Bab 1
Lagu Kesepian
1
Di dalam Keyaki Mall menjelang siang hari, suasana seperti malam Natal benar-benar tengah berlangsung.
Dekorasi yang lebih mencolok dari kemarin menghiasi seluruh mal.
Entah perasaanku saja atau pelanggan yang datang untuk bermain juga terlihat lebih banyak pasangan pria dan wanitanya.
Seperti yang kuberitahukan kepada Ichinose, aku mampir ke gym tempat aku belum lama ini bergabung.
Meskipun baru bergabung, karena aku membayar biaya bulanan, aku ingin datang sesering mungkin.
Jangan-jangan belum ada orang?
Sambil memikirkan itu, aku menyelesaikan proses check-in di meja admin.
Setelah aku berganti pakaian dan masuk ke ruang latihan, ternyata tidak sepenuhnya sepi.
Aku melihat beberapa anak laki-laki dan perempuan di sana sini, serta beberapa orang dewasa.
Yang menarik perhatianku secara khusus adalah seseorang yang berniat melakukan Bench Press.
Itu adalah sosok Mashima-sensei, wali kelas Kelas A tahun kedua.
Dia memiliki postur tubuh yang besar dan berotot, dan pakaian yang dipakainya sangat cocok dengannya.
“Selamat pagi, Mashima-sensei.”
“Hm? Ayanokōji? Kamu juga anggota gym, toh?”
Jawabnya sedikit terkejut, ketika aku memanggilnya saat ia hendak berbaring.
“Saya baru bergabung belum lama ini.”
“Oalah, itu keputusan yang bagus. Selamat datang.”
Entah kenapa Mashima-sensei mengangguk dengan senang seolah-olah anaknya sendiri telah lulus ujuan masuk.
Reaksinya cukup berlebihan hanya karena seorang siswa bergabung ke gym.
“Tapi, apakah ada alasan tertentu?”
“Saya merasa fisik saya jadi lebih lemah dibanding sebelumnya, jadi saya ingin mengembalikannya seperti semula.”
“Itu alasan yang tidak biasa untuk seorang siswa.”
“Tapi saya tidak tahu apakah saya bisa datang terus atau tidak.”
“Nggak papa. Aku juga memutuskan untuk melatih tubuhku karena ada yang ingin kulakukan, tapi sekarang aku telah menjadi pelanggan tetap. Nggak ada salahnya berkeringat di lingkungan yang sama dengan siswa.”
Kata Mashima-sensei menyambutku yang terkesan seperti ia lebih bersemangat dari biasanya.
“Selain itu, sikapmu yang berkomitmen untuk pergi ke gym di hari pertama liburan musim dingin layak untuk diapresiasi.”
“Apa Sensei punya rencana untuk malam Natal ini?”
“Hm? Nggak, sayangnya aku akan berada di gym sepanjang hari untuk mengeluarkan keringat.”
Jawabnya dengan jelas. Atau begitulah pikirku....
“Mungkin.”
Mungkin. Meskipun ia membicarakan dirinya sendiri, kenapa ia menambahkan ungkapan seperti itu?
“Apa ada sesuatu?”
“Nggak, bukan apa-apa. Kamu baru mulai berlatih di gym, jadi pasti belum tahu apa-apa, ‘kan?”
“Eh, ya begitulah.”
Aku tidak ada masalah dengan cara menggunakan dan mengoperasikan peralatannya, tapi kupikir aku tidak perlu mengucapkan itu.
Aku berpikir bahwa menjadi pemula yang tidak tahu apa-apa akan lebih mudah diterima.
Untuk saat ini, aku juga akan mulai latihan———.
“Oke.”
“Oke?”
“Ini kesempatan yang bagus. Sebaiknya kamu lihat sedikit seperti apa latihanku.”
“Eh? Ah, baiklah...”
Aku berniat untuk mulai latihan juga, tapi dihentikan oleh Mashima-sensei.
Sambil berbaring di bangku, Mashima-sensei mulai mengatur posisi bar agar sejajar dengan matanya. Ia mengangkat bar beberapa kali dengan ringan tanpa usaha untuk penyesuaian, lalu mengangkat safety bar di sebelah kanan dan kiri lebih tinggi dari dadanya.
(Tln: bar = tiang/palang dalam anggat besi)
“Jangan pernah lupakan posisi safety bar ini ketika kamu melakukan bench press. Jika terjadi sesuatu, ini akan menopangmu.”
“Saya akan mengingatnya.”
Aku tidak bisa bilang kalau aku sudah tahu, aku hanya bisa terus melihatnya.
Tapi agar tidak terasa canggung, aku memutuskan untuk mengajukan pertanyaan yang umum.
“Berapa kilo yang bisa Sensei angkat?”
“Yah... kali ini aku akan coba mengangkat 80kg, tapi bukan berarti aku tidak bisa mengangkat sampai 100kg. Katanya hanya 1 dari 100 orang yang bisa mengangkat 100kg.”
Meskipun ia tidak terlihat sombong, gaya bicaranya terdengar penuh percaya diri. Dia menekankan bentuk tubuhnya dengan sengaja.
Aku belum pernah mendengar tentang hal itu, tapi apakah pengetahuan tersebut benar?
(Tln: tentang hanya 1 dari 100 orang yang bisa mengangkat 100kg)
Bagiku itu hanya terdengar seperti bualan belaka.
“Tapi memaksakan diri akan merusak tubuhmu. Ini bukan seperti acara TV yang hanya mengangkat sekali dan selesai. Dengan mengulang beberapa set, kita akan melatih otot dada besar (pectoralis major).”
Mungkin dia benar-benar belajar dengan serius dari TV dan sekarang dia mencoba mempraktikkannya.
Sambil melihat napas yang berat dan keringat yang keluar dari seorang pria, aku merasa hampa. (Lol)
Karena aku sudah datang ke gym pagi-pagi sekali, tapi tahu-tahu aku diminta untuk ikut sesi pengamatan.
Setelah itu aku mengamatinya sebentar, dan ketika tiga set berakhir, Mashima-sensei bangkit.
“Fuuh. Kurang lebih seperti itu.”
“Aku sangat terbantu.”
“Itu bagus. Selama liburan musim dingin, aku akan ke sini selama 6 hari dalam seminggu kecuali hari Kamis. Meski aku akan pergi larut malam mulai semester ketiga, rencana itu tidak akan berubah setidaknya dalam waktu dekat, jadi jika ada masalah kamu bisa mengandalkanku kapan saja.”
Rasanya spesifik banget. Apakah ada sesuatu pada hari Kamis yang jelas dikecualikan itu?
“Kalau perlu, aku bisa memberikan panduan———”
“Tidak, sudah cukup. Saya tidak ingin merepotkan Mashima-sensei, jadi untuk sementara waktu, saya akan fokus pada kehadiranku dan melakukan latihan ringan.”
Dengan bicara sedikit cepat, aku menolak dengan tegas dan lebih memilih untuk meninggalkan tempat itu.
“Begitu ya. Jika ada masalah, jangan ragu untuk memanggilku kapan saja. Selama liburan musim dingin, aku akan berada di gym sesering mungkin.”
Setelah menerima kata-kata yang ramah dari guru, aku memutuskan untuk mengeluarkan keringat sendirian dengan santai.
Setelah sekitar 30 menit berlatih di gym, suasana di dalam gym berubah sesaat.
Itu karena beberapa siswa yang tengah berhadapan dengan peralatan tiba-tiba menoleh serentak.
Ingin tahu apa yang sedang mereka lihat, aku pun ikut menengok dan melihat sosok yang tidak asing lagi di kelas, Kōenji.
Meskipun menarik perhatian, orang tersebut tidak memperdulikannya dan mulai berlatih.
Aku mengira dia diperhatikan karena perilakunya yang aneh, tapi sepertinya bukan itu alasannya.
Suara percakapan siswa laki-laki dari tahun ajaran yang berbeda di dekatku bisa kudengar samar-samar.
“Memang luar biasa, ya, si Kōenji itu.”
“Ya, biasanya mana ada anak SMA yang bisa melakukan itu...”
Kemampuan fisik yang tidak biasa untuk seorang siswa SMA bisa dirasakan bahkan melalui latihannya di gym, dan sepertinya ia menarik perhatian sebagai siswa di gym yang luar biasa.
Memang, sekilas aku dapat melihat kesempurnaan fisik tubuhnya.
Massa otot dan kelenturan tubuh yang terlatih dengan baik.
Ia bergerak dengan efisien, dan terlihat serius yang sulit dipercaya dari kepribadiannya yang biasanya aneh.
Kalau dipikir-pikir, Kōenji punya kesan tidak pernah berhenti melatih tubuhnya di berbagai tempat.
Berdasarkan pemikiran itu, tidak aneh jika dia pergi ke gym, justru bisa dikatakan kalau dia paling cocok ada di sana.
Mashima-sensei juga sepertinya mengagumi Kōenji, karena ia berhenti sejenak untuk memperhatikannya.
Dilihat secara objektif, bisa dikatakan bahwa Kōenji jauh melampaui batas-batas seorang pelajar.
Dengan fisik alami yang diberkati, dan latihan setiap hari yang tidak kenal lelah untuk menjaga kebugaran fisiknya.
Aku kembali menyadari bahwa Kōenji terus melatih tubuhnya setiap saat dan di berbagai tempat bahkan dalam kehidupan sekolah.
Berbeda dengan latihan pemula yang diperlihatkan oleh Mashima-sensei, Kōenji melakukan latihan yang benar-benar memukau.
Tidak hanya itu, ia adalah tipe orang yang semakin bersemangat ketika menjadi pusat perhatian, bukannya merasa gugup, cemas, atau jengkel.
“Kōenji-kun selalu populer banget, ya.”
Kata-kata itu menegaskan bahwa Kōenji itu menjadi pusat perhatian bukan hanya hari ini saja.
“Selamat pagi, Ayanokōji-kun..”
Dia kemudian menyapaku.
“Yo.”
“Hari ini hujannya deras, ya. Ngomong-ngomong, kamu datang sejak kapan?”
“Sekitar 30 menit yang lalu, mungkin.”
“Ooh. Sebenarnya aku juga rencananya tiba sekitar waktu itu, tapi aku terlalu asyik ngobrol dengan temanku jadinya terlambat.”
(Tln: timeline ini setelah Ichinose ngobrol dengan Ryuuen di vol 9)
Jawab Ichinose saat berdiri di sampingku, kemudian ia menatapku dari jarak dekat.
“Padahal hari ini malam Natal, sayang sekali, ya?”
“Yah, nggak papa. Karena tidak perlu harus terpaku pada hari ini juga.”
“Mungkin bagi perempuan tidak seperti itu, loh?”
“Begitu ya... aku tidak bisa menyangkal itu.”
Sebagai seorang pria, aku tidak benar-benar tahu seberapa kuat atau lemahnya perempuan terpaku pada hari-hari istimewa seperti itu.
Setelah berbincang sebentar, Ichinose memintaku untuk menemaninya menggunakan treadmill jadi aku menyetujuinya, kami berdua berdiri di atas mesin yang berdampingan.
Selama 30 menit berikutnya, kami tidak mengobrol dan fokus berlari dengan kecepatan yang sesuai dengan diri kami sendiri.
“Fuuh, berlari ditemani seseorang ternyata memang motivasinya berbeda, ya?”
“Ya, mungkin benar juga. Dalam hal ini, memulainya bersama Amikura adalah pilihan yang tepat.”
Sambil tersenyum, Ichinose menyeka keringat di dahinya dengan handuk.
Setelah itu, aku menghabiskan waktu sekitar satu jam lagi bersama Ichinose di gym.
Setelah itu, aku memberitahunya bahwa aku akan pulang tepat saat Amikura tiba di gym, Ichinose bilang kalau dia mau mengobrol dengan Amikura sebentar, jadi kami berpisah di sini.
“Kamu sudah mau pulang?”
Aku hendak meninggalkan ruang latihan, Mashima-sensei yang menyadari hal itu menghentikan latihannya dan memanggilku.
Meskipun dia bilang begitu, aku telah berada di gym selama sekitar 2 jam, dan itu waktu yang cukup lama.
“Ya, begitulah. Jelas saja aku sudah lelah. Apakah Sensei tahu kalau ini sudah 2 jam?”
“2 jam? Hm, begitu rupanya. Sudah selama itu ya.”
Karena dia terlalu fokus dalam latihan, mungkin dia tidak menyadarinya.
“Mashima-sensei juga sebaiknya istirahat sebentar. Anda hampir tanpa henti berlatih selama sekitar 3 jam, bukan? Ada penumpukan kelelahan di area yang tidak terlihat, dan itu dapat menyebabkan cedera.”
Sebagai seorang amatir aku memberikan saran itu, dengan anggapan aku mungkin akan kena teguran.
Tapi Mashima-sensei tidak marah, justru dia terkejut dan melipat lengannya.
“...Mungkin kamu benar. Aku coba membuang sifat pengecutku dan berusaha menjadi guru yang hebat, tapi mungkin hasilnya justru sebaliknya.”
Sepertinya selama ini tidak ada yang memberikan peringatan semacam itu kepada Mashima-sensei.
Dan dia ingin melihat hasilnya secepat mungkin. Dia menginginkan tubuh yang kuat.
Keinginannya itu begitu besar hingga ia melupakan rasa lelahnya.
“Oke. Aku juga akan sampai sini saja untuk hari ini.”
Katanya, menerima saranku dengan patuh.
“Baiklah, sampai jumpa lagi.”
Aku mengangguk dan hendak pergi dari tempat itu, tapi Mashima-sensei segera mengejarku.
“Boleh kita bicara sebentar?”
“Eh? Tentu saja.”
Kupikir ia akan membicarakan sesuatu tentang gym, tapi ia membawaku ke area istirahat bukan tempat ini.
“Apakah di gym saya melakukan sesuatu yang menyinggung Anda, Sensei?”
Karena aku tidak tahu alasan dia memanggilku, aku bertanya.
“Nggaklah. Bukan soal itu, tenang saja. Nggak ada masalah waktu kamu berada di gym.”
Seolah-olah ia telah mengamati kegiatanku dengan cermat....
Melihat tatapan curigaku, Mashima-sensei menundukkan pandangannya.
“...Aku terlalu fokus dengan latihanku hingga tidak memperhatikan sekitar. Jujur aku akui itu.”
Sepertinya dia sadar kalau dia tidak bisa berbohong, dia mengerutkan alisnya dengan ekspresi menyesal.
Reaksi serius seperti itu justru membuatku merasa bersalah.
Guru juga sedang liburan musim dingin. Dia bebas melakukan apa pun di tempat ini dan tidak berkewajiban untuk mengawasi murid. Tapi dia meminta maaf dengan memanfaatkan kewajibannya sebagai orang dewasa.
“Jadi, ingin bicara apa dengan saya———”
Ketika aku bertanya untuk mengabaikan permintaan maafnya, Mashima-sensei melihat sekeliling sekali untuk memastikan bahwa tidak ada orang.
“Sebenarnya, aku ingin meminta bantuanmu.”
“Ya?”
Setelah menegakkan postur tubuhnya, Mashima-sensei hendak mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba seorang pengunjung yang tidak diharapkan datang.
Dia adalah seorang wanita dengan rambut panjang yang indah dan sedikit bergelombang.
Dia adalah salah satu karyawan yang bekerja di gym ini, dan ketika dia melihat kami, dia tersenyum kecil.
“Mashima-san, kelihatannya hari ini Anda berlatih keras lagi, ya.”
“Nggak terlalu kok.”
Jawab Mashima-sensei dengan sapaan ringan.
Tidak mengherankan dia ingat namanya karena dia sudah datang ke sini lebih lama dariku.
“Kamu...?”
“Namanya Ayanokōji. Meski bukan dari kelas yang saya tangani, dia adalah siswa yang berbakat di Kelas B.”
Ia menepuk keras punggungku sebagai tanda untuk memintaku memperkenalkan diri.
(Tln: wkwkw kek ngenalin anaknya ke calon ibu barunya)
Mungkin ia bermaksud melakukannya dengan pelan, tapi tepukan dari tubuh yang terlatih itu cukup kuat....
“Nama saya Ayanokōji.”
“Kita pernah bertemu beberapa kali di meja admin, ‘kan? Sama Ichinose-chan.”
Namanya juga karyawan. Sepertinya ia masih ingat sedikit tentangku, meskipun aku masih baru di sini.
“Ah, maaf ganggu saat istirahat. Aku datang hanya untuk mengambil sesuatu yang kubutuhkan, jadi permisi.”
Karyawan itu menundukkan kepala dengan santun dan mengambil beberapa handuk dari rak karyawan, lalu memeluknya di dadanya dan kembali ke meja admin.
Mashima-sensei mungkin menunggu sampai tidak ada orang lagi, karena dia terus melihat karyawan itu sampai dia menghilang tanpa melirik ke arahku.
....
Orangnya sudah tidak terlihat, tapi Mashima-sensei masih tetap diam tidak bergerak.
“Sensei?”
“Hm, ada apa, Ayanokōji?”
“Nggak ada... tapi ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya, bukan?”
“Benar juga. Yah ada sih, tapi mari bicarakan itu lain kali.”
“Ha? Yah kalau begitu, saya akan pulang.”
“Tunggu sebentar.”
Dia meraih kedua pundakku dari belakang saat aku membelakanginya.
“...Ada apa sebenarnya?”
Entah kenapa, Mashima-sensei hari ini terlihat agak aneh.
Sikapnya yang tenang dan kalem sebagai seorang guru tampak tidak ada pada dirinya.
“Kupikir ini juga bagian dari takdir, jadi mending aku mengaku aja.”
“Anda sering mengaku, ya.”
Tapi akhirnya dia akan mengatakan urusannya, jadi itu membuatku lega.
“Karyawan yang ada di sini tadi, namanya adalah Akiyama-san.”
“Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan, tapi dia pakai nametag, ‘kan? Ada apa dengan itu?”
“...Aku ingin kamu menyelidiki tentangnya. Sebisa mungkin dengan sopan dan hati-hati.”
“Eh.”
Aku mencoba untuk berbalik, tapi dengan kekuatan yang luar biasa, kedua bahuku ditekan hingga aku tidak bisa melakukannya.
“Selama ini aku tidak pernah membawa masalah seputar lawan jenis ke sekolah. Tapi, situasinya berubah sejak aku mulai pergi ke gym. Kupikir kamu akan paham tanpa harus kujelaskan secara rinci.”
“Yah, saya paham apa yang ingin Anda sampaikan. Jadi Mashima-sensei punya perasaan pada wanita yang bernama Akiyama-san itu, ya?”
“...Bisa dibilang begitu.”
Tidak, malah hanya bisa dibilang begitu.
“Walaupun dia memiliki wajah yang agak polos, dia adalah seorang wanita dewasa yang menarik dan cantik.”
“Haa...”
Memang benar dia adalah seorang wanita dewasa yang cantik, tapi ada sesuatu yang sedikit mengganjal dalam ucapannya.
“Kalau gitu, kenapa tidak Hoshinomiya-sensei atau Chabashira-sensei saja? Antar karyawan tidak dilarang untuk menjalin hubungan asmara, ‘kan?”
(Tln: kalimat pertama maksudnya kalau hanya wanita dewasa yang cantik, mereka berdua juga bisa kan)
“Itu dilarang oleh peraturan.”
“Ah, begitu ya. Tapi sepertinya ada juga guru-guru yang menjalin hubungan secara diam-diam.”
“Anggap saja itu tidak ada. Lagipula walaupun tidak dilarang, kedua orang itu tidak akan kupilih.”
Ia katakan dengan tegas dan jelas.
“Boleh saya tanya alasannya?”
“Maaf, tapi aku tidak ingin mengatakannya. Aku dan Ayanokōji adalah guru dan murid. Ini adalah percakapan yang tidak berguna, bukan?”
“Kalau gitu saya pulang. Percakapan yang sedang kita lakukan sekarang juga tidak berguna kan.”
“Kepribadian Hoshinomiya terlalu enteng. Kepribadian Chabashira terlalu serius. Itu saja.”
Respon yang singkat dan jelas dari Mashima-sensei sangat mudah dipahami.
Dengan asumsi nilai kecantikan keduanya itu setara, Hoshinomiya-sensei adalah gadis yang sering jatuh cinta. Bahkan jika mereka berpacaran, dia kemungkinan akan terus berinteraksi dengan lawan jenis.
Di sisi lain, Chabashira-sensei terus membawa beban cinta dari masa sekolah dan belum memiliki pacar. Jika ia jatuh cinta dengan seseorang, sepertinya itu akan menjadi hubungan yang berat.
“Tapi kita tidak bisa dengan pasti mengatakan kalau Akiyama-san tidak seperti itu, bukan?”
Ada hal-hal yang tidak dapat kita ketahui hanya dari penampil, tapi selama menjalin hubungan———
“Pasti tidak.”
Meski tidak ada bukti yang jelas, dia dengan tegas menyangkalnya hanya dengan keyakinannya.
“Aku sudah mengenal kedua orang itu sejak masih sekolah, dan aku sama sekali tidak melihat mereka sebagai lawan jenis. Tidak pernah. Terlebih lagi mereka adalah sahabat sekaligus saingan, jika aku memihak salah satunya, itu akan berdampak besar pada kehidupan sekolah.”
Mashima-sensei sangat tidak ingin itu terjadi.
“Yah, benar juga.”
“Itulah sebabnya aku ingin minta tolong padamu.”
“Kenapa harus saya?”
“Kau pikir aku bisa minta tolong ke guru lain?”
“Iya juga sih...”
“Cuman kamu orang yang pergi ke gym dan terlihat bisa dipercaya untuk menjaga rahasia.”
“Jangan-jangan Sensei, Anda terlihat senang waktu pertama kali melihat saya itu karena...”
“Tentu saja, itu karena aku mendapatkan teman di gym.”
Tidak, dia pasti bohong.
Jelas sekali itu adalah ekspresi ketika menemukan siswa yang bisa dia manfaatkan untuk masalah ini.
Sekarang aku sangat yakin dengan itu.
“Kamu tahu apa yang ingin aku ketahui, ‘kan?”
“Saya bisa tebak. Dia punya pacar atau belum. Tipe pria yang ia sukai. Lalu hobi dan hal apa yang ia sukai.”
“Nilai sempurna. Chabashira pasti sangat beruntung memiliki murid sepertimu.”
Apa orang ini benar-benar Mashima-sensei yang ku kenal selama ini?
Meskipun harus memisahkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, dia menunjukkan sisi yang terlalu mengejutkan.
Meskipun begitu, suaranya selalu tenang dan ekspresinya tidak dapat terbaca dengan jelas.
“Tidak perlu langsung mengambil tindakan. Hari ini, Akiyama-san juga melihat kita berdua. Mau habis liburan musim dingin juga tidak masalah, perlahan-lahan dekati dan cobalah cari tahu.”
Dengan sopan dan hati-hati. Persis seperti yang diinginkan oleh Mashima-sensei.
“Aku akan tetap coba berusaha, tapi jangan berharap terlalu banyak.”
“Saya tahu.”
“Hari kerja Akiyama-san———”
“6 hari dalam seminggu, kecuali hari Kamis, ‘kan?”
“...Iya, benar. Jadi kamu sudah tahu?”
Jelas tahulah, karena Mashima-sensei sudah bikin pernyataan tegas aneh bahwa dia akan datang ke gym kecuali pada hari Kamis.
Mungkin benar tujuan dia bergabung adalah untuk membentuk tubuhnya, tapi sepertinya dia sekarang lebih tertarik pada Akiyama-san.... Kurasa tidak ada salahnya juga sih karena ia tidak mengabaikan latihan ototnya.
Akhirnya aku terbebas dari jeratan Mashima-sensei, jadi aku pergi dari tempat itu seolah melarikan diri.
aowkwowk mashima kawai
ReplyDeleteyg gelud sama mc d pulau Bukan mashima kan?, agak lupa keknya wakel kelas 1
ReplyDeleteHmm, mungkin karena habis dijontok Yagami ya yang buat Mashima mulai ngegym
ReplyDeletengakak cik si mashima ini
ReplyDelete