadar akan kehadiranku sebelum dia memanggil, dan mengangkat tangannya perlahan.
“Se-selamat pagi, Ayanokōji-kun.”
Aku tidak merasakan suasana yang berat. Justru lebih terasa kegugupan yang segar dan baru.
Tidak seperti malam yang tak terduga sebelumnya, Ichinose mungkin sudah menyiapkan emosi luarnya.
Awalnya dia melakukan kontak mata denganku, tapi dia segera mengalihkan pandangannya saat aku sedang mencari tahu niatnya. Aku bisa merasakan dia melirik ke arah bibirku, hidungku, dan leherku dengan hati-hati, agar aku tidak sadar.
“Maaf aku sudah memintamu untuk mengosongkan jadwalmu.”
“Nggak masalah kok. Sebenarnya aku tidak punya rencana lain. Sungguh, oke.”
Sebagai yang mengajak, aku sudah senang jika dia bilang begitu meskipun hanya sebagai formalitas. Masih beberapa menit sebelum Keyaki Mall dibuka, jadi kami berdua hanya bisa berdiri di pintu masuk karena belum bisa masuk ke dalam.
Kami berdiri bersebelahan tetapi tidak terlalu dekat dan terlalu jauh. Untuk pihak ketiga yang tidak tahu apa-apa, mungkin sulit untuk membedakan apakah kami menunggu secara terpisah atau bersama-sama.
“Aku jarang datang ke sini sebelum mal dibuka, dan ternyata masih sepi orang ya.”
“Apalagi hari ini dingin banget. Jadi mungkin semua orang masih bersantai di kamar mereka.”
Benar juga. Kecuali di hari diskon belanja, kayaknya tidak perlu mengantri di depan mal sebelum buka.
Dingin banget ya. Ichinose membisikkan kata-kata itu berulang kali.
Karena aku berpikir kami akan melanjutkan obrolan setelah masuk ke dalam bangunan, pembicaraan kami berhenti di sana.
Kehidupan sehari-hariku lebih sering kuhabiskan bersama pacarku, Kei. Di kehidupan sehari-hari itu kami tidak selalu berbicara sepanjang waktu.
Terkadang, ada momen di mana kami diam selama 10 atau 20 menit meskipun kami berbagi waktu yang sama. Awalnya terasa canggung seperti sama sekarang ini, tapi lama-kelamaan rasa canggung itu hilang dan bahkan ada saat-saat di mana momen diam itu terasa nyaman.
Ini bukan masalah terbiasa atau tidak, namun lebih kepada kedekatan, ketika seseorang tidak begitu dekat dengan orang lain, bahkan keheningan yang singkat pun dapat terasa sangat berat dan canggung.
Bukannya aku tidak tahan dengan keheningan yang berlanjut, tapi mungkin lebih baik jika aku mengajukan topik pembicaraan karena aku yang mengajaknya keluar.
Barangkali Ichinose pun berpikiran sama.
Tapi kami berdua tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun dengan baik, sehingga sulit untuk mengambil langkah pertama.
Topik yang umum. Yang mana dengan itu aku bisa dengan mudah melanjutkan dan berbicara tentang topik yang lain.
Ketika aku memikirkan itu, terlintas seorang siswa laki-laki di dalam pikiranku.
“Ngomong-ngomong, aku satu kelompok dengan Watanabe selama perjalanan sekolah yang lalu.”
“Sepertinya begitu, kan.”
“Aku tidak mengenalnya selama ini karena aku tidak pernah berinteraksi dengannya, tapi Watanabe adalah pria yang baik, ramah dan mudah diajak bicara.”
Ketika aku mengucapkan pendapat jujurku, Ichinose senang seolah-olah itu adalah ditujukkan untuknya.
“Ya. Menurutku teman-teman sekelas menyukainya, tidak peduli itu laki-laki atau perempuan.”
Dia tidak seperti Ike yang terlalu banyak bicara, tapi dia cukup bisa membaca suasana tempat meski tidak sebaik Yōsuke.
Watanabe yang kulihat hanyalah sebagian kecil dari dirinya, tapi dia pasti juga banyak berperan di kelas.
“Kami sudah belajar di tempat yang sama selama hampir dua tahun, hanya beda kelas, tapi masih banyak hal yang aku tidak ketahui.”
“Aku juga sama. Aku tak tahu banyak tentang kelas lain, padahal kukira sudah tahu. Ini sangat berbeda dari SD atau SMP... aku baru menyadari ketika kita bersaing dengan serius, kita akan jadi seperti itu.”
Jika hanya hubungan pertemanan biasa, kami bisa saling memperlihatkan kelemahan dan membantu satu sama lain.
Namun di sekolah ini, konsep biasa itu tidak berlaku.
Itu mungkin kesan umum yang dirasakan oleh siswa pada umumnya termasuk Ichinose.
“Bergaul itu sulit ya. Bahkan dengan teman sekelas, aku belum bisa benar-benar akrab. Dan dibandingkan dengan itu, aku kagum denganmu yang bisa mudah berteman dengan siapa saja, Ichinose.”
“Eh? Aku tidak sehebat itu kok.”
Daripada merendah, ia tampaknya tidak menyadari kemampuannya sendiri.
“Lalu apa ada tipsnya? Seperti cara untuk berteman dengan siapa saja?”
Meskipun aku belajar sebanyak apapun, aku tidak akan pernah bisa ahli dalam membangun pertemanan.
Skill seperti yang dimiliki oleh orang-orang seperti Ichinose dan Kushida sepertinya tidak mudah dipelajari.
Aku sudah paham apa yang harus dilakukan.
Aku tahu kata-kata yang harus diucapkan.
Tapi tetap saja, aku tak bisa menjadi seperti mereka. Perbedaan sekecil apa pun pada apa yang sudah kamu bangun, suasana, dan bahasa tubuhmu dapat membuat perbedaan besar pada hasilnya.
“Hmm... emangnya hal seperti itu ada ya? Jika ada pun, aku tidak tahu.”
Justru karena ia memilikinya sebagai skill alami, ia tidak bisa menguraikannya dan menjelaskannya secara teoritis.
Karena itulah, meskipun aku belajar dengan melihat, tidak mudah untuk memahami, menyerap, dan menguasainya.
Entah bagaimana kami bisa melanjutkan obrolan.
Dan begitu tepat pukul 10 pagi, pintu otomatis yang tadinya tertutup pun terbuka.
“Ayo masuk.”
“Ayo.”
Dengan ini kamilah yang pertama memasuki Keyaki Mall, dan merasakan hangatnya suhu di dalam gedung yang dipanaskan.
“Hari ini kamu bisa sampai jam berapa?”
“Sampai jam berapa pun bisa kok. Aku nggak punya rencana habis ini.”
Aku ingin bertanya beberapa hal pada Ichinose hari ini, jadi ini adalah kesempatan bagus. Karena kalau ada batasan waktu, aku harus melakukan percakapan yang efektif dalam batas waktu tersebut.
Khususnya mengenai alasan ia keluar dari OSIS, itu juga adalah tugas penting yang diminta oleh Kanzaki dkk, jadi aku ingin mengetahuinya secara rinci. Memiliki waktu untuk memenuhi permintaan Kanzaki dkk adalah sebuah anugrah yang nyata.
Tapi... sebaliknya aku merasakan ketidaknyamanan.
Mengesampingkan aspek asmara sejenak, Ichinose pada dasarnya bukan tipe orang yang tidak peka.
Meskipun tidak memiliki indra penciuman yang luar biasa, ia memiliki kemampuan perseptif yang lebih baik daripada siswa pada umumnya.
Sebelum ia cocok atau tidak menjadi pemimpin, ia harus setidaknya memiliki kemampuan itu.
Aku harus berasumsi bahwa, bahkan dalam kondisi mentalnya saat ini, dia tahu sejauh mana teman-teman sekelasnya memandang dirinya dari tatapan mereka, kata-kata yang mereka ucapkan, dan emosi yang ia rasakan.
Jika demikian, aku tidak boleh berasumsi kalau aku hanya kebetulan mendapatkan kesempatan ini.
Ia mungkin sudah sadar akan maksud dari ajakanku dan mencoba menebaknya. Tergantung pada situasinya, mungkin saja dia akan menyadari bahwa ada teman-teman sekelasnya yang bersembunyi di balik rencanaku.
Lebih baik aku jalani hari ini dengan dugaan seperti itu.
“Eng, jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Meski tujuan sebenarnya adalah untuk memperoleh informasi, tujuan palsunya belum aku sampaikan.
Setelah memikirkan rencana apa yang akan aku lakukan bersama Ichinose hari ini, akhirnya tercapai satu kesimpulan.
“Aku belum punya tujuan yang jelas sih... tapi yah. Mungkin kamu bisa kasih tahu aku bagaimana kamu menghabiskan hari liburmu?”
“Bagaimana aku menghabiskan hari liburku?”
“Ya. Aku ingin mencari petunjuk gimana kehidupan sehari-harimu agar bisa berteman dengan siapa saja.”
“Eeh? Emangnya kamu bisa tahu dengan cara itu?”
“Aku hanya mengatakan yang terlintas dipikiranku... nggak bisa?”
Kalau itu ditolak, aku berpikir untuk memberikan rencana kedua, tapi Ichinose mengangguk tanpa terlihat tidak senang.
“Aku tidak tahu apakah aku bisa membantu, tapi jika Ayanokōji-kun maunya begitu, gimana kalau kita coba?”
Ia sepertinya berpikir positif dan dengan senang hati menyetujuinya.
Sepertinya negosiasi awal berhasil dengan baik.
“Nah, kalau gitu... kita benar-benar akan melakukan apa yang biasanya aku lakukan di hari liburku, kan?”
“Tentu saja. Entah itu belanja, nonton film, atau ke kafe, aku akan menemanimu.”
“Aku mungkin tidak bisa memenuhi harapanmu loh? Nggak papa nih?”
Ichinose tertawa, mungkin karena tidak ada yang cocok dengan pilihan yang baru saja aku sebutkan.
Dia tampak agak canggung saat kami bertemu pagi ini, tapi dia sekarang tersenyum dengan alami.
“Baiklah, ayo kita pergi sekarang.”
Kata Ichinose kemudian berjalan menuju eskalator menuju lantai dua tanpa ragu.